“Ya namanya kontestasi kan kontestan. Jadi artinya sesuai dengan apa KPU saja, siapa yang eligible untuk mendaftar, siapa yang punya dukungan suara, jadi kontestasi kan seperti itu,” – Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar.
Tidak ada yang abadi di dunia ini, setiap manusia pada akhirnya akan meninggalkan dunia untuk selamanya. Ini adalah ungkapan kesedihan yang sangat purba.
Ketika seseorang pergi untuk selamanya, maka seluruh peninggalannya baik harta maupun takhta akan langsung menjadi warisan penerusnya. Tapi apakah hal itu berjalan mulus? Tentu tidak, karena ada sebagian orang yang menilai lebih pantas untuk mendapatkannya dibandingkan orang yang menjadi pewaris.
Persoalan kehidupan sehari-hari ini juga terlihat di atas panggung politik. Kesan menolak “ahli waris” Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlihat melalui komentar santai Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Airlangga seolah menentang pernyataan Jokowi terkait Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang dianggap akan mendapatkan jatah sebagai Presiden selanjutnya setelah Jokowi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ini menilai ada rules of games, jika Prabowo ingin menjadi calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Dalam konteks legal, tentunya Airlangga ingin merujuk pada aturan pendaftaran capres-cawapres yang seharusnya melalui partai politik (parpol), bukannya Presiden. Hal itu tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Secara normatif itu benar, tapi jangan lupa kalau pengaruh Presiden juga merupakan sebuah “kekuatan politik” tersendiri. Presiden dengan instrumen politiknya mampu memberikan kemudahan bagi seseorang yang diinginkan dan menghambat yang berseberangan.
Sebagai contoh, beberapa pekan lalu sempat ramai dibicarakan tentang para menteri yang meminta izin kepada Presiden untuk maju sebagai capres di 2024.
Fast forward, muncul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan menteri yang ingin maju sebagai capres atau calon wakil presiden (cawapres) tidak perlu mundur dari jabatannya.
Peristiwa ini mungkin bisa menjadi salah satu contoh jika pendekatan legal-normatif bukan satu-satunya alat untuk mengukur seseorang dapat dicalonkan ataupun tidak. Tapi, ada kekuatan di luar itu, meskipun hal ini akan memunculkan perdebatan, toh kita semua menerimanya.
Direktur Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, menilai gejala semacam ini sebagai akibat dari tidak kokohnya fungsi partai politik dalam mengoperasionalkan instrumen politik yang dimilikinya.
Akibatnya, pengaruh elite atau pejabat publik, meski tak terlihat, akan mempengaruhi aturan main yang secara bersamaan harus dijalankan oleh parpol.
Hmm, jadi kelihatan seru ya drama politik sekarang. Jadi benar perebutan “ahli waris” memang penuh dengan konflik. Dalam konteks ini, seolah-olah Jokowi memberikan “warisan” kepada Prabowo, tapi Airlangga tidak terima.
Jangan-jangan, Airlangga merasa lebih pantas untuk mendapat jatah setelah Jokowi, dibandingkan Prabowo.
By the way, berbicara persoalan pantas tidak pantas terkait ahli waris, jadi teringat serial drama fantasi House of the Dragon. Diceritakan, Raja Viserys telah menetapkan Ratu Rhaenyra yang merupakan satu-satunya anak yang masih hidup meneruskan takhta.
Tapi muncul pertentangan dari berbagai pihak karena dia adalah seorang perempuan, yang dalam tradisi kerajaan belum pernah ada perempuan menjadi pemimpin. Tapi pada akhirnya, dalam perjalanan dan berbagai ujian Rhaenyra mampu membuktikan kalau ia pantas.
Cerita ini menunjukkan kalau menjadi pemimpin itu tidak mulus meski sudah menjadi “ahli waris”, karena harus ada perang dan ujian.
Hmm, bisa jadi komentar Airlangga juga dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menjadi penantang sekaligus penguji, apakah Prabowo benar-benar layak untuk menghadapi perang sesungguhnya di Pilpres 2024 nanti. Hehehe. (I76)