Pertemuan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dengan legenda sepak bola asal Brasil, Ronaldinho, mendapat perhatian publik karena popularitas Ronaldinho yang sangat besar. Ini Airlangga Hartarto yang Ketum Golkar loh ya, bukan Airlangga Sucipto yang mantan pemain Persib. Eh.
Saat ini sepak bola telah menjadi sebuah identitas politik. Bahkan New York Times dalam tulisan Mixing the Unmixable: Soccer and Politics, menyebutkan bahwa Federation Internationale de Football Association (FIFA) yang menjadi lembaga tertinggi sepak bola, dianggap tidak pernah lepas dari kegiatan politik.
Evolusi olahraga yang dimainkan sebelas orang ini, melampaui sekadar permainan dan juga ajang memperebutkan prestasi. Kepopulerannya seolah mengakar di seluruh masyarakat dunia, sehingga berimplikasi pada konteks sosio-historis, bahkan juga politik.
Cara pandang ini juga yang mungkin ditangkap oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, sehingga bersedia bertemu dengan legenda sepak bola asal Brasil, Ronaldinho. Pertemuan keduanya terlihat akrab, dibuktikan dengan beredarnya swavideo keduanya yang tampak sedang berbicara tentang sepak bola dan karir Ronaldinho.
Pertemuan ini seolah ingin menyampaikan pesan tersirat, bahwa Airlangga di luar kesibukannya sebagai politisi juga punya sisi lain yang akrab dengan orang kebanyakan, yaitu mencintai sepak bola. Atau jangan-jangan, pesan tersembunyi itu sengaja dibuat untuk menampilkan citra yang sudah di-setting sebelumnya?
Mungkin ini mirip dengan yang pernah dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat mengunggah video saling berbalas senyum dengan Lalisa Manoban alias Lisa BlackPink.
Kala itu, Ganjar memang mampu menyita perhatian pecinta K-Pop dengan video tersebut. Sebuah peristiwa yang sebenarnya tidak hanya dapat dibaca sebagai peristiwa sosial biasa, tapi punya makna politis di belakangnya.
Dalam literatur politik, khususnya pembahasan tentang perilaku politik, banyak ilmuwan yang melihat fenomena di atas sebagai upaya untuk membentuk apa yang disebut dengan sociological behavioral approach. Ini adalah sebuah kondisi di mana seseorang akan cenderung memilih sesuatu atau seseorang kandidat karena ia mempunyai kedekatan sosiologis dengan orang tersebut.
Robert Dahl dalam tulisannya The Behavioral Approach in Political Science, mendeskripsikan bahwa pendekatan perilaku menjadi instrumen populer yang sering digunakan untuk memahami rekayasa politik dalam sebuah masyarakat.
Asumsi yang terbangun dari pendekatan ini terhadap konteks di atas, seolah ingin menggambarkan bahwa apa yang dilakukan oleh Airlangga dapat dimaknai sebagai strategi untuk menarik perhatian masyarakat yang punya kecintaan terhadap sepak bola, terlebih pada personal Ronaldinho sebagai bintang.
Di antara banyaknya kelompok atau segmen pemilih jelang 2024 mendatang, segmen sepak bola mempunyai level yang perlu diperhitungkan. Apalagi, Indonesia dianggap menjadi negara kedua terbanyak dari sisi persentase kecintaan terhadap sepak bola dengan angka 77 persen penduduknya suka sepak bola.
Nah, angka-angka ini begitu penting dalam politik. Apalagi angka-angka ini dapat dikonversi menjadi bentuk dukungan. Sebenarnya hal ini juga tergantung pada pola komunikasi yang dibangun karena sejauh ini pola komunikasi semacam hyperculture treatment dianggap mampu mewujudkan tujuan tersebut.
Byung-Chul Han dalam tulisannya Hyperculture: Culture and Globalisation, mengindikasikan adanya proses yang disebut dengan hyperculture yaitu kondisi di mana bentuk-bentuk ekspresi budaya semakin terlepas dari tempat asalnya, kemudian beredar di ranah hyper-budaya.
Dampaknya, orang tidak akan lagi melihat perbedaan nyata antara apa yang asli dengan artifisial, dekat dengan jauh, akrab dan eksotis. Ini yang diinginkan oleh seorang politisi, ketika sekat mampu dihapus dan ditarik menjadi dukungan bagi pribadi maupun kelompoknya.
Dengan demikian, meskipun apa yang ditampilkan oleh Airlangga terkesan latah karena pernah dilakukan oleh Ganjar sebelumnya, tapi jika strategi ini benar-benar berhasil, maka Airlangga dan Golkar bisa mendapatkan simpati dari masyarakat yang punya kedekatan secara kultur dengan sepak bola.
Hmm, bisa jadi tuah warna kuning jersey Timnas Brazil yang selalu memberikan kemenangan juga dapat menghampiri Golkar. Tentunya ini dalam konteks Pilpres 2024 mendatang ya. Apalagi Golkar juga warnanya kuning loh. Hehehe. (I76)