Jika pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah suatu ‘perkawinan’, kira-kira perkawinan itu didasari cinta sejati atau hasil perjodohan? Siapa jodoh sejati Anies Baswedan?
“Sehingga pasangan ini akan harmonis dan saling melengkapi ketika kelak mendapatkan amanah untuk menjalankan roda pemerintahan. Bukan ‘kawin paksa’.” – Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat
Merapat ke Partai NasDem, Partai Demokrat resmi mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 melalui pernyataan ketua umumnya (Ketum), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Oleh Demokrat, Anies dipercaya mampu membawa perubahan bagi Indonesia.
Mengikuti deklarasi Demokrat, dukungan serupa juga diumumkan PKS melalui Wakil Ketua Majelis Syura PKS Sohibul Iman. Namun, dukungan ini sifatnya belum resmi-resmi amat. Sohibul menyatakan bahwa deklarasi eksplisit terhadap Anies sebagai capres akan dilakukan pada 24 Februari mendatang.
Koalisi NasDem-Demokrat-PKS ini praktis mengamankan posisi Anies sebagai bakal capres. Sebab, jumlah kursi ketiga partai ini di parlemen sudah melampaui presidential threshold (ambang batas presiden) sebesar 20 persen.
Melihat posisi Anies yang sudah mapan sebagai bakal capres (bacapres), topik mengenai pasangan Anies di Pilpres 2024 menjadi ramai. Sebagai partai koalisi, tentunya Demokrat dan PKS memiliki keinginan untuk mencalonkan kader mereka.
Namun, baik AHY maupun Sohibul Iman dengan murah hati menyatakan bahwa pemilihan bakal calon wakil presiden (cawapres) akan diserahkan sepenuhnya kepada Anies. Meskipun Demokrat ingin mengusung Ketum mereka sebagai wapres Anies, AHY menekankan bahwa, idealnya, pasangan calon (paslon) bukan hasil ‘kawin paksa’ agar harmonis.
Di sisi lain, PKS lebih pragmatis terhadap pencalonan bakal cawapres (bacawapres). Hal ini tercermin dalam pernyataan Sohibul Iman yang berkata, “Kami dari awal mengatakan selama cawapres yang dipilih mendongkrak kemenangan, siapapun dia, enggak harus kader PKS, PKS akan tetap di koalisi ini.”
Sayangnya, pemilihan seorang bacawapres tidak selalu sesederhana itu. Dalam teori Political Agreement dari Nohen, pencalonan kandidat merupakan suatu bentuk kesepakatan politik. Kesepakatan politik itu sendiri dapat terjadi antar-partai politik (parpol), faksi partai, pejabat publik, maupun kandidatnya, atau konstituen.
Berkaca dari sini, tentunya, penentuan kandidat untuk mengisi pos-pos kekuasaan adalah suatu proses politik yang melibatkan kepentingan banyak pihak.
Menilik ke belakang, susah ditemukan paslon presiden-wapres di Indonesia yang bukan merupakan hasil perjodohan. Partai politik nyaris akan selalu menjadi makcomblang.
Contoh paling dekat adalah pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan K.H. Ma’ruf Amin yang dicomblangkan oleh PDIP. Perjodohan ini mengejutkan banyak pihak karena, sebelumnya, rumor yang kuat menyebut nama Mahfud MD sebagai pasangan Jokowi di Pilpres 2019.
Meskipun demikian, perjodohan tidak selalu menghasilkan output yang negatif. Seperti pepatah Jawa, witing tresno iki jalaran seko kulino. Artinya, tumbuhnya cinta itu datang dari kebiasaan. Seiring berjalannya waktu, sinergisitas dan kekompakan dapat muncul dalam suatu perjodohan, atau, dalam bahasa AHY, ‘kawin paksa’.
Kembali ke persoalan memilih pasangan Anies, AHY sebaiknya jangan terlalu berkecil hati. Kompetisi untuk memenangkan hati Anies sepertinya masih terbuka lebar.
Walau AHY mungkin bukan pilihan pertama Anies, perjodohan dapat selalu terjadi. Kalau kata orang-orang sih, jodoh ada di tangan Tuhan. Eh, atau sebenarnya justru ada di tangan partai? (A89)