Motor Besar Club Indonesia (MBCI) tengah memperjuangkan agar motor gede (moge) bisa masuk tol. Sudah waktunya kah para pengendara motor diizinkan untuk menggunakan jalan tol di Indonesia?
“Kita ini sudah bayar pajak belasan juta ke pemerintah setahun, masa kita (nggak) kasih prioritas…” – Irianto Ibrahim, Ketua Motor Besar Club Indonesia (MBCI)
Isu mengenai motor masuk tol kembali mencuat. Hal ini dipicu oleh permintaan Irianto Ibrahim, Presiden Motor Besar Club Indonesia (MBCI), kepada pemerintah untuk mengizinkan motor gede (moge) berkendara di jalan tol. Irianto mengaku sudah sepuluh tahun memperjuangkan hal ini.
Permintaan Irianto tidaklah tanpa alasan. Ia menyebutkan setidaknya lima alasan pengendara moge berhak menggunakan jalan tol.
Pertama adalah untuk menghindari gesekan dengan masyarakat. Sebab, saat touring, moge cenderung berisik dan menyebabkan kemacetan. Kedua adalah menambah devisa negara dari pembayaran penggunaan jalan tol. Ketiga adalah membuka peluang wisata touring moge di Indonesia.
Keempat adalah karena Indonesia tertinggal dari negara lain – misalnya negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, sudah mengizinkan motor di atas 50 cubicle centimeter (cc) berkendara di tol. Kelima adalah fakta bahwa pemilik moge harus membayar pajak tahunan yang lebih mahal.
Kira-kira, masuk akal nggak ya alasan-alasan di atas? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus lebih dulu memahami pajak.
Pajak adalah pungutan wajib oleh pemerintah terhadap warganya ataupun entitas bisnis yang beroperasi di wilayah kekuasaan negara tersebut. Pajak kemudian digunakan oleh negara untuk menyediakan public goods bagi masyarakat.
Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk membayar pajak sesuai aturan yang berlaku. Dalam konteks pemilik moge, mereka berhak untuk memiliki motor besar ber-cc tinggi.
Namun, sebagai konsekuensinya, mereka harus membayar pajak yang lebih mahal. Bekaca dari sini, alasan ‘membayar pajak lebih’ rasanya kurang tepat digunakan sebagai justifikasi.
Selain pajak, terdapat pula permasalahan kedisiplinan masyarakat atas aturan lalu lintas. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono berpendapat bahwa kurangnya kedisiplinan ini menjadi tantangan dalam wacana moge masuk tol.
Di sisi lain, Ahmad Sahroni yang merupakan Ketua Umum (Ketum) Harley-Davidson Club Indonesia dan anggota DPR-RI dari Partai NasDem menyoroti aspek diskriminatif dari usulan Irianto. Menurut Sahroni, jika hanya salah satu jenis motor yang diberi privilese, justru akan mengundang amarah dan kekecewaan publik. Diskriminasi antar-pengguna roda dua tidak boleh sampai terjadi.
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) memiliki pandangan serupa. Menurut Bamsoet, isu ini bukan persoalan moge saja, melainkan juga persoalan aksesibilitas pengguna roda dua terhadap fasilitas jalan tol. Idealnya, semua roda diizinkan masuk tol.
Kalau kata orang hukum sih, “Aequalitas ante legem.” Artinya, semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum. Mau itu emak-emak pengendara motor vario, kek, ngab-ngab pengendara vespa, kek, atau om-om gaul pengendara Harley-Davidson sekalipun sama-sama harus bayar pajak.
Rasa berhak atas privilese penggunaan jalan tol dengan alasan bayar pajak lebih adalah pemikiran yang sempit dan satu arah. Sepertinya, Irianto dan teman-temannya harus menepi sejenak dari jalan satu arah mereka agar tidak terjebak dalam konvoi one-way street tanpa ujung.
Justru, Irianto dan MBCI seharusnya mengajak seluruh pengguna roda dua dalam memperjuangkan wacana motor masuk tol dengan narasi aksesibilitas fasilitas publik. Eh, tapi, kira-kira para pemilik moge sudah siap belum, ya, beradu mekanik dengan para emak-emak kalau misalnya nanti semua motor diperbolehkan di jalan tol? (A89)