Site icon PinterPolitik.com

Ada “Kompor” Antara Anies-Jokowi?

Ada “Kompor” Antara Anies-Jokowi?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Anies Baswedan. (Foto: Tempo)

“Politik kompor ada. Maaf, saya harus bilang. Ada oknum elite politik karena di partai itu hanya itu yang ngomong. Coba menjauhkan Anies dengan Jokowi, membangun narasi-narasi kebencian,” – Hermawi Taslim, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai NasDem


PinterPolitik.com

Panggung politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mulai memanas. Hal ini semakin terlihat ketika partai NasDem menyebut ada oknum elite politik yang bangun narasi kebencian.

Melalui Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai NasDem Hermawi Taslim, NasDem menyebutkan strategi membangun narasi kebencian ini dengan “politik kompor”. Tujuannya tentu untuk menjauhkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Anies Baswedan.

Dalam realitas politik, menjadi sesuatu yang lumrah jika seorang pemimpin memiliki pembisik yang mempengaruhi keputusan dan sikap politik. Masalahnya adalah jika pembisik ini malah memberikan informasi yang berdampak negatif, seperti “politik kompor” di atas.

Dalam cerita Mahabharata, terdapat tokoh yang diasosiasikan sebagai pembisik, yakni Sengkuni. Ia dikenal dengan karakternya yang buruk, kejam dan suka menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. 

Jika ditarik ke konteks saat ini, Sengkuni selalu muncul dalam kontestasi politik Indonesia sebagai analogi perebutan kekuasaan – dengan menggunakan strategi black campaign hingga menyebar hoaks agar muncul perpecahan.

Endang Prihatini dalam tulisannya Etika Terapan Dalam Kampanye mengonfirmasi bahwa bentuk kampanye hitam dapat berupa hasutan kepada tokoh atau elite-elite politik, hingga muncul narasi-narasi kebencian yang berlebihan. 

Semakin tebal kebencian yang terasa, maka semakin berhasil para “politisi kompor” ini berhasil menjalankan aksinya. Mereka bekerja dalam rangkaian yang terencana dengan tujuan menciptakan perpecahan. 

Siapa Sengkuni di Anies-Jokowi?

By the way, cara berpikir semacam ini perlu dikoreksi kembali. Sebaiknya, ada kesadaran berpolitik yang lebih beradab dalam melihat kompetisi. Perlu diingat bahwa berkompetisi bukan hanya persoalan menang dan kalah. 

Jadi teringat ungkapan Anies ketika ditanya terkait persoalan menjadi pemimpin. Ia mempercayai bahwa inspirasi tidak datang lewat meditasi tetapi inspirasi datang melalui interaksi.

Bagi Anies, semakin sering melakukan interaksi maka akan semakin muncul inspirasi, dan interaksi tidak harus dilakukan dengan yang sepemahaman. Dan, pada akhirnya, kita tidak perlu takut berkompetisi jika sudah punya pemahaman yang sama. 

Pasalnya, perdebatan atau perbedaan pandangan adalah proses pengayaan pemikiran. Baginya, teman berdebat dalam sebuah diskusi adalah teman berpikir menciptakan kreasi. 

Hmm, jadi kepikiran. Tampaknya, perkembangan narasi politik di Indonesia semakin kreatif. Bayangkan. Kompor yang menjadi perangkat memasak saja rupanya bisa jadi perumpamaan politik. 

Pada akhirnya, strategi politik kompor ini tergantung “sumbunya” sih. Jika politisi mempunyai “sumbu pendek” pastinya gampang terhasut, berbeda dengan politisi yang punya “sumbu panjang” yang tidak terpengaruh  jika di panas-panasin. Uppsss. Hehehe. (I76)


Kenapa Peradaban Barat Bisa Kuasai Dunia?
Exit mobile version