“Ini orang (Kementerian) Keuangan isinya iblis atau setan. Jangan diambil lagi minyak di Meranti itu. Enggak apa-apa, kami juga masih bisa makan. Daripada uang kami dihisap oleh pusat,” – Muhammad Adil, Bupati Kepulauan Meranti
Beredar sebuah video berdurasi 1 menit 55 detik yang memperlihatkan kegeraman Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil pada sebuah acara koordinasi Pengelolaan Pendapatan Belanja Daerah di Pekanbaru, Riau.
Pada kesempatan itu Adil menyebut pegawai di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai “iblis” dan “setan”. Hal ini karena tudingannya terkait Kemenkeu yang hanya mengambil minyak di Kabupaten Meranti tetapi uangnya dihisap oleh pemerintah pusat.
Adil mengeluh soal wilayah yang dipimpinnya itu – yang mana merupakan daerah miskin yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah pusat – sehingga dana bagi hasil (DBH) untuk daerah penghasil minyak dan gas (migas) seperti Meranti haruslah detail agar ada keadilan.
Merespons hal tersebut, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menyebut komentar Bupati Adil tidaklah proper (layak) sama sekali. Hal ini dikarenakan kehadiran pemerintah pusat tidak sekedar pada persoalan DBH.
Menurut Suahasil, kehadiran negara juga dilakukan melalui berbagai belanja-belanja kementerian atau lembaga dari pemerintah pusat di daerah, seperti belanja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Sosial (Kemensos), serta berbagai program lainnya.
Bahkan, aparat keamanan yang berada di berbagai pelosok daerah turut juga dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sehingga Bupati Adil seharusnya berbicara dengan cara yang baik berdasarkan data.
Anyway, pernyataan Adil ini sebenarnya tidak hanya dapat dilihat pada konteks etika birokrasi antara pusat dan daerah, melainkan persoalan esensial antara pemerintah pusat dan daerah yang selama ini menjadi persoalan penting, yakni terkait “dana”.
Jika kita telisik sejarahnya, munculnya dana perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dikarenakan adanya reformasi kekuasaan secara vertikal dalam negara, yaitu kekuasaan pemerintah pusat dibagi kepada daerah-daerah di bawahnya.
Reformasi ini mengakibatkan pemerintah daerah juga harus mempunyai dana dalam penyelenggaraan kekuasaan itu sendiri. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan pusat dan daerah.
W. R. Tjandra dalam bukunya Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah telah memprediksi persoalan vertikal antara pusat dan daerah ini akan terjadi.
Tjandra melihat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah ini ditandai dengan adanya dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari pemerintah pusat yang dialokasikan kepada pemerintah daerah.
Tentu, tujuannya adalah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri dari dana alokasi khusus (DAK) dan DBH dari penerimaan pajak dan sumber daya alam – sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2004.
Pembahasan isu DBH, walaupun sudah sering dilakukan, tetap menarik karena menyangkut “hajat hidup” daerah.
Oleh karena itu, transparansi DBH diperlukan untuk menghindari rasa curiga dari pihak-pihak yang terkait dalam pembagiannya ke daerah.
Dalam konteks otonomi daerah, penyaluran DBH pada dasarnya bertujuan untuk menyeimbangkan antara pembangunan nasional dengan pembangunan daerah, untuk mengurangi ketimpangan antara daerah penghasil dan daerah bukan penghasil sumber daya alam.
Walaupun memiliki prinsip “by origin” yang mana daerah penghasil memperoleh porsi yang lebih besar dibandingkan dengan daerah-daerah bukan penghasil, banyak daerah penghasil yang masih tidak puas dengan pembagian DBH.
Salah satu hal yang menyebabkan ketidakpuasan tersebut karena masih banyaknya masyarakat miskin di daerah kaya sumber daya alam dan kadang kekurangan pasokan energi seperti listrik dan Bahan bakar Minyak (BBM).
Nah, mungkin ketimpangan ini yang dirasakan oleh Bupati Adil,yang melihat Kabupaten Kepulauan Meranti meski mempunyai sumbangsih berupa penghasilan migas tetapi merasa tidak adil dalam konteks DBH pemerintah pusat.
By the way, pernyataan Bupati Adil kalau pegawai Kemenkeu itu “iblis” termasuk keras dan berani loh. Hmm, kalau ia seberani itu, muncul dua kemungkinan, benar-benar nekat atau jangan-jangan ada yang “backup” nih. Chill, no one really knows kok pastinya gimana. Hehehe. (I76)