Kebijakan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono tentang rekayasa lalu lintas di Simpang Santa dan “penggusuran” trotoar serta jalur sepeda belakangan jadi sorotan publik. Kira-kira bagaimana Pak Heru bisa menjadikan ini sebagai pembelajaran?
“If it isn’t broke, don’t fix it,” – Thomas Bertram Lance, pebisnis Amerika
Di zaman sekarang ini siapa ya yang gak pernah main video game? Kalaupun ada, hampir bisa dipastikan jumlahnya mungkin hanya segelintir orang saja. Apalagi kalau dari kalangan Generasi Z ke sini, beuh, mayoritas pasti gamer.
Nah, buat yang suka main game, mungkin kalian sadar kalau seiring perkembangannya, game-game yang kita mainkan semakin banyak yang berorientasi menjadi game online. Karena itu, kalau mau main game sekarang gak cukup punya koneksi yang bagus doang, tapi kita juga butuh kuota yang banyak untuk digunakan ketika ada update atau patch-patch terbaru.
Tapi yang lucunya nih ya, gak jarang patch dari para pengembang game dalam sebuah update itu malah ngebuat pengalaman bermain kita jadi bermasalah. Di game Dota 2, misalnya, beberapa kali pernah kejadian update yang baru justru ngebuat sejumlah gamer tidak bisa membuka aplikasi game-nya.
Kadang pula, meskipun gak ada masalah teknis, patch baru tetep ngerusak permainan kita karena ada karakter yang skill-nya dibuat jadi overpowered (OP) atau terlalu kuat. Kalau yang ini sih kadang kejadian juga di game MOBA lain, contohnya Mobile Legends.
Intinya sih ya, sering banget update yang harusnya bisa ngebuat game kita lebih enak dimainin, malah menciptakan masalah baru yang mungkin gak kita temuin di patch-patch sebelumnya.
Ngomong-ngomong tentang perubahan baru yang bermasalah, belakangan ini Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, disoroti publik karena peristiwa kemacetan luar biasa yang beberapa hari lalu terjadi di persimpangan Pasar Santa, Jakarta Selatan. Kemacetan ini diduga terjadi karena pihak Pemerintah Provinsi DKI (Pemprov DKI) melakukan rekayasa lalu lintas dengan menempatkan beton di Simpang Santa.
Tapi, masalahnya gak cuman di situ, karena di balik penutupan jalan ini ada cerita “pengorbanan” trotoar dan jalur sepeda yang dialihfungsikan jadi jalan raya karena Heru awalnya menilai itu akan mengatasi kemacetan. Tapi karena macetnya justru makin parah, banyak yang nilai keputusan Heru soal masalah ini telah menjadi sebuah blunder kebijakan yang besar.
Menariknya, sesuai kabar terbaru, Pemprov DKI sekarangmalah mau membangun kembali jalur sepeda dan trotoar di Persimpangan Santa. Waduh, bolak-balik dong ya?
Well, dari hiruk-pikuk kebijakannya Pak Heru ini, kayaknya ada baiknya Pak Heru belajar dari kesalahan para developer game yang kadang ngebuat patch baru tapi malah ngehasilin masalah baru. Karena sesuai perkataannya Thomas Bertram Lance: kalau sesuatu tidak rusak, maka kita tidak perlu memperbaikinya.
Bila memang trotoar dan jalur sepeda di Simpang Santa sulit dibuktikan sebagai penyebab terbesar macet di sana, untuk apa toh ditutupi dengan jalan raya?
Wakil Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta, Ismail sih ngeduganya Heru melakukan itu karena ingin menutupi legacy dari eks-Gubernur DKI, Anies Baswedan, karena memang jalur sepeda di kawasan Santa itu merupakan salah satu program Anies.
Well, kita gak akan bisa tahu pasti apakah anggapan seperti yang diungkapkan Ismail itu benar atau tidak. Yang jelas, kalau kata Dan Kahan dalam teorinya Identity-Protective Cognition, politisi emang kerap terjebak sama ambisinya ketimbang mengecek terlebih dahulu kenyataan yang ada di lapangan. Karena hal ini, terkadang muncul kebijakan-kebijakan yang kontroversial di masyarakat.
Yang pastinya, Pak Heru masih memiliki beberapa pekerjaan rumah untuk membuktikan dirinya bisa menjadi Pj Gubernur DKI yang tepat. Di satu sisi, sebenarnya kita juga mungkin tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Pak Heru, ya? Karena jabatan Gubernur yang diterimanya pun sebenarnya adalah giveaway. Uups. Itu mengutip kata-kata Pak Refly Harun loh, ya.
Eh tapi, emang bener, kan? (D74)