Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani dikabarkan menghilangkan kesempatan interupsi seorang politikus PKS yang bernama Amin AK dengan mematikan mikrofon. Kabarnya, ini sudah ketiga kalinya Puan melakukan hal yang sama. Mengapa demikian?
Mungkin, semua orang perlu berterima kasih kepada penemu mikrofon – entah siapa yang mengembangkannya pertama kali. Bagaimana tidak? Berkat dia, kita jadi bisa mendengar pembawa acara ketika menghadiri sebuah kegiatan, bisa menonton suara penyanyi kala menonton konser musik, dan bisa mendengar suara penceramah ketika berkhotbah.
Tidak hanya itu, mikrofon bisa membawa berkah tertentu bagi orang-orang tertentu. Acara televisi yang bertajuk Mikrofon Pelunas Utang (2017-2018), misalnya, akhirnya memberikan kesempatan pada mereka untuk melunasi utang mereka.
Mikrofon juga menjadi instrumen bagi sejumlah pihak untuk bergaya. Para penyanyi rap (rappers), misalnya, kerap menjatuhkan mikrofon mereka – disebut sebagai mic drop – ketika mereka merasa puas dengan freestyle-nya.
Memang, mikrofon bisa dibilang menjadi penemuan yang bermanfaat bagi banyak orang, termasuk mereka yang berada dalam dunia politik. Pasalnya, mikrofon lah yang membantu membawa gagasan dan ide tersebar ke khalayak umum.
Salah satu tokoh politik Indonesia yang dalam fotonya sering terlihat berdiri dengan mikrofon adalah sang Proklamator Kemerdekaan RI, Soekarno. Tidak jarang, foto-foto beliau yang seperti ini kita jumpai di buku-buku sejarah yang dipelajari di bangku sekolah.
Mungkin, bila Presiden Soekarno merupakan seorang musisi, mikrofon bisa jadi adalah instrumen musik favoritnya. Melalui benda yang mentransmisikan gelombang suara tersebut, Soekarno melantunkan “nada-nada indah” yang penuh dengan aspirasi rakyat – seakan-akan menjadi penyambung lidah masyarakat Indonesia.
Sungguh luar biasa bukan kakek dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani ini? Mungkin, andaikata mikrofon tidak pernah eksis, orang-orang Indonesia akan menjadi semakin sulit mengenali gagasan-gagasan Soekarno.
Terang saja, bila mengacu pada tulisan Virginia Heffernan yang berjudul The Key to Political Success? Monopolizing the Microphone, dijelaskan bahwa mikrofon menjadi alat untuk memonopoli volume. Dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat politik, monopoli ini penting karena bisa mengamplifikasi pesan politik yang ingin disampaikan.
Bisa jadi, kabar soal Puan yang kembali mematikan mikrofon dalam sidang paripurna beberapa waktu lalu merupakan bentuk ketakutan Puan terhadap monopoli volume itu. Mungkin, belajar dari kakeknya yang menguasai mikrofon, ini adalah bentuk refleks politik dari Mbak Puan – sampai-sampai mematikan mikrofon tiga kali dari tahun 2020 hingga 2022. Apakah ini yang disebut hattrick?
Refleks dalam politik seperti ini wajar kok. Bila mengacu ke tulisan Ed Yong yang berjudul Political Attitudes Linked to Startle Reflexes, refleks tubuh terhadap berita politik yang mengejutkan bisa juga berkaitan dengan pandangan politik kita lho.
Apa mungkin ini bentuk refleks politik Mbak Puan terhadap monopoli volume via mikrofon? Who knows? Hehe. (A43)