Kasus baladacintarizieq kini memasuki babak baru. Firza Husein, yang diduga punya hubungan terlarang dengan Rizieq Syihab dinaikan statusnya dari saksi menjadi tersangka.
PinterPolitik.com
“Oh, kasihan banget, orang tidak tahu apa-apa bisa menjadi korban dan dijadikan sebagai tersangka.”
[dropcap size=big]S[/dropcap]ugito Atmo, Ketua Bantuan Hukum FPI, menyampaikan rasa keprihatinan Rizieq terhadap status tersangka yang menimpa Firza Husein. Keputusan itu sendiri dijatuhkan Rabu (17/05) lalu. Pihak kepolisian memutuskan tidak menahan Firza atas alasan kesehatan dan perilaku kooperatifnya selama masa pemeriksaan.
Firza Husein dijerat Pasal Pornografi dan UU ITE atas dugaan chat mesum bersama Rizieq Syihab. Yakni melanggar pasal 4 ayat 1 juncto pasal 29 dan/atau Pasal 6 juncto Pasal 32 dan/atau Pasal 8 juncto Pasal 34 Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman penjara di atas lima tahun.
Sebagian besar masyarakat juga sudah hapal bagaimana alur kasus ini berjalan. Permasalahan dimulai sejak situs baladacintarizieq memuat bukti percakapan melalui whatsapp antara Firza dan Rizieq. Dalam situs yang sudah diblokir pemerintah itu, tersedia pula rekaman pembicaraan telepon Firza dengan ‘Kak Emma’ alias Fatimah tentang hubungannya dengan imam besar FPI asal Petamburan, Jakarta Utara tersebut.
(Baca ‘Balada Cinta Kasus Habib’)
Namun, banyak kejanggalan atas penetapan status tersangka Firza. Ia bukanlah pihak yang menyebarkan konten berbau pornografi. Selain itu, dibandingkan dengan kasus berat lain yang menyangkut nama Rizieq, kasus baladacintarizieq tak perlu mendapat mata dan energi berlebihan para aparat. Kasus pencemaran Pancasila dan ujaran kebencian oleh pentolan FPI lainnya, seharusnya mendapat penanganan lebih lanjut.
Apakah ini cara pemerintah mempermalukan Riziek? Yakni dengan menyudutkan Firza dan ketubuhannya? Jika begitu adanya, maka ada yang salah dari cara berpikir pihak kepolisian dan pemerintah kita.
Upaya Stigmatisasi Firza?
Firza sendiri dikenai pasal 4 ayat 1 UU Pornografi. Pasal ini mengatur larangan perbuatan, memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi. Selain itu, ia juga harus menanggung tuduhan penyebaran konten pornografi dalam UU ITE Pasal 27 ayat 1.
Kedua pasal ini, selain Pasal Penodaan Agama, memang memiliki sifat karet karena tak jelas apa indikator pengukurannya. Dalam Pasal Pornografi, patut dipertanyakan pula apakah konten video, gambar, dan lain-lain, yang diduga mengandung unsur pornografi memang dibuat untuk disebarkan atau hanya untuk kepentingan pribadi?
Sementara itu, dalam konteks pembuatan dan penyebaran konten, aspek persetujuan (consent) kedua belah pihak menjadi hal vital untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran. Hal-hal seperti ini, sepertinya tak menjadi pertimbangan aparat dan pemerintahan sehingga Firza sangat rawan diobjektifikasi dan reviktimisasi. Pihak kepolisian sendiri, hingga saat ini belum bisa mengejar pelaku penyebaran konten pornografi itu.
Kasus Firza Husein dan Rizieq, bisa mengingatkan kita ke tahun 2008 dan 2006, ketika nama artis Ariel ‘Peterpan’, Luna Maya, dan Cut Tary menggegerkan publik atas video panasnya. Selain mereka, anggota DPR dari Fraksi Golkar juga tersandung kasus pornografi bersama artis dangdut Maria Eva karena produk pornografi yang sama. Hasilnya, Ariel ‘Peterpan’ dan penyebar videonya dipenjara dan dikenai denda. Sedangkan Yahya Zaini tak mendapat hukuman apapun, karena polisi menilai baik dirinya dan Maria Eva bukanlah pelaku penyebaran video. Semantara itu, Luna Maya, Cut Tary, akhirnya dibebaskan. Menilik kasus pornografi yang menghebohkan masyarakat, hanya Firza Husein yang dijadikan tersangka.
Firza Husein dan Seksisme Dalam Politik
Seksisme adalah diskriminasi kepada seseorang terkait dengan identitas gender atau seksnya. Kasus seksisme biasanya banyak menyasar perempuan. Dalam Historical Notes on The Vocabulary of The Women’s Movement (1985), Fred R. Saphiro menjelaskan bahwa seksime adalah cara menjustifikasi seseorang berdasarkan seks, bahkan ketika aspek seks itu sendiri tidaklah penting.
Dalam kasus baladacintarizieq, tubuh dan identitas Firza Husein menjadi sebuah senjata ampuh bagi lawan politik Rizieq untuk menjatuhkannya. Lagi-lagi, karena ketiadaan pengalaman perempuan yang terakomodir dalam pasal Pornografi, membuat Firza Husein menjadi ‘sasaran empuk’ objektifikasi. Firza, melalui foto-foto dan chat bernada seksi, sudah dipersonifikasikan sebagai perempuan yang terlihat seksi, ‘menantang’, dan mengundang hasrat. Personifikasi itu seolah dikontraskan dengan Rizieq yang kerap berkoar mengklaim dirinya sebagai ulama besar umat Islam di Indonesia.
Politik yang sejak awal kering membawa pengalaman perempuan, turut menjadi salah satu pengantar suburnya seksisme dioperasikan di dalamnya. Tak hanya Firza, bahkan Hillary Clinton juga mengalaminya. Pada masa kampanye presiden Amerika Serikat, ia dikritisi pada hampir semua ranah privatnya, mulai dari gaya bicara, harga blazer yang dikenakannya, bahkan senyumnya. Hal-hal seperti itu tak pernah ditujukan pada kandidat laki-laki.
Seksisme, baik bagi aktor utama politik maupun seorang outsider seperti Firza, sama-sama menempatkan posisi merugi bagi status dan derajat perempuan. Gawatnya, strategi semacam ini, sepertinya akan terus dipelihara karena sangat efektif menjatuhkan citra seseorang.
Profesor Sulistyowati Irianto menambahkan, hukum dan politik yang minim berspektif perempuan menyebabkan banyaknya instrumen hukum yang malah merugikan perempuan. Salah satunya adalah hukum Pasal Pornografi, pasal ini secara eksplisit menyalahkan perempuan sebagai sumber tindakan kriminal atau materi seksualitas, seolah sesuatu yang porno pasti selalu berasal dari perempuan. Tak heran bila kemudian Firza Husein menjadi tersangka.
Perhatikan Kasus Rizieq yang Lain
Ketika mengingat kasus Luna Maya – Ariel – Cut Tary, tak banyak yang mengingat FPI mengobarkan tuntutan untuk segera memenjarakan ketiga artis ternama itu. Tak lupa, pada tahun 2006, anggota FPI menyeruduk kantor majalah Playboy karena memuat gambar-gambar ‘porno’ pada edisi perdananya. Bahkan Rizieq sempat menyebut majalah cabang Amerika itu dengan, “Covernya sopan, isinya ‘setan’.”
Kini setelah pemimpin besar FPI tersandung Pasal Pornografi, FPI seakan jinak-jinak merpati. Penasihat hukum FPI, Sugito menyebut bahwa kasus yang menjepret Rizieq adalah bentuk kriminalisasi. “Kalau memang itu terkait konten pornografi, yang meng-upload dulu, dong (yang diusut),” kata Sugito, Selasa (16/5/2017).
Selain kasus ini, Rizieq tercatat tersandung 7 kasus lainnya terkait ujaran kebencian dan penodaan. Dari 7 kasus itu, ia menjadi tersangka dalam Penodaan Lambang Negara.
Seperti yang disampaikan, kasus pornografi bersama Firza Husein sebagai tersangka, hanyalah upaya lawan politiknya menjatuhkan dan mempermalukan Rizieq, dengan menyudutkan dan mengobjektifikasikan tubuh dan status Firza Husein. Jika Rizieq harus masuk bui, maka pasal yang mengenainya tentu bukan berkenaan dengan pornografi.
Namun perlu diingat pula, seharusnya pasal-pasal sebagai kontitusi negara diciptakan untuk membatasi pemerintah dan menjamin hak-hak dasar warga negara, seperti hak berkeyakinan, berpendapat, dan berserikat. Bukan malah menciptakan pasal karet semacam Pasal Pornografi dan UU ITE yang siap menjepret siapa saja laksana karet.
Jika benar Indonesia adalah negara yang menjunjung demokrasi, seharusnya tidak ada orang dipenjara padahal dirinya adalah korban, pula tak seharusnya hukum tebang pilih ada hanya karena masalah gender, apakah ia laki-laki atau perempuan.
Jika demikian, maka demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia sama seperti diskon di toko baju, yaitu syarat dan ketentuan berlaku. (Berbagai Sumber/A27)