Perjuangan merebut kemerdekaan dari kependudukan Jepang dan penjajahan Belanda, mungkin tak akan sepenuhnya mulus jika tokoh-tokoh asing ini menolak membantu para pejuang kita. Selain Laksamana Tadashi Maeda, siapa saja tokoh asing anti-kolonialisme yang berada di balik kemerdekaan Indonesia?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]ara pejuang kemerdekaan, baik dari kalangan intelektual maupun militer, punya relasi luas dengan tokoh kunci dari negara lain. Saat Indonesia berusaha melakukan revolusi kemerdekaan, dunia internasional saat itu sedang menghadapi Perang Dunia II, yang bertumpu antara Poros (Jerman, Jepang, Italia) dengan Sekutu (Uni Soviet, Amerika Serikat, Tiongkok, Inggris Raya).
Kekuatan Poros perlahan dipukul mundur oleh Sekutu, dengan bom Hiroshima dan Nagasaki di Jepang, sebagai gong penutup. Peristiwa duka mendalam bagi Jepang, dimanfaatkan para pejuang kemerdekaan Indonesia untuk memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Laksamana Tadashi Maeda sebagai tokoh militer tertinggi Jepang berani pasang badan demi Kemerdekaan Indonesia. Ia mempersilakan dan menjamin para pemimpin untuk merumuskan teks proklamasi di rumahnya.
Selain Tadashi Maeda, berikut adalah tokoh asing lainnya yang turut berjuang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
1. Muriel Stuart Walker (K’tut Tantri)
Perempuan kebangsaan Skotlandia ini dikenal juga dengan nama K’tut Tantri. Ia adalalah penyiar Radio Barisan Pemberontakan Indonesia yang statsiunnya bertitik di Surabaya. Stasiun radio ini dipimpin oleh Bung Tomo.
Muriel atau K’tut Tantri menyampaikan pidato Bung Tomo dalam Bahasa Inggris dan juga menyiarkan jalannya peperangan ke seluruh Eropa. Akhirnya, perjuangan Indonesia dapat dikenal dan simpati berdatangan terhadap perjuangan rakyat Surabaya. Sayangnya, stasiun radio yang berlokasi di Jalan Mawar No. 10 – 12 Surabaya saat ini sudah rata dengan tanah untuk lahan parkir sebuah plaza. Padahal, menurut historia.id, lokasi tersebut sudah ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Walikota Surabaya tahun 1998.
2. Dmitry Manuilsky
Sejak 4 Desember 1945, Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia, selalu menyatakan bahwa campur tangan PBB adalah jalan terbaik untuk memecahkan soal Indonesia dan Belanda. Maka dari itu, Sjahrir selalu mengirim surat ke PBB agar masalah Indonesia dibicarakan oleh Dewan Keamanan PBB.
Dmitry Manuilsky, utusan Ukraina untuk PBB, adalah tokoh pertama yang mengusulkan permasalahan Indonesia agar dibahas di Dewan Keamanan PBB. Di tiap sidang, Manuilsky bersikukuh jika Indonesia berada dalam keadaan bahaya. Berkat dirinya sengketa Indonesia – Belanda menjadi sengketa internasional.
3. Warner dan Losche
Kedua tokoh asing ini adalah prajurit Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) dari Kapal Selam U- 219. Mereka memutuskan bergabung dengan gerilyawan Indonesia saat Perang Dunia II berakhir.
Keduanya menjadi pelatih militer pada sebuah kesatuan tentara Indonesia di Pulau Jawa, tepatnya di perkebunan kopi Ambarawa. Losche meninggal ketika melatih gerilyawan Indonesia saat merakit sejenis pelontar api.
4. Bob Earl Freeberg
Dalam otobiografinya berjudul Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno menirukan perkataan Bob Earl Freeberg padanya, “Namaku Bob Freeberg. Aku orang Amerika. Aku seorang pilot dan menaruh simpati pada perjuangan Anda. Bantuan apa yang dapat kuberikan?”
Misi penting yang dilakukan Freeberg adalah mengirimkan pasukan penerjun ke Kalimantam yang saat itu diduduki NICA. Ia juga membawa misi mengirmkan uang dan emas untuk membantu gerilya di Sumatera. Namun nahas, pesawat yang dikemudikannya, berkode RI – 002, ditembak Belanda pada 1 Oktober 1948 di Sumatera Selatan. Bung Karno yang saat itu dikenal sangat anti Amerika, bahkan menyatakan dukanya dengan mengatakan, “Tak pernah aku akan melupakan kawanku orang Amerika, Bob Freeberg.”
5. Joseph Benedict Chifley
Chifley adalah Perdana Menteri Australia periode 1945 – 1949, yang berasal dari Partai Buruh. Berbeda dengan Tony Abbot, yang selalu memnunjukan sikap bermusuhan dengan Indonesia, Chifley cenderung mendukung Kemerdekaan Indonesia pada masa revolusi. Dukungannya ditunjukan dengan membiarkan aksi boikut yang dilakukan para buruh pelabuhan Australia yang membawa persenjataan Belanda ke Indonesia.
Dukungannya berlanjut di ranah PBB dengan menyatakan bahwa Indonesia masih eksis dan sanggup melawan Belanda dalam Agresi Militer II. Atas jasanya, Chifley menerima penghargaan Bintang Dharma Putra RI di tahun 1992.
6. Tadashi Maeda
Namanya sering disebut dalam buku sejarah Indonesia. Ia adalah satu-satunya tokoh Jepang yang berani mengambil resiko mendukung kemerdekaan Indonesia meski penguasa di Jawa mematuhi peraturan Sekutu menjaga status quo. Ia adalah tokoh asing yang tiap tahunnya turut gembira menyambut peringatan Kemerdekaan Indonesia.
Laksamana Tadashi Maeda memiliki peran penting dengan mempersilakan dan menjamin keamanan para pemimpin Indonesia untuk merumuskan teks proklamasi di rumahnya. Saat ini, rumah Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol, Jakart Pusat menjadi Museum Naskah Proklamasi.
7. Ichiko Tatsuo (Abdul Rachman)
Nama Abdul Rachman diberikan oleh Haji Agus Salim ketika Tatsuo menjadi penasihat Divisi Pendidikan PETA, sebagai bentuk penghargaan kepadanya. Tatsuo memimpin Pasukan Gerilya Istimewa di Semeru, Jawa Timur.
Ichiko Tatsuo gugur di desa Dampit, Malang, pada 9 Januari 1949 karena tertembak tentara Belanda. Pada Februari 1958, Presiden Soekarno memperingati jasanya dengan memberi sebuah teks yang disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Mintoku, Tokyo. Biara tersebut akhirnya menjadi monument Soekarno (Sukaruno hi) bertuliskan, “Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan bukanlah milik bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15 Februari 1958. Soekarno.”
8. Tomegoro Yoshizumi
Selain Ichiko Tatsuo, Soekarno juga menaruh hormat yang tinggi pada perwira intel Jepang, Tomegoro Yoshizumi. Bagaimana tidak? Di saat Jepang mengirimkan tentara untuk menduduki Indonesia, Yoshizumi malah membantu kemerdekaan Indonesia dan mempersembahkan hidupnya untuk Indonesia.
Ia melibatkan diri dengan mencuri barang-barang di gudang Markas Besar Kaigun Bukanfu, lalu menjualnya di pasa gelap. Hasil penjualan itu diserahkan kepada Tan Malaka untuk mendanai Perang Gerilya. Ia juga menjalin kontak dengan Affandi, pelukis dan pemimpin serikat buruh PAL untuk mendirikan pabrik senjata di Blitar dan Kediri. Yoshizumi gugur di Blitar pada 10 Agustus 1948 dan makamnya bisa ditemui di Taman Makam Pahlawan, Blitar, Jawa Timur.
9. Shigeru Ono
Jika dua tokoh Jepang berkontribusi dalam lingkup militer, Shigeru Ono bergerak dengan menerjemahkan buku rangkuman taktik perang dan trik perang gerilya untuk tentara Indonesia. Ono juga ikut bergerilya dengan menyerang markas KNIL di Mojokerto pada Juni 1947.
Usai pengakuan kedaulatan Indonesia, Ono menetap di Batu, Malang, Jawa Timur hingga akhir hayatnya. Ia mengisi waktu dengan bertani, sambil sesekali menerima wartawan di rumahnya. Ono meninggal pada 25 Agustus 2014 karena tifus dan pembengkakan pembuluh darah. Ono adalah sedikit dari mantan tentara Jepang yang menolak hara-kiri atau kembali ke Jepang setelah kekalahan melawan Sekutu.
10. Yan Chill Sung
Ketika Jepang menjajah Korea, ia juga mengkooptasi tentara Korea untuk dikirim ke Indonesia sebagai ilbon gunnin (tentara regular) dalam Perang Asia Timur Raya. Namun, Yan Chill Sung, sebagai atasan para tentara tambahan, memilih bergabung dengan gerakan pembebasan Indonesia dan memilih mati di ujung bedil serdadu Belanda.
Chill Sung masuk agama Islam dan berganti nama menjadi Komarrudin. Ia bekerja sebagai ahli peledak dan berkontrbusi besar dalam operasi penghancuran jembatan Cimanuk untuk menggagalkan upaya Belanda menguasai wilayah Wanaraja. Pada 9 Agustus 1948, Sung tertangkap dan dieksekusi pasukan Buru Sergap Belanda yang diinisiasi H.J Mook. Sebelum ditembak, Sung sempat berteriak, “Merdeka!” sebelum akhirnya peluru menembus kepalanya. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut, Jawa Barat.
Orang Asing di Pihak yang Benar
Kesepuluh tokoh asing tersebut pastinya memiliki alasan mendalam tersendiri untuk membela Indonesia dengan caranya masing-masing. Terutama bagi mereka yang rela mati ribuan kilometer dari kampung halamannya, demi kemerdekaan bangsa lain.
Menyaksikan kiprah orang asing bagi Indonesia ini, layaknya melihat kiprah Hanuman dalam cerita Ramayana. Mereka adalah makhluk asing serupa kera yang berada di pihak Rama. Dalam konteks revolusi Indonesia, para tokoh asing ini, bagi orang Indonesia adalah orang asing yang berada di pihak yang benar. Berikan pendapatmu. (Berbagai Sumber/A27)
► Ingin video menarik lainnya ? klik di : http://bit.ly/PinterPolitik