Keduanya adalah anak kandung dari Bapak Pendiri Bangsa. Di negaranya masing-masing, baik Suu Kyi dan Megawati tumbuh dari sosok ikon perjuangan hingga menjadi pusat hujatan.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]S[/dropcap]eorang aktivis lingkungan sekaligus pembuat film dokumenter, Dandhy Laksono, ramai dilaporkan karena menyamakan sosok Megawati dengan Aung San Suu Kyi. Pihak yang melaporkan Dandhy ke polisi adalah Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur, organisasi sayap PDIP karena dianggap menghina Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Sebuah status yang membuat Dandhy ditangkap, memang menyitir pelanggaran HAM yang dilakukan Megawati terhadap masyarakat Papua. Kalimat tersebut berbunyi, “Tepat setelah Megawati kembali berkuasa dan lewat kemenangan PDIP terpilihnya Presiden Jokowi, yang disebutnya sebagai “petugas partai”, jumlah penangkapan warga di Papua tembus 1.083”. Apa yang dilakukan Megawati terhadap warga Papua, disamakan oleh pendiri rumah produksi visual Watchdoc itu, dengan sikap Suu Kyi terhadap masyarakat Rohingya. Hal inilah yang dinilai sebagai ujaran kebencian oleh pihak Repdem.
Jika apa yang dikatakan Dandhy benar, apakah ada lagi kesamaan antara Suu Kyi dan Megawati?
Putri Pendiri Negeri
Sudah jamak diketahui jika Megawati dan Aung San Suu Kyi adalah puteri dari pendiri bangsa. Soekarno, ayahanda Megawtai adalah proklamator Indonesia, Ir. Soekarno. Sosok gagah nan intelek di masanya itu, juga melahirkan konsep Pancasila sebagai dasar negara. Setelah bebas dari penjajahan Belanda dan kependudukan Jepang, Soekarno maju menjadi Presiden Pertama RI dan memerintah selama 22 tahun, mulai dari tahun 1945 hingga tahun 1967.
Akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal sebagai G30S PKI, Soekarno secara perlahan namun pasti dilengserkan dan didepak dari kursi presiden dan istana. Ia dijaga ketat dan hanya bisa dikunjungi oleh keluarganya. Menghabiskan hari-hari nan sepi, Soekarno meninggal karena sakit.
Di masa Orde Baru inilah, tak ada satu pun keturunan Soekarno yang ‘berani’ terjun ke dunia politik hingga tahun 1990-an. Kabarnya, anak-anak Soekarno dari pernikahannya dengan Fatmawati, sangat fobia dan trauma atas kudeta yang menimpa ayah mereka. Namun, tepat di ujung rezim Soeharto, Megawati muncul ke permukaan bersama dengan PDI, partai yang juga dikelola dan dibangun oleh ayahnya.
Megawati mendulang popularitas dan dukungan kala mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan di tahun 1997. Ia berkompetisi dengan Soerjadi, kader PDI yang juga tangan kanan Soeharto dalam ‘kontes’ tersebut. Di masa itu, memang terdapat dua kubu PDI yang bertahan, yakni PDI yang dipimpin Soerjadi dengan PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati.
Berkat sokongan Soeharto, Megawati kalah dan mundur dari panggung politik. Namun nyatanya, rakyat mendukungnya untuk duduk sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan. Terbukti, di bawah Soerjadi, suara pendukung PDI merosot drastis.
Selanjutnya aksi massa tumpah ke jalan demi mendukung putri Soekarno. Peristiwa bernama ‘Cap Jempol Darah’ ini terjadi menuntut naiknya Megawati sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan. Setelah berhasil duduk di pucuk PDI Perjuangan, sepak terjang politik Mega makin mulus menuju istana. Di bawah Megawati, PDIP mendulang suara tertinggi dan berhasil mengungguli partai-partai lama Orde Baru.
Sayangnya, walau meraup angka tertinggi dalam perolehan suara, Megawati tak bisa naik dan dicalonkan sebagai Presiden. Ia harus puas dengan posisi Wakil Presiden di samping KH. Abdurrahman Wahid. Namun, dua tahun kemudian, Megawati berhasil menggeser Presiden Gus Dur dan menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia di tahun 2001.
Suu Kyi, Anak Kandung si ‘Bengal’
Tak berbeda dengan Megawati, Suu Kyi juga merupakan anak kandung dari pejuang komunis Myanmar bernama Aung San. Aung San dilahirkan di daerah Natmauk, Burma pada 13 Februari 1915. Lahir dengan nama asli Htien Lin, ia merupakan anak dari keluarga terpandang, ayahnya seorang pengacara dan kakeknya, Bo Min Yaung, seorang pejuang anti kolonial Inggris di tahun 1886.
Sepanjang hidupnya, Aung San mendedikasikan diri pada pergerakan dan pembebasan kolonialisme Inggris. Demi mendukung aspirasi politiknya, ia mendirikan administrasi militer Anti – Fascist Organization (AFO), Anti Fascist People’s Freedom League (AFPFL), dan Patriotic Burmese Forces (PBF). Semua organisasi politiknya berafiliasi pada komunisme dan anti fasisme. Aktivitas politiknya ini, sempat mengundang kecaman Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris, yang menyebut Aung San sebagai ‘Si Bengal Penghianat Licik’.
Nahas, detik-detik menjelang kemerdekaan Myanmar, Aung San tewas ditembak oleh pasukan paramiliter yang dipimpin U Saw, yang juga lawan politiknya. Sejak saat itu, kekuasaan beralih ke pihak junta militer dan membuat keluarga besar Suu Kyi, harus melarikan diri ke luar negeri. Secara ironis, keluarga mereka menetap di Inggris.
Namun 28 tahun kemudian, Suu Kyi kembali ke Myanmar untuk menjenguk ibunya yang sakit keras. Kunjungannya itu ternyata disambut krisis politik di Myanmar. Jenderal Ne Win, diktator yang berkuasa selama 26 tahun di Myanmar mengundurkan diri. Sehingga tuntutan demokrasi luber kemana-mana, begitu pun dengan demonstrasi besar-besaran menentang kembalinya rezim militer Myanmar.
Suu Kyi yang sedang pulang kampung itu, langsung saja didaulat rakyat sebagai simbol perlawanan nasional. Memori kepahlawanan sang ayahanda dalam menentang penjajahan Inggris dibangkitkan kembali. Suu Kyi memilih mengiyakan permintaan rakyat dan rela meninggalkan kehidupan nyaman ala bangsawan di luar negeri, untuk memimpin pergerakan perubahan di Myanmar.
Selanjutnya Suu Kyi muncul di tengah demonstrasi pada 26 Agustus 1988 dan berpidato di hadapan 500.000 orang yang berkumpul di halaman Pagoda Shwedagon, menyerukan berdirinya pemerintahan demokratis. Walaupun tampil sebagai ikon, ternyata Suu Kyi masih bisa dikalahkan kekuatan militer Myanmar. Junta militer penerus Ne Win kembali mengambil alih kekuasaan, sehingga Suu Kyi dikenakan hukuman sebagai tahanan rumah atas aktivitas politiknya di waktu yang lama. Di titik inilah publik dan media Barat terus mereproduksi heroisme Suu Kyi dan puncaknya, anak ketiga Aung San itu diganjar Nobel Perdamaian.
Paradoks Sang Putri
Ketika menghadapi musuh politik sang ayah, kedua putri ini sama-sama terkena imbasnya pula. Megawati harus dibungkam Soerjadi, si tangan kanan Soeharto, sementara Suu Kyi terjungkal ke penjara oleh penerus Ne Win. Namun berkat dukungan deras rakyat, keduanya sama-sama berhasil mengukuhkan diri di pucuk pemerintahan negeri.
Megawati berhasil menjadi presiden RI ke-5, sedangkan Suu Kyi, setelah bebas dari penjara, ‘diberi’ jabatan sebagai Konselor Negara. Jabatan Konselor Negara yang diterima Suu Kyi merupakan kompensasi sebab statusnya sebagai istri sejarawan Inggris menghalanginya maju menjadi Presiden Myanmar. Myanmar menganut nasionalisme ‘keras’ yang mengagungkan kemurnian ‘ras’ sebagai pemimpin negara. Namun begitu, jabatan Suu Kyi tak kalah penting dan mendominasi jabatan Presiden Myanmar yang diduduki Htin kyaw saat ini.
Atas dasar negara ‘ultra’ nasionalis pula, banyak pihak menerka sebab diamnya Suu Kyi terhadap penindasan Rohingya. Sebagian masyarakat Myanmar memang tak mengakui keberadaan Rohingya di Myanmar atas dasar identitas. Bahkan menurut Al Jazeera, sebagai pengeras perbedaan, masyarakat Myanmar tak menggunakan kata ‘Rohingya’, namun ‘Bengali’ yang bermakna ‘orang dari Bangladesh atau suku Bengali’. Penyebutan yang dialiri alasan politis ini secara tak langsung semakin mensegregasi atau menajamkan perbedaan antara Myanmar dengan Rohingya secara identitas ras.
Tentu saja sikap Suu Kyi mendatangkan protes dari berbagai negara dan institusi HAM. Sebagai penerima Nobel Perdamaian, Suu Kyi gagal mendamaikan genosida Rohingya yang dilakukan junta militer.
Di pihak Megawati, paradoks juga tak berhenti. Ketika ia berhasil duduk di pucuk pemerintahan sebagai presiden RI, janjinya untuk mendatangkan kedamaian dan kemajuan di Aceh dan Papua hilang ditelan bumi. Seperti yang sudah disebutkan oleh Dandy Laksono dalam tulisannya, Megawati malah mengirim tentara melalui serangkaian operasi militer ke tanah Rencong Aceh. Belum lagi, sederet aktivis HAM, pejuang demokrasi dan warga sipil di Papua tewas selama masa pemerintahannya. Tak lupa kasus BLBI yang juga terus menghantui hingga detik ini.
Memori kepahlawanan sang ayah, memang membantu sepak terjang mereka di dunia politik. Namun soal praksis dan ideologi, baik Suu Kyi dan Megawati, malah berjalan bersebrangan dengannya. Sikap ‘bermusuhan’ Suu Kyi terhadap Rohingya sangat bertolak belakang dengan anti-fasisme yang selau digalakan Aung San sepanjang hidupnya. Sementara pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, bertolak belakang dengan usaha Pembebasan Irian Barat yang sudah diusahakan Soekarno di masa perjuangannya.
Keberadaan Suu Kyi dan Megawati di pucuk kepemimpinan, selain sama-sama menjauh dari ideologi sang ayah, juga sama-sama mengkhianati rakyat yang sudah mendukung dan mengangkatnya dalam dunia politik. Khilaf kedua tokoh tersebut ketika berada di puncak kepemimpinan, semakin menaruh persamaan sikap politik dan latar belakang, yang menjadikan Suu Kyi dan Megawati sebagai pusat hujatan. (Berbagai Sumber/A27).