Setelah sempat hilang dari peredaran, Buni Yani kembali jadi sorotan. Hari ini, sidang perdananya digelar terkait pelanggaran UU ITE. Atas sepak terjangnya, ia secara tak langsung berhasil menjebloskan mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke bui.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]T[/dropcap]epat pukul 09.00 WIB, Buni Yani memasuki ruang sidang. Ia terekam menjejakan kakinya di halaman gedung Pengadilan Negeri Bandung pukul 08.10 WIB menggunakan mobil Elf. Dalam balutan kemeja putih tersebut, ia duduk di dalam ruangan yang sudah dipenuhi oleh masyarakat.
Sebelumnya tersiar kabar jika proses sidang Buni akan dikawal oleh ribuan massa dari Aliansi Pergerakan Islam (API). Namun, hari itu hanya puluhan anggota API berdemonstrasi di luar gedung pengadilan. Mereka berteriak hingga sayup-sayup terdengar ke dalam gedung pengadilan. Awalnya, Buni Yani akan disidangkan di Pengadilan Negeri Depok, namun karena alasan keamanan, sidang akhirnya dipindahkan ke Bandung. Usul pemindahan itu sendiri diajukan oleh kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
Sementara itu, 29 penasihat hukum juga telah bersiap mendampingi Buni Yani. Mereka semua, termasuk Buni Yani dan masyarakat di dalam gedung pengadilan, seksama memperhatikan agenda pembacaan dakwaan yang dipimpin oleh Jaksa M. Sapto.
Isi dakwaan yang dibacakan oleh jaksa, berkisar pada proses pengunggahan potongan video sambutan Ahok pada kunjungannya ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, dalam rangka program kerja sama Pemprov DKI Jakarta dengan Alumni Sekolah Tinggi Perikanan (STP). “Pengadilan Negeri Bandung berwenang memeriksa dan mengadili terdakwa Buni Yani karena dianggap dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi dengan tujuan menimbulkan individu atau kelompok berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan,” kata jaksa penuntut.
Atas kegiatannya tersebut, jaksa mendakwa Buni Yani melanggar pasal 32 ayat 1, juncto 48 ayat 1, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ia diancam hukuman maksimal enam tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 1 miliar.
Buni Yani dan Transkrip ‘Maut’
“Kamis tanggal 6 Oktober, saya pulang mengajar jam 9, sampai di rumah jam 11 malam. Sambil makan saya lihat Facebook di handphone murah saya. Di timeline saya muncul tuh dari Media NKRI. Terus saya tonton, saya klik. Saya terkejut. Wuih…” itulah kali pertama Buni Yani menyaksikan video perkataan Ahok, dan secara kreatif dan reaktif, membuat transkrip videonya. Cerita itu sendiri terjadi saat dirinya belum resmi menjadi seorang tersangka.
Tak sampai menunggu satu harmal, ia sudah dilaporkan ke polisi oleh Muanas Alaidid, ketua Komunitas Advokat Muda Ahok (Kotak Adja). Transkrip abal-abal Buni Yani, menyebar bak api disulut bensin. Hingga dirinya juga tak luput menerima teror dan ancaman di tempatnya mengajar, yakni di kampus London School of Public Relation.
Ia juga mengaku jika hidupnya mengenaskan sekarang, “saya sudah tidak punya pekerjaan. Di keluarga, saya jadi banyak pikiran segala macam,” tukasnya seperti yang dlansir Tirto. Jika dirinya berakhir di penjara setelah rangkaian sidang berakhir, niscaya genap dan berlipat ganda deritanya.
Buni sebagai staf pengajar di LSPR, pernah mengajar tentang UU ITE selama dua tahun. Ia sedikit banyak mengerti dalam jeratan UU ITE, tekanan warga internet alias netizen terhadap kepolisian dapat mempengaruhi proses hukum. Ia, di sisi lain, juga mengerti sepenuhnya jika kasus yang dihadapinya tak serta merta dapat menimbulkan simpati. Ia sanggup memanipulasi perkataan orang dan menyebarkannya, tetapi secara lugu ia mengaku ketakutan tak berdaya menghadapi konsekuensi perbuatannya, “saya tidak berani masuk penjara.”
Berharap Dilepaskan
Tentu tak ada seseorang yang berharap masuk penjara. Maka dari itu, penasehat hukum Buni, Aldwin Rahardian, menegaskan harapan dan optimismenya jika kliennya itu bisa mendapatkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2) dari kejaksaan. Dengan begitu, perkara ini bisa dihentikan.
Aldwin berseloroh, ada sejumlah hal yang bisa menjadi pertimbangan kasus tersebut di SKP2. Ia berpendapat, perkara Buni sangat dipaksakan apabila berkaca dari bolak-baliknya perkaranya dari kepolisian ke kejaksaan. Bahkan, berkas di kejaksaan pun tidak dilimpahkan ke Kejati DKI Jakarta tetapi ke Kejati Jabar. “Ada hal-hal yang kemudian dianggap sebagai proses formil terlupakan,” kata Aldwin.
Hal senada juga diungkapkan oleh Irfan Iskandar, penasehat hukum Buni Yani yang lain. Ia menyampaikan kejaksaan bisa mengeluarkan SKP2 sebelum proses penuntutan. “Kejaksaan mempunyai ruang juga seperti kata Pak Aldwin tadi untuk mengeluarkan SKP2,” tukas Irfan.
Lebih lanjut, Irfan menjelaskan jaksa penuntut mempunyai peran penting setelah berkas Buni Yani P21. Mereka akan meneliti kembali berkas-berkas yang diserahkan penyidik kepada para jaksa. “artinya kita hanya mau menyampaikan P21 dari kepolisian ke kejaksaan tidak serta merta langsung ketika itu pula disidang,” kata Irfan.
Namun, setelah hari ini pihak Buni menghadapi sidang, semakin tipis harapan turunnya SKP2, dengan begitu berjalannya kasus ini sepertinya terus berlanjut dan menjadi episode tersendiri. (Berbagai Sumber/A27)