Untuk orang kebanyakan, mungkin mengungkapkan pendapat di tempat umum adalah hal yang biasa. Namun, ada kalanya, orang-orang fanatik menganggap opini seseorang sebagai pemicu tindakan kekerasan.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]F[/dropcap]iera Lovita dan Indri Soraya merupakan korban intimidasi dan cyber bullying oleh FPI. Mereka dipaksa meminta maaf karena dituduh menista agama dan ulama hanya karena status yang di tulisnya di Facebook. Fiera bahkan harus menerima sejumlah orang yang mengaku anggota FPI di rumahnya, mereka meminta Fiera untuk menghapus status di media sosialnya tersebut. Indri persis mengalami hal yang sama.
Tak hanya itu, kedua perempuan yang masing-masing tinggal di Solok, Sumatera Barat dan Tangerang Selatan ini, harus menelan ludah karena data-data pribadi, seperti tempat tinggal, lokasi bekerja, nomor telepon, akun media sosial, dan lain-lain, tersebar luas di dunia maya. Setelah ditelusuri, penyebarnya menamakan diri mereka sebagai Muslim Cyber Army.
Di belahan negara lain, Ricky John Best dan Taliesin Myrddin, tentu juga tak membayangkan jika perjalanannya menggunakan kereta Portland pada Sabtu (27/5) menjadi yang terakhir dalam hidupnya. Mereka tewas ditikam tatkala melindungi dua gadis muslim Amerika yang menjadi korban serangan verbal seorang lelaki.
Sang pelaku menikam Ricky, seorang veteran tentara Amerika, dan Taliesin, lelaki muda yang baru saja lulus kuliah dengan sebilah senjata tajam. Pelaku yang terbukti terindikasi dengan ideologi ultra kanan, dengan mudah dibekuk polisi. Namun kepedihan mendalam dan trauma masyarakat, terutama kelompok minoritas Amerika, semakin tumbuh dan bertambah nyeri.
Sepak Terjang Populis Kanan Amerika
Kasus di atas, memang berbeda. Namun juga mempunyai kesamaan, yaitu mereka menjadi korban dari orang-orang yang memiliki paham populis dan pengklaim supremasi penganut identitas mayoritas. Gerakan Muslim Cyber Army yang kerap bersuara ‘pro-pribumi’ dan penganut agama mayoritas, memiliki kesamaan dengan kelompok sayap kanan Amerika yang mendukung Donald Trump pada gelaran pemilu tahun lalu. Mereka mudah dikenali, yakni sangat anti minoritas dan anti muslim.
Kelompok di Amerika ini, disebut pula dengan supremasi kulit putih. Mereka juga kerap melakukan teror fisik dan verbal, serta menyebarkan informasi pribadi demi mempermalukan siapapun yang dianggap melecehkan Donald Trump, menghina warga kulit putih, atau membahayakan pemimpin gerakan mereka.
Kelompok mereka akhirnya digolongkan dalam satu jas populer bernama “Alt-Right” atau Kanan Alternatif. Mereka juga mengorganisir kelompok melalui internet dan media sosial. Kanal pilihannya adalah reddit atau 4chan.
Seperti yang dilansir dari Wired, situs Breitbart merupakan panggung utama bagi perkembangan isu-isu politik terkini Amerika yang dijajakan melalui kacamata politik berhaluan kanan. Sedangkan cabang-cabangnya, yang bernilai lebih ideologis dan teoritis, dimuat dalam media bernama Arktos dan The Right Stuff.
Bohir pemilik media yang berada di belakang layar tak sulit pula ditelusur. Adalah Andrew Breitbart, sosok yang disebut-sebut bertanggung jawab membentuk kultur internet masa kini. Konten Breitbart sendiri sangat provokatif, hampir selalu menyerang, dan mencoba mencoreng pihak yang berseberangan. Tak lupa, mereka juga mencampur bumbu gosip dan teori konspirasi dengan berita politik terkini Amerika.
Setelah kematian Breitbart di tahun 2012, jabatan CEO yang didudukinya diserahkan pada Steve Bannon. Bannon disinyalir merupakan manajer tim kampanye Donald Trump pada Pilpres AS, dan saat ini dirinya duduk manis di kursi empuk penasihat strategis presiden.
Selain Breitbart, ada pula gerakan supremasi kulit putih dan anti muslim bernama National Policy Institute (NPI). NPI diketuai oleh Richard Spencer, tokoh yang berjasa membentuk NPI tampak terhormat dengan rasismenya. Tujuan NPI itu termaktub dalam, “Dipersembahkan untuk warisan, identitas, dan masa depan orang-orang keturunan Eropa di Amerika Serikat dan seluruh dunia”. Pada Januari 2017 lalu, Spencer harus menelan pil pahit akibat sebuah tinju yang melayang ke wajahnya saat sedang melakukan wawancara langsung.
Namun setelahnya, kultur internet di Amerika semakin memanas. Sebuah komunitas Fraternal Order of Alt Knights didirikan dengan dalih membela kebebasan berbicara bahkan memberi sesi khusus untuk menyerang dan berkelahi di jalan. Selain itu, secara sistematis mereka mulai mengumpulkan ‘buruan’ mereka juga pihak-pihak yang bertanggung jawab memulai doxxing atau document tracing.
Doxxing ini merupakan bentuk intimidasi dunia maya dengan membocorkan data-data dan informasi pribadi seseorang, yang secara sadar dilakukan untuk mempermalukan siapapun yang dianggap mengkritik dan melawan gerakan. Semakin hari, metode doxxing juga ditiru oleh kelompok anti-fasis Amerika dengan menyebar data dan info pribadi Spencer.
Uniknya, Spencer menyeru dalam The Guardian, “Doxxing betul-betul mengerikan dan buat orang ketakutan. Saya tak suka mengatakan ini, tapi doxxing bisa menjadi senjata untuk menyerang orang dengan tingkat keberhasilan tinggi.”
Gelora Muslim Cyber Army Dalam Negeri
Fanpage Muslim Cyber Army di Facebook juga memiliki cabang-cabang lain yang mulai tumbuh, salah satunya Daftar Buronan Muslim. Keduanya berhasil dilumpuhkan setelah ramai-ramai dilaporkan oleh netizen. Saat aktif, laman Daftar Buronan Muslim berisi foto-foto dan profil pemilik Facebook yang dituduh menghina ulama dan agama. Ulama yang mereka maksud dan sangat dilindungi, tak lain dan tak bukan adalah Rizieq Shihab.
Komunitas Cyber Muslim Army mulai menampakkan diri sejak gelaran politik elektoral Pilkada Jakarta 2017. Kelompok ini sangat vokal mengeluarkan protes sarat anti-Ahok sejak tahun 2016. Menelusur tokoh di balik Muslim Cyber Army lebih sulit, karena hampir tokohnya bergerak secara anonim.
Namun pada Desember 2017, Jonru Ginting, seorang warga internet yang kerap menulis dan mengkritik Presiden Jokowi, menunjukan keberpihakannya pada aktivitas Muslim Cyber Army. Dalam fanspage miliknya yang sudah memiliki pengikut lebih dari satu juta orang tersebut, Jonru ikut membagikan informasi tentang pelatihan Muslim Cyber Army.
Sementara itu, saat akun fanspage Muslim Cyber Army dilumpuhkan pada akhir Mei 2017, Jonru menunjukan dukungan yang tersirat dalam sebuah status panjang di Facebook. Status ini mendapat jempol dari pengguna media sosial sebanyak lebih dari 9000 orang.
Menekan Kebencian di Dunia Maya
Selama gelaran Pilkada berlangsung, akun yang mirip Muslim Cyber Army menjamur, menebarkan pesan-pesan sektarian, dan menyebut atau mempublikasikan siapapun yang dianggapnya musuh dengan ‘ahokers’, ‘kafir’, ‘munafik’, dan lain-lain. Tak lupa, mereka juga menghimbau kepada kawan-kawan komunitasnya untuk beramai-ramai melaporkan sejumlah pengguna Facebook yang ditengarai berseberangan ideologi dengan mereka.
Melihat geliat aktivitas cyber yang demikian berpengaruh, marsekal muda di Kemenko Polhukam TNI Agus Ruchyan Barnas, menyerukan pembentukan Badan Cyber Nasional (BCN) guna mengelola, mengendalikan, serta mengkoordinasikan aktivitas cyber di Indonesia. “Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari Lemhanas yang mengusulkan agar BCN nantinya akan bersifat sebagai regulator dalam mengelola, mengendalikan, serta mengkoordinasikan aktivitas cyber di Indonesia,” tuturnya pada tahun 2014.
Namun, pernyataan tersebut sama sekali tak menjawab dan semakin membenarkan kekhawatiran berbagai kalangan yang selama ini menganggap BCN tak maksimal secara fungsi dan peran karena tumpang tindih dengan lembaga yang sudah ada.
Sementara itu, kultur rasisme yang luas di media sosial, mulai meluber ke dunia nyata, terutama pada masa Pilkada Jakarta. Mulai dari politisasi masjid, pelaporan orang-orang yang menghina ulama/agama atas pasal UU ITE, dan ancaman semakin marak ditemui. Sementara di Amerika Serikat, propaganda rasisme yang meradang di internet, turut berkembang menjadi sebuah arus kekerasan dan semakin nyata saat Trump berkuasa. Propaganda di ruang maya, baik di Amerika Serikat maupun Indonesia, secara bersamaan semakin mereduksi privasi dan menjadikannya hal yang sangat mahal.
Nahdatul Ulama (NU) pernah berkata, Indonesia sudah sangat tertinggal dalam menegakkan hukum terkait dengan media radikal, sehingga pihak penebar propaganda masih leluasa menyebarkan pengaruhnya ke masyarakat. “Ini bukan soal Islam atau tidak Islam, tapi ini soal melanggar hukum atau tidak, melawan konstitusi atau tidak. Islam kalau melawan hukum, ya harus ditindak, apa pun alasannya. Begitu juga bukan Islam, kalau melanggar harus ditindak tegas,” ujar Yaya Cholil Staquf dari PBNU.
Dengan demikian, jika pemerintah, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Polri tak kunjung tegas dan masih ragu menindak media dan jaringan ekstrim di media sosial. Maka, kita tak perlu mengernyitkan dahi, tanda keheranan, dengan jatuhnya korban-korban dengan kasus dan ancaman yang serupa di kemudian hari. (Berbagai Sumber/A27)