Mendorong partisipasi perempuan dalam politik memang merupakan hal yang gampang-gampang sulit. Akar budaya Indonesia masih menempatkan perempuan sebagai kelompok yang marjinal jika dibandingkan dengan kaum pria.
pinterpolitik.com
[dropcap size=big]J[/dropcap]arum jam dinding itu seolah bergerak semakin lambat. Hawa panas memenuhi seluruh ruangan. Siti makin gelisah menunggu. Sesekali ia mengusap butiran-butiran keringat di wajahnya. Sementara Maimunah tampak terdiam, duduk dengan wajah yang memerah dan kusut di sampingnya. Kenapa waktu terasa begitu lama?
Ini sudah yang ketiga kalinya. Tidak boleh terus dibiarkan. Siti ingat betul bagaimana Maimunah, adik satu-satunya itu, meneleponnya pagi-pagi sambil menangis. Hanya gara-gara persoalan kecil, Maimunah harus mendapat perlakuan kekerasan dari Muji, suaminya. Ini juga ketiga kalinya Siti harus ke kantor polisi mendampingi adiknya.
Semoga kali ini ada penyelesaian yang lebih baik. Siti ingat, kali pertama dan kedua ia melapor ke pihak kepolisian, adiknya diminta untuk berdamai dengan sang suami. Polisi meminta agar semua persoalan diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, kali ini Maimunah sudah tidak tahan lagi. Karenanya, sebagai kakak yang baik, Siti harus membantu adiknya.
Kenapa ya, di Indonesia masih banyak kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Siti ingat pemberitaan di TV tentang banyaknya kasus-kasus kekerasan yang menimpa kaum perempuan di Indonesia. Padahal, ia juga ingat saat ini semakin banyak perempuan yang jadi pemimpin di daerah-daerah, atau jadi politisi di DPR. Tapi kenapa ya tetap banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan?
Tidak ada kesinambungan. Politisi perempuan semakin banyak, tapi tidak menjamin kekerasan terhadap perempuan juga berkurang. Ada yang bilang politisi-politisi perempuan malah sekedar menjadi alat bagai partai-partai agar memperoleh dukungan.
Siti berharap ada perubahan pola pikir dalam masyarakat tentang penghormatan terhadap perempuan, mulai dari hal-hal kecil. Kali ini, Maimunah harus mendapatkan haknya sebagai perempuan. Siti sudah berencana untuk melaporkan kasus yang menimpa adiknya ini ke Komnas Perempuan agar ada pendampingan untuk adiknya.
“Bu, yang tadi melapor ya?” Suara seorang polisi muda mengagetkan Siti.
“Iya, betul, pak,” jawab Siti singkat.
“Mari ke ruang sebelah untuk dimintai data-datanya.” Ah, akhirnya. Siti dan Maimunah pun bergegas mengikuti polisi tersebut. Tidak ada kekeluargaan-kekeluargaan lagi. Perempuan wajib mendapat keadilan.
Ruang-ruang di kantor polisi pun terasa semakin panas. Mungkinkah akan turun hujan sore ini?
Perempuan dan Kekerasan
Darurat kekerasan terhadap perempuan! Mungkin itulah tajuk yang cocok. Kekerasan yang menimpa perempuan adalah catatan merah yang masih menghiasi pemberitaan media-media massa. Tiap tahun angkanya terus meningkat. Pada tahun 2015 tercatat ada 321.752 kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP). Bahkan, angkanya terus meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Dari jumlah itu, kekerasan paling besar adalah yang terjadi dalam ranah personal, yakni kekerasan fisik dan seksual. Apa yang menimpa Maimunah merupakan salah satu contoh dari sekian banyak kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Hal ini tentunya memprihatinkan. Di era ketika demokrasi dan kesetaraan adalah hal yang dijunjung tinggi, fenomena peningkatan kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah kemunduran yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Hal ini juga diperparah oleh akar budaya dan sistem sosial masyarakat Indonesia yang masih permisif terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Ada semacam kesadaran kodrati bahwa bagaimana pun juga, perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Faktor ini mendukung peningkatan jumlah kekerasan terhadap perempuan.
Selain itu, payung hukum – baik dalam bentuk Undang-Undang maupun aturan hukum lainnya – belum memberikan perlindungan yang menyeluruh terhadap perempuan. Kisah Maimunah yang pernah diminta untuk menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa dirinya secara kekeluargaan adalah contoh lain belum adanya perlindungan yang menyeluruh tersebut. Perempuan Indonesia akan tetap mengalami ancaman kekerasan.
Perempuan dan Politik
Lalu, bagaimana kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan itu bisa dilawan? Salah satu cara yang bisa digunakan adalah melalui keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Mungkin banyak yang tidak setuju dengan argumentasi tersebut dan menganggap pendidikan adalah jalan paling baik untuk melawan kekerasan terhadap perempuan. Namun, tanpa kesadaran dan partisipasi politik perempuan, pendidikan tinggi sekalipun tidak akan menjamin perubahan pada masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan memang adalah sarana yang penting, namun politik adalah jalan untuk pembebasan perempuan.
Keterlibatan perempuan dalam politik merupakan sebuah keharusan! Sejarah membuktikan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik setidaknya bisa mengangkat harkat dan martabat perempuan, serta mengubah pandangan publik terhadap perempuan. Pada tahun 2015 misalnya, data dari PBB menyebutkan bahwa ada 18 pemimpin perempuan (kepala negara atau kepala pemerintahan) di negara-negara di seluruh dunia.
Walaupun jumlah tersebut terbilang sedikit jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan negara yang ada di dunia, namun hal ini menandakan bahwa semangat perempuan dalam dunia politik sudah mendapat ruang-ruang tersendiri. Untuk beberapa kasus, mungkin masih perlu perjuangan lebih, misalnya untuk tokoh seperti Aung San Suu Kyi di Myanmar, dan tokoh-tokoh perempuan di banyak negara lain yang masih mendapatkan diskriminasi.
Perempuan dalam politik merupakan hal yang prinsipil dalam sistem demokrasi yang memandang setiap manusia secara setara. Tajuk perempuan dan politik ini seolah seperti menceritakan kembali kisah Hathsepsut (1507-1458 SM) yang menjadi Firaun wanita kedua yang tercatat pernah memimpin Mesir. Kisahnya juga mungkin mirip-mirip Ratu Athaliah yang berkuasa di Yerusalem antara tahun 841-835 SM. Dua tokoh ini mungkin mewakili peran perempuan dalam politik dari sekian banyak perempuan lain yang pernah memimpin sebuah negara di masa silam.
Politik: Jalan Pembebasan Perempuan
Peran perempuan dalam politik sangat besar. Hal ini dikarenakan dalam suatu masyarakat heterogen sempurna, jumlah pria dan wanita umumnya terbagi sama rata. Bahkan, tidak jarang jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Oleh karenaitu, suara perempuan saja sudah mewakili setengah bagian dari suara seluruh kelompok.
Hal ini bisa dilihat dari bagaimana aksi perempuan di Amerika Serikat (AS) sehari pasca pelantikan Presiden Donald J. Trump beberapa waktu lalu memberikan dampak terhadap kesadaran masyarakat secara keseluruhan. Aksi kaum perempuan yang demikian jelas menggambarkan bahwa dalam konteks politik yang demokratis, perempuan mempunyai kekuatan yang sama dengan kaum laki-laki.
Selain tentang partisipasi politik melalui pemberian suara, keterlibatan perempuan dalam politik juga ditunjukkan melalui keikutsertaan dalam kontes politik di daerah atau dalam skala nasional merupakan hal yang juga sangat penting.
Dalam konteks domestik Indonesia, pada Pilkada serentak 15 Februari 2017 lalu, terjadi penurunan keterlibatan perempuan mencapai 0,3 %. Tercatat hanya ada 44 calon kepala daerah perempuan di 101 daerah yang menyelenggarakan Pilkada serentak. Pada tahun 2015, dari 256 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak, ada 123 calon perempuan. Jumlah penurunan ini memang sedikit, namun harus dianggap sebagai sesuatu yang serius.
Walaupun demikian, dalam hal pemberian suara, ada hal yang menggembirakan terjadi pada Pilkada Serentak beberapa waktu lalu, di mana dari total tingkat partisipasi politik sebesar 69 %, partisipasi pemilih perempuan lebih tinggi 4 % dibandingkan dengan pemilih laki-laki. Dengan demikian, untuk saat ini, kesadaran politik perempuan dalam hal partisipasi memberikan suara, bisa dikatakan lebih besar jika dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Wajah perempuan dalam politik juga bisa dilihat dari jumlah keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif. Saat ini terdapat 97 anggota legislatif perempuan di Indonesia. Jumlah ini mencapai 17 % dari total seluruh anggota DPR. Hal ini memang perlu terus ditingkatkan. Bukan hanya karena keberadaan Undang-Undang yang mensyaratkan adanya politisi wanita, namun juga karena kesadaran bahwa keterlibatan wanita merupakan hal yang penting dalam politik.
Kita juga mengenal tokoh-tokoh perempuan yang ikut dalam pemerintahan dan menduduki jabatan menteri, seperti Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti dan beberapa menteri perempuan lainnya. Peran politik sebagai jalan pembebasan kaum perempuan dari situasi yang termarjinalkan harus disadari betul. Dengan semakin banyak politisi, anggota DPR, dan pemimpin perempuan, harapannya akan semakin banyak pula kepentingan perempuan yang bisa terakomodasi.
Perempuan dan Politik: Mendobrak Batasan Budaya?
Mendorong partisipasi perempuan dalam politik memang merupakan hal yang gampang-gampang sulit. Akar budaya Indonesia masih menempatkan perempuan sebagai kelompok yang marjinal jika dibandingkan dengan kaum pria. Di banyak daerah di daerah Indonesia Timur misalnya, kalau ada pertemuan atau acara keluarga, maka sangat jarang ditemui perempuan akan duduk di ruang utama dalam rumah tempat pertemuan atau acara diselenggarakan. Perempuan akan lebih banyak menghabiskan waktu di dapur atau di bagian belakang rumah.
Dalam budaya Jawa misalnya ada istilah untuk perempuan sebagai “konco wingking” atau teman di belakang. Kata ‘belakang’ memiliki konotasi negatif, yang bisa diartikan sebagai dapur, atau tempat tidur, atau sumur (tempat mencuci). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perempuan hanya diwajibkan untuk mengurusi soal rumah tangga belaka dan tidak boleh terlibat dengan urusan-urusan laki-laki.
Di daerah dan suku lain di Indonesia juga banyak terdapat anggapan bahwa perempuan hanya sebagai posisi kedua atau pelengkap saja. Seakan-akan perempuan tidak mampu berperan selayaknya laki-laki. Anggapan ini mengasumsikan adanya bias gender pada sektor politik di masyarakat. Hal ini secara tidak langsung menjelaskan mengapa dorongan untuk melibatkan perempuan dalam dunia politik bisa berarti mendobrak segala pandangan dalam adat dan kebudayaan yang ada di Indonesia.
Ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah untuk dilakukan. Walupun demikian, harus ada perubahan pemahaman dan mindset baru bahwa adakalanya bagian-bagian tertentu dari budaya harus juga disesuaikan dengan perubahan zaman dan konteks masyarakat kontemporer. Perjuangan perempuan dalam politik adalah perjuangan mendobrak batasan-batasan tradisi dan kebudayaan.
Selain itu, keterlibatan perempuan dalam politik akan menjadi indikator yang bagus bagi kesadaran untuk menghargai dan menghormati perempuan, sekaligus juga sebagai bagian dari upaya membangun paradigma kultural baru. Harapannya, nilai-nilai budaya yang memarjinalkan perempuan dapat diperbaiki sedikit demi sedikit.
Paradoks Perempuan dan ‘Politik Dulang Suara’
Fenomena lain yang patut disoroti adalah adanya kecenderungan bahwa kehadiran perempuan dalam politik merupakan bagian dari upaya partai-partai politik untuk menarik minat pemilih. Maka, tidak heran banyak artis wanita yang ditarik untuk jadi calon anggota DPR atau ikut dalam kontestasi pilkada. Hal ini sebetulnya harus juga dikritisi.
Bukan berarti para artis tersebut tidak punya wawasan yang bagus, hanya saja banyak kali kehadiran mereka tidak mampu mewakili aspirasi perempuan secara keseluruhan. Ada kecenderungan partai politik menggunakan jalan pintas dengan memanfaatkan popularitas artis-artis tersebut untuk mendulang dukungan bagi keterwakilan perempuan.
Jika mekanisme rekrutmen perempuan dalam partai politik benar-benar dilakukan dengan baik, maka orang-orang yang dipilih akan mampu mewakili aspirasi perempuan. Selain itu, jangan sampai partai politik juga terpaksa memasukan calon perempuan hanya karena untuk memenuhi syarat adanya calon perempuan dalam pemilihan legislatif seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang.
Politik dulang suara dengan menggunakan calon perempuan tentu akan mematikan semangat kesetaraan jender dalam politik. Bagaimanapun juga politik dulang suara seperti ini merendahkan martabat perempuan. Perempuan hanya dipakai sebagai alat politik untuk mendulang dukungan bagi kemenangan partai.
Hal ini pun dikuatkan dengan fakta bahwa walaupun banyak perempuan yang mulai ikut terjun dalam politik, angka kekerasan terhadap perempuan masih saja tinggi. Artinya, belum ada kesinambungan antara tingkat keterlibatan politik perempuan dengan semangat kesetaraan jender dan penghargaan terhadap perempuan.
Menggunakan calon perempuan untuk mendulang suara adalah hal yang memprihatinkan dalam politik Indonesia. Fenomena ini memang paradoksial: di satu sisi ada keterlibatan perempuan yang harus terus didorong, namun di sisi lain ada kecenderungan untuk hanya menggunakan perempuan sebagai penarik minat demi mendongkrak suara partai.
Apalagi, orang Indonesia sangat mudah memilih publik figur yang dikenalinya – misalnya artis – ketimbang tokoh lain yang bukan artis. Di satu sisi ada keinginan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan, namun sayangnya banyak kali tokoh-tokoh yang dipilih malah tidak mampu membawa suara perempuan.
Politik memang kapitalistik: ada eksploitasi terhadap segala faktor yang dianggap bisa mendukung seseorang untuk memenangkan kontestasi politik – yang pada titik tertentu menggunakan wanita sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik. Walapun demikian, pada saat yang sama, politik juga butuh penghargaan terhadap wanita.
Gerakan Politik Perempuan untuk Kebaruan
Saat ini gerakan politik perempuan di Indonesia sedang menemukan bentuk terbaru, mulai dari gerakan akar rumput perempuan baru lewat kelompok-kelompok solidaritas perempuan, hingga kaum aktivis perempuan yang memperjuangkan kesetaraan gender. Namun demikian, harus disadari bahwa gerakan politik perempuan dalam skala yang lebih besar mengalami kevakuman untuk waktu yang sangat lama.
Menjelang peringatan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2017 nanti, ada keinginan untuk membangun solidaritas perempuan dalam skala yang lebih besar di seluruh Indonesia. Hal ini dapat digunakan sebagai upaya untuk melawan berbagai bentuk kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Gerakan sosial dan politik perempuan harus diarahkan sebagai cara untuk membebaskan perempuan dari situasi termarjinalkan dalam masyarakat.
Kita tentu masih ingat kasus kematian Yuyun, seorang remaja perempuan berusia 13 tahun yang diperkosa dan dibunuh oleh 14 orang pemuda pada April 2016 lalu. Tragedi ini mendatangkan simpati dan menjadi pemicu menguatnya gerakan solidaritas perempuan di Indonesia yang berjuang untuk melawan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Bahkan pemerintah melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan, Yohanna Yembise, dikritik oleh aktivis-aktivis perempuan. Menteri Yohanna dianggap tidak mengerti persoalan dan permasalahan yang sesungguhnya terjadi terkait kasus Yuyun. Hal ini patut disayangkan karena untuk sekelas menteri Pemberdayaan Perempuan tidak paham persoalan yang sesungguhnya terjadi.
Menteri Yohanna juga dikritik terkait pernyataannya yang menyebut bahwa kasus Yuyun adalah yang pertama kali terjadi di Indonesia. “Indonesia berduka, negara kaget atas peristiwa ini, mungkin ini yang pertama terjadi di Indonesia, seorang anak meninggal diperkosa 14 orang laki-laki,” kata Menteri Yohanna waktu mengunjungi rumah Yuyun. Padahal, faktanya sudah banyak kasus seperti ini yang terjadi di Indonesia dan luput dari perhatian pemerintah dan media. Pemerintah seharusnya makin jeli melihat berbagai persoalan ketidakadilan dan kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Kritik-kritik terhadap menteri Yohanna tersebut juga menandai kembali menguatnya gerakan-gerakan aktivis perempuan. Gerakan perempuan baru ini mengambil perjuangan membela kaum wanita sebagai tajuk utama.
Data dari Komnas Perempuan bahkan menyebutkan bahwa pada tahun 2013 lalu, setiap 2 jam ada 3 perempuan di Indonesia yang mendapat kekerasan seksual. Jumlah ini pun terus meningkat setiap tahun. Ada situasi darurat kekerasan terhadap perempuan yang sedang terjadi saat ini. Hal inilah yang membuat banyak pihak mendorong perlunya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Saat ini DPR sedang didesak untuk segera memasukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ke dalam daftar Undang-Undang yang dibahas. Kehadiran RUU ini diharapkan mampu menjadi solusi untuk mencegah berbagai aksi kekerasan terhadap perempuan.
Tantangan terbesar yang mungkin akan dihadapi adalah dari kaum perempuan sendiri. “Musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri”, begitu kata orang-orang bijak. R.A. Kartini pernah bilang: “Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tetapi, satu-satunya yang benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri”. Banyak perempuan yang sudah terlanjur merasa ‘nyaman’ dengan kondisinya saat ini, sehingga tidak memikirkan sesama saudara perempuan lain yang mungkin masih mengalami berbagai bentuk ketidakadilan di negara ini.
Masih banyak perempuan yang belum mendapat akses yang cukup layak, belum menikmati pendidikan, ada batasan dalam pekerjaan, serta pelayanan kesehatan yang belum memadai – umumnya bagi perempuan-perempuan di pelosok. Banyak perempuan yang masih teralienasi atau terasing dalam kodrat kewanitaannya sebagai istri dan ibu. Akibatnya, tidak banyak pilihan hidup yang bisa diambil.
Membangun solidaritas perempuan adalah pekerjaan yang besar dan perlu kesadaran dari semua perempuan. Jika hal ini bisa diwujudkan, maka gerakan politik perempuan akan menjadi sebuah wajah baru bagi masyarakat Indonesia dan cita-cita kesetaraan antara perempuan dan laki-laki bisa terwujud.
Masa Depan Politik Pembebasan Perempuan
Ada tajuk besar yang mengemuka ketika menyaksikan panggung politik nasional dan bagaimana perempuan terlibat di dalamnya. Hal itu seperti melihat Nurul Arifin dalam film-film di tahun 80-an hingga 90-an lalu membandingkan dengan posisinya saat ini sebagai politisi perempuan dan mantan anggota legislatif. Atau tentang kisah ‘Oneng’ Rieke Diah Pitaloka dalam sinetron Bajaj Bajuri lalu membandingkan dengan posisinya saat ini sebagai salah satu politisi perempuan yang vokal – pernah juga mencalonkan diri sebagai gubernur Jawa Barat.
Kisah itu juga sama seperti deretan perempuan dalam Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang secara perlahan mulai menampilkan sisi-sisi kekuatan politik wanita Indonesia. Apa pun itu, yang jelas, keterlibatan perempuan dalam politik adalah cara untuk membebaskan perempuan Indonesia dari situasi teralienasi (terasing) secara kodrati dalam budaya dan masyarakat Indonesia.
Perempuan harus bisa melawan image dulang suara yang dilakukan oleh partai politik saat ini. Partai-partai politik juga harus menjamin rekrutmen politisi perempuan yang benar-benar paham persoalan perempuan Indonesia. Solidaritas perempuan harus digalakkan. Jika hal ini bisa diwujudkan, niscaya tidak ada Maimunah-Maimunah lain yang mendapat kekerasan dalam rumah tangga. Meminjam bahasa bu Sylviana Murni dalam Debat Pilkada DKI beberapa waktu lalu: “Perempuan luar biasa, karena di-empowerment”. Oleh karena itu, empowerment perempuan merupakan syarat utama demi tercapainya tujuan perempuan Indonesia yang bebas dari ketidakadilan dan kekerasan. Apakah hal itu mungkin terjadi? (S13)