Menurut Iwan, dalam pembahasan perjanjian jual-beli listrik mengerucut delapan pokok masalah yang sudah dibahas beberapa kali, di antaranya, masalah bank-ability dan suplai gas.
pinterpolitik.com – Kamis, 19 Januari 2017.
JAKARTA – Manajemen Perusahaan Listrik Negara mengakui isu bank-ability, yaitu kelayakan pembiayaan oleh perbankan, menghambat progres pengerjaan megaproyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa 1.
Hal itu dikemukakan Direktur Pengadaan PLN, Supangkat Iwan Santoso, Rabu (18/1/2017), berkaitan dengan molornya penandatanganan perjanjian jual-beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA antara PLN dan konsorsium Pertamina, pemenang tender proyek PLTGU Jawa 1.
Iwan juga mengungkapkan, rencana pasokan gas untuk PLTGU Jawa 1 belum mencukupi untuk 25 tahun beroperasinya pembangkit.
“Pihak kreditur atau pemberi pinjaman kepada konsorsium meminta jaminan yang menyatakan bahwa proyek tersebut akan berjalan,” katanya.
Menurut Iwan, dalam pembahasan perjanjian jual-beli listrik mengerucut delapan pokok masalah yang sudah dibahas beberapa kali, di antaranya, masalah bank-ability dan suplai gas.
“Soal bank-ability menjadi konsen sejak awal, karena kalau proyek tidak bankable akan sulit mendapat pendanaan. Isu bank-ability dan suplai gas ini menjadi isu kritis suksesnya proyek ini,” katanya.
Gas Tak Mencukupi
Dihubungi terpisah, Kamis (19/1) Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean mengatakan, durasi pasokan gas dari PLN tidak mencukupi sepanjang umur proyek 25 tahun.
Dikemukakan, komitmen pasokan gas dari PLN hanya sampai 2035. Ini sesuai amendemen Perjanjian Jual-Beli Gas (PJBG) antara PLN dan BP Tangguh yang diteken pada 15 Maret 2016. Sedangkan umur megaproyek PLTGU Jawa 1 hingga 2045.
Di satu sisi, jelas Ferdinand, berdasarkan temuan lenders, paling tidak ditemukan lebih dari 90 isu, di mana syarat dan ketentuan (term and condition) tidak sesuai dengan logika bisnis, best practice, serta terjadinya inkonsistensi.
“Antarklausul banyak yang tidak align (satu dengan yang lainnya tidak sejalan). Itulah kenapa megaproyek PLTGU Jawa 1 tidak bisa diterapkan (workable) bahkan tidak bankable,” katanya.
Menurut Ferdinand, pihak manajemen PT PLN (Persero) diduga salah perhitungan dalam hal penentuan kapasitas Floating Storage Regasification Unit (FSRU) dalam dokumen tender, mulai dari hal yang basic (mendasar).
Menurut dia, dalam tender megaproyek itu PLN menetapkan pasokan LNG untuk PLTGU Jawa 1 berasal dari Tangguh, dengan desain kapasitas kapal yang dapat diterima oleh FSRU ditentukan sebesar 125.000-155.000 m3.
“Berdasarkan requirement tersebut, maka sesuai dengan logika sederhana, kapal LNG yang digunakan untuk membawa LNG dari Terminal Tangguh ke FSRU adalah tidak lebih besar dari 155.000 m3,” katanya.
Ia menambahkan, sementara dalam lima tahun ke depan, kapal-kapal LNG milik Tangguh sudah tidak ada lagi yang sesuai dengan kapasitas tersebut.
“Kapal-kapal LNG Tangguh ke depan akan memiliki kapasitas 170.000 m3. Tentu saja hal ini menjadi contoh yang sangat mudah dicerna oleh publik bahwa memang proyek ini tidak workable,” ujarnya. (Eksp.id/S21/E19)