“Hidup itu seperti musik yang harus dikomposisi oleh telinga, perasaan dan insting, bukan oleh peraturan.”
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]aling serang dan hujat di media sosial antarpendukung capres membuat masyarakat kehilangan respek. Menurut kalian ini fitnah atau fakta? Kalau ini fakta, asyik, gagal punya presiden! Bisa jadi negara anarko nih! Tidak ada pemimpin dan tidak ada yang dipimpin! Eh tapi mustahil sih gengs. Wkwkwk
Menurut pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura Surokim Abdussalam, para pendukung capres yang terus berolok-olok itu menunjukkan defisit respek. Sikap fanatisme berlebihan, menurut Surokim, hanya akan menimbulkan efek negatif bagi demokrasi di Indonesia. Weleh-weleh, namanya juga politik praktis bang, coba kita ganti jadi demokrasi Pancasila. Pasti deh insya Allah Indonesia jadi lebih baik! #sokalim. Wkwkwk.
Menurut Surokim, para capres dan pendukung yang fanatik saat ini sedang kehilangan modal politik dan tidak sedang membangun peradaban bermartabat, tetapi hanya ingin menciptakan fanatisme yang menyanjung tuannya menjadi pendukung buta tanpa belajar!
Sepakat sama apa yang dibilang Surokim! Terus gimana dong bang solusinya biar politik dan para elite politik kita bisa menciptakan keidealan berbangsa dan bernegara? Weleh-weleh, sepertinya akan kompleks nih kalau jawab pertanyaan ini! Mbok kebobrokan ini kan sudah tersistematis! Betul apa betul banget? Ckckck.
Nah karena menjawab dan memberikan solusinya sangatlah kompleks sesuai dugaan eyke gengs, pasti Surokim cuman bisa mengucapkan sebuah harapan. Surokim berharap para elite koalisi pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno bersikap rasional dan memberikan pendidikan politik yang baik kepada pendukungnya. Weleh-weleh.
Mungkin kalau Surokim bicara harapan ini di depan kedua koalisi ini bakal disauti begini:
“Lah ngapa ya bapak mun’a banget dah! Ini politik nasional kali, bukan politik sekelas rukun warga alias RW!” Serta ungkapan ini pun disertai dengan cekikikan dari dua kubu, setelah itu pun ada ungkapan berikutnya yang berbunyi seperti ini:
Weleh-weleh, eh gengs itu baru kemungkinan ya, bukan beneran. Awas loh ngiranya beneran. Tapi kalau dibilang beneran juga enggak apa-apa sih, mbok faktanya juga begini terus. Katanya kampanye damai, tapi kok media sosial semakin ramai sama isu kebencian. Wkwkwk.
Gimana gengs menurut kalian? Apa kalian ada soliusi untuk mewujudkan politik damai nan menyejukkan? Kalau ada, boleh dong isi di kolom komentar. (G35)