Melihat apa yang dilakukan oleh Assad terhadap masyarakatnya sendiri: menebar ketakuatan dan bahkan tidak segan-segan menggunakan kekuatan militer untuk menyerang warga sipil, tentu saja ada teror yang ditebarkan oleh Assad terhadap masyarakatnya.
pinterpolitik.com – Jumat, 23 Desember 2016. Judul tulisan ini mungkin sedikit nyeleneh, tetapi ia mewakili hal yang saat ini sedang menjadi perbincangan hangat di berbagai media. Mulai dari tukang ojek pengkolan hingga artis K-pop terjangkit demam om telolet om. Awalnya saya tidak paham maksud om telolet om. Ternyata eh ternyata, itu tentang klakson bus-bus antar kota di jalan. ‘Om’ adalah panggilan untuk para supir bus tersebut, sementara ‘telolet’ merupakan istilah yang dipakai untuk menirukan bunyi klakson bus-bus tersebut. Kisahnya berawal dari sekelompok anak kecil yang main di pinggir jalan. Mereka membawa karton dengan tulisan: ‘om, telolet om’, dengan maksud untuk meminta sang supir bus membunyikan klakson – yang rata-rata suara klaksonnya kencang dan tidak jarang ada yang menggunakan nada-nada lagu. Jika supir bus membunyikan klaksonnya, mereka akan bersorak gembira. Om telolet om ini seolah menjadi hiburan masyarakat Indonesia. Tidak sedikit masyarakat yang menirukan aksi tersebut: berteriak-teriak pada supir-supir bus di pinggir jalan, berteriak pada kereta api yang melintas, atau bahkan pesawat yang sedang melintas. Gila bukan? Lalu apa kaitan om telolet om dengan kejadian yang terjadi di Aleppo? Mari menyeruput kopi sebelum lanjut membaca.
Seperti halnya om telolet om, peristiwa yang terjadi di Aleppo juga menjadi perbincangan di berbagai media. Jika om telolet om seolah menjadi hiburan rakyat di tengah persoalan politik Indonesia yang makin nggak karuan dan bikin mumet, maka peristiwa di Aleppo boleh jadi harus dipandang sebagai bahan refleksi sekaligus permenungan. Revolusi ‘musim semi’ yang terjadi pada negara-negara di semenanjung Arab dan sekitarnya merupakan awal mula berbagai peristiwa yang terjadi di Suriah, dan secara khusus pada apa yang terjadi di Aleppo. The Arab spring movement yang bermula di Tunisia pada akhir tahun 2010 akhirnya juga ikut menjalar ke Suriah. Revolusi musim semi ini adalah gerakan protes terhadap pemerintahan otoriter yang umumnya berkuasa di negara-negara semenanjung Arab. Di Suriah sendiri, protes terjadi terhadap rezim Bashar al-Assad. Bashar al-Assad adalah putera dari Hafez al-Assad yang memerintah Suriah dari tahun 1971 hingga tahun 2000. Bashar al-Assad yang menjadi presiden Suriah menggantikan ayahnya sejak tahun 2000 hingga saat ini, menjalankan pemerintahan dengan sewenang-wenang. Puncaknya adalah ketika revolusi musim semi menular ke Suriah, Assad tidak segan-segan menggunakan kekuatan militer untuk menumpas aktivitas protes. Akibatnya, gelombang pemberontakan pun lahir. Situasi semakin parah dan memanas ketika kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ikut campur dalam konflik tersebut.
Aleppo merupakan kota terbesar kedua di Suriah setelah Damascus. Namun, secara demografis, jumlah penduduk Aleppo lebih banyak dari Damascus. Oleh karena itu, jika kekacauan terjadi di kota ini maka dampaknya akan sangat terasa, bukan hanya bagi Suriah sendiri, namun juga terhadap dunia internasional. Presiden Assad menyebut para pemberontak sebagai teroris: hal yang membuat posisinya seolah aman karena konotasi negatif teroris di mata dunia internasional. Posisi ‘abu-abu’ juga ditunjukkan oleh negara-negara barat yang entah karena kepentingan tertentu seolah bersikap ‘abu-abu’ terhadap konflik yang terjadi di negara ini. Kecenderungan Russia mendukung pemerintahan Assad juga menjadi alasan lain mengapa konflik yang terjadi di negara ini menjadi berlarut-larut. Secara kemanusiaan, dunia internasional dan bahkan PBB mengecam konflik yang menyebabkan banyak warga sipil menjadi korban ini. Tentu kita ikut sedih dan miris menyaksikan anak-anak kecil yang tidak berdosa harus kehilangan orang tuanya dan menjadi yatim piatu karena konflik bersenjata ini. Tetapi kita juga bertanya-tanya mengapa PBB tidak ikut campur dalam konflik ini. Jawabanya tentu saja karena keterlibatan Russia dalam konflik ini. Dalam mekanisme pengambilan keputusan di dewan keamanan PBB, posisi Russia sebagai anggota tetap di Dewan Keamanan menyebabkan ia kapan saja bisa mem-veto setiap keputusan yang diambil oleh lembaga ini: kelemahan super state macam PBB. Hal inilah yang menyebabkan PBB seolah tidak bisa ikut campur dalam konflik ini karena kecenderungan Russia yang mendukung pemerintahan Assad dan pasti akan mem-veto setiap resolusi yang diputuskan.
Apa yang terjadi di Aleppo ini memberikan kita sebuah gambaran tentang konsep yang disebut sebagai state terrorism atau terorisme oleh negara. Definisi terorisme sendiri sebenarnya masih kabur, namun terorisme setidaknya punya 4 karakter: ada rasa takut yang ditimbulkan, ada objek politik yang menjadi target demi mengubah status quo, ada intensi untuk menebar ketakutan lewat aksi publik yang spektakuler, serta targetnya yang lebih sering menimpa penduduk sipil. Nah, jika terorisme umumnya dilakukan oleh aktor bukan negara atau non-state actor, state terrorism justru dilakukan oleh negara terhadap penduduknya sendiri atau bisa juga terhadap negara lain. State terrorism pernah terjadi pasca revolusi Prancis yang menggulingkan kekuasaan monarki di negara ini. Prancis kemudian dikuasai oleh pemerintahan diktator yang suka menebar teror kepada masyarakatnya sendiri – seperti yang digambarkan dalam novel A Tale of Two Cities tulisan Charles Dickens. State terrorism menebarkan ketakutan terhadap warga masyarakat negara tersebut sehingga tidak berani untuk melawan kebijakan pemerintahnya sendiri.
Lalu apakah yang terjadi di Suriah merupakan sebuah state terrorism? Jawabnnya bisa ya dan bisa tidak. Namun, jika melihat apa yang dilakukan oleh Assad terhadap masyarakatnya sendiri: menebar ketakuatan dan bahkan tidak segan-segan menggunakan kekuatan militer untuk menyerang warga sipil, tentu saja ada teror yang ditebarkan oleh Assad terhadap masyarakatnya. Maka, dalam konteks ini kita bisa dengan gamblang mengatakan bahwa yang dilakukan oleh Assad adalah sebuah state terrorism. Jika Assad menuduh para pemberontak sebagai teroris, maka sebutan itu justru sebaliknya bisa disematkan kepada dirinya. Teror yang disebarkannya pada warganya sendiri merupakan sebuah bentuk state terrorism. Oleh karena itu, sudah selayaknya Assad ditindak oleh PBB. Pertanyaannya apakaah PBB bisa?
Saya teringat sebuah lelucon yang dibuat oleh teman saya waktu masih di bangku kuliah. Dia pernah mengatakan bahwa United Nations (PBB) adalah United States (Amerika Serikat) plus United Kingdom (Inggris): sama-sama United. Untung saja Manchester United tidak masuk dalam kategori tersebut, kalau tidak bisa bahaya untuk dunia persepakbolaan. Inti dari lelucon tersebut memang ingin mengatakan bahwa kepentingan negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB tersebut dalam konflik di Suriah tetaplah menjadi pertimbangan yang menentukan terhadap kelangsungan perdamaian dunia. Bahkan jika mau dikritisi, keterlibatan Russia yang mendukung pemerintahan Assad, serta pembiaran yang dilakukan oleh negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB bisa dikategorikan juga sebagai state terrorism.
Sebagai sebuah super state, PBB seolah menutup mata terhadap apa yang terjadi di Suriah. Ibaratnya, dalam fenomena om telolet om, mereka adalah supir-supir bus yang menutup mata terhadap anak-anak di pinggir jalan yang meneriakan om telolet om. PBB menutup mata, bahkan melakukan pembiaran terhadap state terrorism yang dilakukan oleh Assad. Kita tentu menyaksikan peristiwa penembakan Duta Besar Russia untuk Turki yang merupakan salah satu artikulasi protes terhadap keterlibatan Russia di Suriah. Peristiwa-peristiwa ini terjadi sebagai akibat pembiaran terhadap kekerasan yang dilakukan oleh rezim Assad. Jika hal ini dibiarkan, maka aksi-aksi seperti ini akan terus terjadi. PBB sebagai super state seharusnya bisa mengintervensi konflik ini lewat jalan persuasi. Tentu saja kita tidak ingin skala konflik ini berkembang menjadi lebih besar dan mendatangkan korban lebih banyak. Tidak ada salahnya menjadi orang yang optimis terhadap cita-cita perdamaian di tengah dunia yang semakin anarki ini.
Fenomena om telolet om dan peristiwa yang terjadi di Aleppo seolah mengingatkan kita bahwa konflik dan kebahagiaan itu hanya akan terjadi tergantung seberapa besar kita peduli pada orang lain. Jika bunyi klakson bisa bikin orang lain bahagia, maka tidak ada salahnya PBB dan dunia internasional membuka mata terhadap persoalan yang terjadi di Aleppo. Johnny Depp, seorang aktor Hollywood, pernah bilang: You can close your eyes to the things you don’t want to see, but you cannot close your heart to the things you don’t want to feel. Jika supir bus saja membuka mata dan hati untuk seruan om telolet om yang membahagiakan anak-anak di pinggir jalan, harusnya PBB juga membuka mata dan hati untuk state terrorism dan penderitaan anak-anak di Aleppo. Kita tentu berharap konflik ini dapat terselesaikan dan tidak membawa penderitaan yang berkepanjangan. Mumpung musim hujan dan menjelang Natal-Tahun Baru, jangan lupa beramal.