pinterpolitik.com
Langit yang semula mendung mulai menumpahkan titik-titik air pada menjelang tengah hari 2 Desember 2016. Langkah sang presiden sempat terhenti sejenak. “Hujan pak. Mungkin dibatalkan saja rencananya”, begitu suara orang-orang di sekitarnya. Namun, tanpa ragu sang presiden mengambil payung biru itu dan melintasi hujan yang semakin deras, berjalan menuju tugu monumen nasional.
Itulah potret presiden Jokowi pada demostrasi 2 Desember lalu -yang lebih popular dengan istilah ‘212’- demonstrasi yang kemudian menyuguhkan perdebatan baru tentang demokrasi dan seberapa besar kebebasan mengemukakan pendapat mempengaruhi jalannya pemerintahan. Kasus dugaan pelecehan agama yang dilakukan oleh Basuki Cahaya Purnama atau Ahok seolah-olah menampilkan bayang-bayang wajah baru, wajah yang oleh Aristoteles disebut sebagai mobokrasi. Anak-anak di pedalaman pulau Alor mungkin akan bertanya: ‘makanan jenis apa pula itu?’
Secara sederhana mobokrasi bisa diartikan sebagai sebuah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh mob atau massa yang sesungguhnya tidak mengerti tentang seluk beluk pemerintahan. Kita tentu tidak asing dengan flash mob, istilah yang dipakai untuk menggambarkan sekelompok orang yang tiba-tiba menari di tempat umum. Yang jelas mobokrasi bukan flash mob. Satu-satunya kesamaan dari keduanya adalah efek kaget dan kekacaaun yang ditimbulkannya. Mobokrasi mengandaikan adanya pembagian kekuasaan yang merata, namun tidak terkontrol dan tanpa arah. Ibarat kata, jika demokrasi adalah seekor ayam normal yang punya kepala, nah mobokrasi adalah ayam yang hidup tanpa kepala: tak jelas kapan dan kemana akan berjalan.
Mobokrasi ditandai dengan adanya tekanan yang terus menerus oleh massa atau kelompok masyarakat terhadap pemerintah terpilih. Demokrasi yang pemerintahannya selalu ditekan oleh massa, suatu saat bisa berujung pada lahirnya mobokrasi. Pertanyaannya tentu saja adalah apakah Indonesia sedang berada dalam fase menuju mobokrasi? Pertanyaan ini mungkin perlu didiskusikan di mata pelajaran Kewarganegaraan SMP dan SMA, biar anak muda sekarang bisa semakin paham politik ketimbang hanya tahu tentang Justin Bieber.
Demonstrasi pada 2 Desember mendatangkan dampak yang cukup signifikan bagi ekonomi dan politik domestik Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan bapak presiden harus rela hujan-hujanan menemui para demonstran di Monas. Payung biru yang dipakai Jokowi saat itu bukan hanya menjadi trending topic di media sosial, tetapi juga jadi saksi bisu tentang mobokrasi. Makar politik yang kemudian mencuat merupakan bagian lain dari indikasi tersebut. Pada dasarnya demokrasi tanpa kepemimpinan adalah sebuah gerombolan atau kerumunan. Demokrasi berusaha membasmi sistem pemerintahan otoriter, tetapi tidak bisa berdiri tanpa sistem pemerintahan yang otoritatif: dua istilah yang mirip, tetapi berbeda arti dan bisa bikin sakit kepala kalau coba dipahami. Pemerintahan yang diberi kepercayaan oleh masyarakatnya, tetapi terus menerus ditekan oleh massa, suatu saat bisa kehilangan legitimasi dan pada akhirnya negara bisa terjebak pada mobokrasi. Ketika suatu negara demokrasi akhirnya berubah menjadi mobokrasi, maka ada kecenderungan lahir anarkisme dan chaos. Hukum akan mudah ditaklukan oleh tekanan massa dan segala keputusan hukum maupun politik bisa ditaklukan oleh tekanan massa. Contoh kasus mobokrasi di dunia adalah negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kasus yang menimpa Ahok merupakan salah satu contoh adanya indikasi penundukan hukum oleh tekanan massa.
Kedatangan Presiden Jokowi untuk menemui masa di tugu Monumen Nasional pada 2 Desember lalu menghadirkan banyak cerita. Mulai dari tukang jualan keliling yang untung berlipat, kehadiran tokoh silat Wiro Sableng di Monas, hingga pasukan ‘ungu bercaping’ dari Ciamis yang membersihkan sampah di Monas. Tetapi cerita utama ada pada payung biru itu. Payung yang tidak punya mulut dan tidak berkata-kata, tapi mungkin mengatakan lebih banyak dari tulisan di artikel ini. Mobokrasi nyata dan ada pada saat demonstrasi ‘212’. Banyak pihak yang ingin negara ini menjadi ayam tanpa kepala, dan jika negara ini harus menjadi ayam tanpa kepala, maka lebih baik hidup dalam sangkar.
Frank Lloyd Wright dalam bukunya Genius and the Mobocracy menulis: “Le génie est un péché contre la masse”. Genius is a sin against the mass. Dalam sebuah sistem demokrasi yang meritokrat atau menghargai prestasi, menjadi seseorang yang jenius dengan berbagai kelebihan dan terobosan tetapi cenderung berlawanan dengan keinginan banyak orang adalah sebuah ‘dosa’. ‘Dosa’ ini bisa menjadi bumerang terhadap kekuasaan yang sudah berhasil diraih. Presiden Jokowi dalam segala kebijakan dan program yang dibuatnya tentu saja memiliki banyak lawan politik. Momentum kasus Ahok bisa menjadi salah satu cara lawan politik Jokowi untuk menekan pemerintah. Payung biru sang presiden menjadi saksi keberhasilan tekanan massa terhadap pemerintah. Harapannya tentu saja demokrasi di negara ini tetap berada pada jalurnya dan tidak berujung pada mobokrasi yang anarkistis. Pertanyaannya tentu saja adalah apakah kita mau negara ini jadi ayam tanpa kepala? Mari merenungkan sambil melihat-lihat payung baru di penjual payung di pinggir jalan. Mumpung musim hujan, saatnya beli payung baru. (S13)