Pada 10 November lalu, Antasari Azhar sebetulnya sudah mendapat pembebasan bersyarat. Namun, Antasari tetap mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo.
pinterpolitik.com – Jumat, 27 Januari 2017.
JAKARTA – Presiden Jokowi secara resmi telah mengabulkan permohonan grasi kepada Antasari Azhar. Keputusan presiden (keppres) mengenai grasi Antasari tersebut sudah ditandatangani Presiden dan dikirim ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (23/1/2017).
Antasari Azhar adalah mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) antara tahun 2007-2009 yang tersangkut kasus pembunuhan Nasarudin Zulkarnain, bos PT Putra Rajawali Bantaran. Pada tahun 2009, Antasari Azhar divonis 18 tahun penjara terkait kasus tersebut. Sebagai pengingat kembali, berikut adalah perjalanan kasus Antasari Azhar yang sempat menyita perhatian publik pada tahun 2009 silam.
Sebelumnya, kuat berhembus dugaan adanya isu politik di seputar pengabulan permohonan grasi tersebut. Namun, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, alasan pemberian grasi itu semata karena pertimbangan kemanusiaan.
“Selalu butuh pertimbangan Mahkamah Agung dan itu (pemberian grasi) murni kepada rasa kemanusiaan bahwa proses itu menurut pandangan Presiden tentu wajar diberikan grasi,” kata Kalla di Kantor Wapres, Kamis (26/1/2017) seperti dilansir kompas.com.
Wapres JK membantah adanya alasan politis di balik dikabulkannya grasi yang dimohonkan Antasari.
“Itu kan soal lama dimohonkan, jadi baru disetujui kan. Jangan digabungkan dengan politik,” tambah JK. Pengabulan grasi tertuang dalam Keppres yang juga berisi pengurangan masa hukuman Antasari selama enam tahun.
Di tempat terpisah, Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi mengungkapkan bahwa pertimbangan yang diberikan oleh Mahkamah Agung menjadi alasan utama permohonan grasi tersebut dikabulkan oleh Presiden Jokowi.
Tentang grasi Antasari
Pada 10 November lalu, Antasari Azhar sebetulnya sudah mendapat pembebasan bersyarat. Namun, Antasari tetap mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo. Permohonan tersebut diajukan melalui kuasa hukumnya, Boyamin Saiman, pada 8 Agustus 2016.
Lalu sebetulnya apa itu grasi? Menurut Derkje Hazewinkel Suringa (1889-1970) – seorang ahli hukum pidana dan hukum perdata dari Municipal University of Amsterdam, Belanda – grasi secara sederhana bisa diartikan sebagai peniadaan seluruh atau pengurangan suatu pidana (pengurangan mengenai waktu atau mengenai jumlah) atau perubahan mengenai pidana tersebut. Grasi merupakan upaya non hukum yang didasarkan pada hak prerogatif Presiden dan juga diputuskan berdasarkan pertimbangan subjektif Presiden, namun berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Di Indonesia, hak tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2002.
Grasi sangat dibutuhkan dalam pemerintahan suatu negara karena dapat meminimalisasi beberapa resiko yang di khawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap orang yang tidak bersalah.
Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa saja terjadi. Oleh karena itu, grasi bisa dianggap sebagai salah satu cara untuk mengkoreksi dan mengatasi risiko tersebut.
Antasari pernah mengatakan, jika permohonan grasinya diterima, dia bisa melakukan klarifikasi dan mengajukan rehabilitasi. Selain itu, kata Antasari, dengan dikabulkannya permohonan grasi tersebut, dia bisa terbebas dari status bebas bersyarat dan kewajiban melapor. Antasari sudah menjalani kurungan fisik selama tujuh tahun enam bulan. Sejak 2010, total remisi yang ia peroleh adalah empat tahun enam bulan.
Total masa pidana yang sudah dijalaninya ialah 12 tahun, atau sudah dua per tiga vonis yang diberikan. Mantan Ketua KPK itu berhak mendapat bebas bersyarat setelah menjalani dua pertiga dari vonis 18 tahun penjara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Antasari bertujuan ‘untuk membuka kembali kasus yang menimpa dirinya’. Apakah betul demikian? Antasari memang belum secara gamblang menyatakannya. Namun, jika dilihat dari pernyataannya bahwa ia akan melakukan ‘klarifikasi dan mengajukan rehabilitasi’ jika grasinya diterima, secara tidak langsung sudah menunjukkan pertanda ke sana.
Apakah hal itu dimungkinkan? Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1 ayat 23 menyebutkan bahwa rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dengan kata lain, hak Antasari untuk itu dijamin oleh Undang-Undang.
Jika merujuk lagi pada pasal 97 ayat 1 KUHAP juga disebutkan bahwa seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Grasi adalah putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, walaupun Antasari mengajukan grasi – yang artinya ia seolah mengakui ‘bersalah’ dan meminta ‘pengampunan’ – ia tetap bisa mengajukan rehabilitasi, kemudian bisa membuka lagi kasusnya di kemudian hari jika ia merasa tidak bersalah. Pertanyaannya tentu saja adalah apakah hal itu yang akan dikejar oleh Antasari?
Antasari telah bertemu Presiden Jokowi pada Kamis, 26 Januari 2017 sore. Apa yang dibicarakan keduanya, hanya mereka yang tahu. Yang jelas, pertemuan tersebut menarik perhatian publik. Kita hanya bisa menakar sejauh mana peluang Antasari membuka kembali kasusnya. Oleh karena itu, mari kita tunggu kelanjutannya. (Kmps/S13)