Citra Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya menjadi gerbang pengawasan keadilan negara, semakin tercemar setelah ditangkapnya Patrialis Akbar yang tersangkut kasus suap impor daging sapi. Banyak pihak menilai kalau permasalahannya berawal dari tidak adanya sinergi antar tiga lembaga, yaitu Pemerintah, DPR, dan MA saat merekrut calon hakim MK.
Pinterpolitik.com – Jum’at, 3 Februari 2017
JAKARTA – Patrialis Akbar bukanlah satu-satunya hakim MK yang tertangkap akibat dugaan suap. Pada tahun 2013, mantan ketua MK Akil Mochtar pun sempat dijaring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus jual beli Pilkada. “Ini pukulan yang berat karena kita sudah tiga tahun berusaha mengembalikan kepercayaan publik pada MK,” sesal salah satu Ketua MK Arif Hidayat.
Menurut Arif yang sudah pernah menjadi anggota, wakil, dan sekarang ketua MK, terulangnya kasus suap yang terjadi di tubuh MK sangat mungkin berawal dari proses rekrutmennya. “Saya lihat proses rekrutmen pengisian jabatan hakim konstitusi sangat penting sekali, harus dilakukan betul-betul, harus sangat hati-hati.”
Menurut Undang-undang nomor 24 RI Tahun 2003 pasal 20 tentang MK, menyebutkan bahwa baik pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Agung (MA) memiliki kriteria masing-masing dalam menetapkan hakim MK. Ketetapan UU inilah yang kemudian dianggap sebagai kelemahan dan harus direvisi.
Pendapat yang sama juga disampaikan mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, menurutnya perlu ada pembenahan dalam perekrutan hakim MK. “Perlu ada ketetapan yang sama antara tiga institusi, sehingga nantinya siapapun yang menjabat tidak dianggap sebagai hakim ‘titipan’,” ungkapnya.
Pembenahan ini harus segera dilakukan, karena kasus Patrialis Akbar yang berlatar belakang sebagai politikus Partai Amanat Nasional (PAN) dapat merusak citra MK dan dianggap tidak amanah. Ketika nama Patrialis dicalonkan, sebenarnya sudah banyak yang keberatan akibat latar belakangnya yang tidak terlalu bagus.
Saat menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis sudah mendapat banyak kritik karena terlalu baik pada koruptor dan obral remisi pada terpidana korupsi.
Revisi UU MK mungkin sudah menjadi kebutuhan besar saat ini, bila pemerintah memiliki niat baik untuk memperbaiki sistem dan menghapus peluang terjadinya korupsi. Namun yang harus diingat, sebaik apapun sistem dibuat, peluang kejahatan akan selalu ada. Semua kembali pada manusianya. (Berbagai sumber/R24)