Luhut menyinggung keadaan ekonomi dunia yang penuh ketidakpastian, yang tentunya akan berdampak terhadap Indonesia. Oleh karena itu, dia meminta pers memainkan peranan penting, menjaga kestabilan politik dalam negeri di tengah badai ekonomi dunia.
PinterPolitik.com
Media massa memiliki arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Media massa tak hanya menjadi pengawal demokrasi, juga menjaga keutuhan negeri. Tanpa media massa kehidupan berbangsa dan bernegara kurang pas.
Peran media massa menjadi poin penting dalam sesi kedua Konvensi Nasional Media Massa yang membahas tentang “Demokrasi Digital, Nilai Kewargaan dan Ketahanan Budaya” di Baileo Siwalima, Ambon. Sesi kedua menghadirkan pembicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, budayawan Garin Nugroho dan Sujiwo Tedjo, serta akademisi Yudi Latif.
Menko Luhut mengemukakan, media selalu menjadi bagian dari pemerintah yang bertugas menjaga masyarakat untuk selalu bersatu padu.
Selain itu, Luhut menyinggung keadaan ekonomi dunia yang penuh ketidakpastian, yang tentunya akan berdampak terhadap Indonesia. Oleh karena itu, dia meminta pers memainkan peranan penting, menjaga kestabilan politik dalam negeri di tengah badai ekonomi dunia.
Kendati begitu, Luhut mengemukakan, kondisi ekonomi Indonesia masih aman terkendali dan masih bisa memainkan peran penting di ekonomi kawasan.
Pers, kata Luhut, wajib menjaga keutuhan dan kestabilan dalam negeri dengan memberitakan hal-hal yang baik dan positif untuk menimbulkan kesejukan di masyarakat.
“Media menjadi bagian dari pemerintah untuk membuat Indonesia tetap kompak. Pers dengan dinamikanya tentu selalu mengingatkan pemerintah dan pemerintah mengingatkan pers. Itulah dinamika kehidupan bernegara,” katanya.
Pembicara kedua, Garin Nugroho, yang juga sutradara, menyoroti soal fenomena media sosial. Ia mengatakan, kultur media sosial saat ini lebih melahirkan “haters dan lovers” layaknya di kultur dunia hiburan. Kultur semacam ini melahirkan massa politik yang hitam putih serba berkubu dalam hukum “benci dan cinta”, kehilangan ruang dialog dan kritik.
Atmosfer euforia medsos melahirkan ironi demokrasi, yakni lahirnya politik baru bukan karena pengetahuan, keterampilan politik, serta kenegarawanan, namun kemampuan pameran perhatian untuk mengelola massa dalam kultur medsos.
“Medsos bukanlah jalan utama kematangan demokratisasi dan adabnya, namun medsos menjadi riuh-rendah demokrasi banal serba maya dengan dampak pada dunia nyata yang sering tak terkendali,” kata Garin.
Yudi Latif mengingatkan kembali bahwa pendiri bangsa, Soekarno dan Hatta, berlatar belakang jurnalis dan penulis. Profesi wartawan menjaga dan merawat sepanjang perjalanan bangsa Indonesia.
Sujiwo Tedjo menghibur para peserta konvensi dengan tembang-tembang Jawa yang memantik perhatian para peserta. Aksi Sujiwo yang juga “dalang” ini tak pelak mendapat sambutan dari para peserta konvensi. (G18)