Site icon PinterPolitik.com

Mayora vs Warga Pandeglang

Mayora vs Warga Pandeglang

istimewa

Belum selesai kasus Kendeng, konflik agraria kembali mencuat di titik lain negeri. Ada apa gerangan?


PinterPolitik.com 

[dropcap size=big]”A[/dropcap]ir sudah jadi urat nadi kehidupan warga. Bahkan kalau panen, petani di sini bingung bagaimana cara buang air, bukan kekurangan air.” Ustadz Sanusi, salah seorang warga Desa Suka Indah, mulai berbicara. Ia tinggal sekitar 2 km dari lokasi pendirian pabrik Tirta Fresindo Jaya (Le Minerale).

Komentar senada juga dikeluarkan oleh Solihin, “bisa ngising, teu bisa ngisang,  yang kurang lebih lebih berarti “bisa buang air besar, tapi tak bisa cebok.

Komentar keduanya menggambarkan kondisi sulitnya melakukan kegiatan sehari-hari, bahkan hal yang sederhana, karena air yang terbatas.

Sejak 2013, Pandeglang menjadi destinasi PT. Tirta Fresindo Jaya untuk mengeruk lahan dan sumber daya alamnya. Anak perusahaan Mayora group ini, menimbun empat sumber mata air sehingga menyebabkan kekeringan di daerah Pandeglang, Banten.

Hal ini membuat warga kesal dan menyerbu kantor Bupati pada Februari lalu. Warga meminta pencabutan izin pembangunan pabrik PT Tirta Fresindo Jaya di kawasan Cadasari, Pandeglang, Banten.

Tak juga ditemui oleh sang Bupati, warga akhirnya membakar beko (backhole) dan pagar perusahaan. Beberapa juga melempari kaca jendela bangunan kantor hingga pecah. Aktivitas perusahaan pun terhenti hari itu.

Keesokannya, tiga orang warga ditangkap atas dugaan perusakan properti milik PT. Tirta Fresindo Jaya. Mereka adalah Bima Fahru Aziz, Puadi, dan Sair Firdaus. Hingga saat ini, mereka masih menunggu sidang pengadilan.

Aksi penolakan warga Pandeglang dan Baros, Banten terhadap pabrik Le Minerale (sumber: Tirto)

Kaset Baru, Lagu Lama

Kasus perebutan sumber daya alam yang terjadi di Pandeglang saat ini, memiliki format yang sama dengan konflik agraria di daerah lain Indonesia. Saking meningkatnya dari tahun ke tahun, menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), kasusnya jadi seperti kaset baru yang berisikan lagu-lagu lama.

Kali ini pihak korporat, yakni PT Tirta Fresindo Jaya yang digawangi Mayora Group melawan warga Pandeglang, Banten, memperebutkan air di kawasan ‘suci’ Cadasari. Perusahaan ini mulai memasuki daerah Pandeglang sejak 2013 lalu. Mereka tetap berhasil mendapat izin pembangunan pabrik, walaupun secara gamblang menempati kawasan lindung geologi, lahan pertanian pangan warga, dan juga sumber air.

Suasana alam di Cadasari, Pandeglang, Banten. (sumber: sepedaan.co)

Masuknya perusahaan yang kondang dengan produk bermerk Le Minerale, tak lain dan tak bukan adalah untuk memonopoli delapan mata air yang terdapat di daerah Cadasari dan sekitarnya.

Karakteristik rasa dan kandungan mineral air yang tinggi, membuat perusahaan ini bertahan. Empat sumber mata air yang sudah ditimbunnya antara lain, Cinangka, Ciwastra, Kedu bedul, dan Kadu Buut.

Selama tiga tahun, warga sudah melakukan banyak cara untuk melawan. Mulai dari melancarkan protes, demo, berdoa bersama di areal sumber mata air, mendatangi kantor Bupati, menyurati DPRD Banten, menemui Komnas HAM, menyurati kantor staf Presiden, dan menyurati Dewan Sumber Daya Air Nasional. Namun, selama itu pula Pemda dan perusahaan duduk tak bergeming. Satu sama lain saling berkilah untuk mengamankan posisinya.

Le Minerale VS Aqua

Mendengar nama Mayora, beberapa dari kita pasti akan teringat makanan ringan seperti biskuit Roma, permen Kopiko, cokelat Coki-Coki, dan Energen. Namun, mengingat perampasan lahan dan sumber daya alam yang digawanginya, tentu tak semanis menikmati produk olahan dari perusahaan yang berdiri sejak 1977 ini.

Populernya produk-produk Mayora, membuat pendirinya, Jogi Hendra Atmaja, jadi salah satu konglomerat negeri. Forbes pada 2016, mencatat namanya di peringkat 44 dalam 50 orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan 850 juta dolar. Aset Mayora Group pun, saat ini sudah mencapai nilai Rp. 12.922 miliar.

Pendiri Mayora Group, Jogi Hendra Atmadja (sumber: Forbes)

Pada tahun 2011, Mayora mulai menjejakkan kakinya di pasar air minum kemasan dengan merek dagang Le Minerale. Produk ini dikeluarkan oleh PT. Tirta Fresindo Jaya, anak perusahaannya yang sedang berkonflik di Pandeglang dengan warga setempat.

Akhir tahun 2016, Le Minerale juga tersandung masalah dengan salah satu ‘ikan’ besar di pasar air minum kemasan, yakni Aqua. Menurut Suyanto, kuasa hukum PT. Tirta Fresindo Jaya, Aqua telah melakukan persaingan tidak sehat dengan melarang pedagang di daerah Jakarta, Bekasi, Cikarang, dan Cileungsi untuk menjual Le Minerale. “Praktik tersebut dilakukan dengan ancaman dan intimidasi, baik secara lisan dan tertulis,” ucap Suyanto.

Ini bisa jadi merupakan salah satu penyebab agresifnya Le Minerale melakukan ekspansi dan menggenjot produksinya. Hingga hari ini, sudah lima pabrik Le Minerale berdiri, yakni di Ciawi, Sukabumi, Pasuruan, Medan, dan Makassar. Tak lupa menyusul pembangunan di Pandeglang, Banten. Hal tersebut dilakukan  untuk memenuhi target 5 juta karton air minum perbulan.

Kesamaan pola yang terjadi di Pandeglang dan beberapa titik konflik agraria lainnya, merupakan imbas pemilik modal berekspansi bisnis tanpa mempertimbangkan ancaman dan krisis global ekologi.

‘Bantuan’ dari Pemerintah Daerah

Menghadapi protes penolakan warga yang sangat tinggi, ternyata belum menggerakan Bupati Pandeglang, Irna Nurlita, untuk benar-benar mendengarkan keluhan warga. Ia justru kebingungan dengan kemarahan warga karena dianggapnya berbuat ‘anarkistis’.

“Masyarakat Pandeglang jangan mudah terprovokasi sekelompok orang yang tidak nyaman, sehingga akhirnya para investor takut masuk pandeglang. Coba flashback, di sebelah Mayora juga ada yang menjual air. Padahal itu airnya darimana? Kok tidak ada masalah?” Irna mencoba menyindir.

Bupati Pandeglang, Irna Nurlita (sumber: bantenprov.go.id)

Ketidakpekaan yang ditujukan Irna Nurlita, tidak lebih baik dari yang dilakukan Bupati Pandeglang periode sebelumnya, Erwin Kurtubi. Masifnya penolakan warga, membuat Kurtubi mengeluarkan surat penghentian kegiatan perusahaan. Surat yang disambut oleh DPRD Banten dan ditandatangani oleh Asep Rahmatullah tersebut, ternyata tidak memiliki kekuatan hukum karena hanya berupa imbauan.

begitu, proses pengerukan pabrik di kawasan lindung Banten, terus berjalan hingga hari ini.

Menanggapi kontroversi lokasi pembangunan pabrik Le Minerale yang berdiri di kawasan zona hijau, Nata Irawan, Gubernur Banten berkata, “Pemerintah Banten masih mengkaji temuan-temuan di lapangan. Masih berkoordinasi dengan Kementrian ESDM. Harus hati-hati dan tidak boleh gegabah,”

Pernyataan tersebut dijawabnya sendiri dengan melayangkan surat kepada Irna Narulita yang menyatakan izin pabrik Le Minerale atau PT. Tirta Fresindo Jaya, sudah berakhir pada 22 Mei 2016. Dalam surat tersebut ditegaskan pula bahwa wewenang penerbitan izin pemakaian dan pengusahaan air tanah berada di tangan pemerintah provinsi.

Menanggapi polemik perizinan pembangunan dan keberlanjutan pendirian pabrik, Sribugo Suratmo, Humas Mayora Group berkilah jika pihaknya tidak tahu bahwa lokasi pendirian pabrik berada di kawasan lindung geologi. “Tapi, PT. Fresindo tidak punya masalah perizinan. Lagipula jika pabrik beroperasi, bahan baku yang diambil bukan dari air permukaan yang biasa diambil warga, melainkan air dalam.” tambahnya.

“Kita berani bangun karena semua sudah clear, sudah diadakan sosialisasinya, kita akan bakti sosial besar-besaran untuk merangkul warga,” lanjutnya.

Daftar Panjang Konflik Agraria, Mengapa Terjadi?

Kasus perebutan sumber daya alam di Pandeglang, Banten, menambah daftar panjang konflik agraria di Indonesia. Dari Kendeng, Sukamulya, Kulonprogo, Urutsewu, Tulang Bawang, dan Mesuji di Lampung, Serapat di Kalimantan Selatan, serta lainnya.

Menurut data dari KPA, sepanjang 2015 – 2016 daerah yang menduduki posisi paling atas menyumbang konflik agraria adalah Riau, dengan 44 konflik. Disusul Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, masing-masing 43 dan 38 konflik.

Di Riau, penyebab utama konflik adalah putusan pejabat-pejabat publik yang memberikan izin konsensi kepada perusahaan-perusahaan di atas tanah yang digarap dan dikuasai oleh warga setempat.

Sementara di Jawa Timur dan Jawa Barat, paling banyak disebabkan oleh penguasaan tanah oleh PTPN, monopoli hutan Jawa oleh Perhutani, dan perluasan proyek pembangunan infrastruktur (pembangunan jalan tol, perumahan, waduk, bandara, dan lainnya) yang tumpang tindih dengan pemukiman warga.

Sejak krisis ekonomi global menghantam dan mulai mereda, fenomena perampasan tanah secara luar biasa (massive land grabbing) menjadi sebuah ‘tren’ baru dalam sistem ekonomi global. Menurut The Economist tahun 2009, Massive land grabbing merupakan sebuah model pengambilalihan kepemilikan tanah di negara-negara miskin atau negara berkembang oleh perusahaan multinasional.

Buruh gula di Phnom Penh, Kamboja (sumber: Nicolas Axelrod / Ruom)

Lund University, Swedia, pada 2014 mengeluarkan laporan yang mencengangkan tentang ekspansi perampasan tanah. Negara Tiongkok, Inggris, dan Amerika Serikat, muncul sebagai pemain utama yang getol membeli tanah di negara-negara Asia dan Afrika.

Sebagai contoh adalah ekstrasi mineral Cobalt (Co) di Kongo. Cobalt merupakan bahan baku pembuatan baterai ponsel pintar, di mana Kongo memenuhi 40 persen kebutuhan pasar global. Di negara ini, ekstrasi dijalankan oleh Central African Mining and Extraction Company (CAMEC) yang berpusat di London, Inggris.

Dengan demikian, Inggris mengontrol segala proses ekstrasi yang dilakukan pada tanah yang sudah dibelinya di Kongo. Selain itu, CAMEC juga pelaku perdagangan kotor (blood cobalt) dan perbudakan anak-anak di bawah umur.

Buruh anak membersihkan tambang Kobalt di Mongbwalu, Kongo. (sumber: Spencer Platt)

Contoh lainnya, menurut Andre Barahamin, peneliti dari yayasan PUSAKA (Pusat Studi, Advokasi, dan Dokumentasi Hal-Hal Masyarakat Adat), adalah yang dilakukan Inggris dan Amerika Serikat yang berinvestasi serius di sektor perkebunan kepala sawit di Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Inggris dan Amerika Serikat bahkan ikut mendukung terbentuknya pakta perdagangan sawit regional antara Indonesia dan Malaysia. Pakta kerjasama ini diharapkan dapat mengurangi kompetisi antar kedua negara penghasil sawit terbesar di dunia, untuk kemudian dapat saling membantu dalam ekstensifikasi industri minyak sawit mentah (crude palm oil).

Titik kumpul sawit (sumber: National Geographic)

Akibat pembukaan pasar bebas atau sistem neoliberalisme inilah, melahirkan dampak domino perampasan tanah dan sumber daya di beberapa titik di Indonesia. Neoliberalisme menekankan pada pasar dan perdagangan bebas lintas negara, sehingga menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi domestik.

Secara ironis, kebangkitan neoliberalisme ini juga menemukan titik temu antara ketahanan pangan dan keuntungan finansial. Investasi jauh lebih menguntungkan dan aman dengan memberi garansi keuntungan jangka panjang pada sistem outsourcing dalam produksi pangan. Kontrol terhadap sumber produksi alam dan makanan di negara miskin dan berkembang, dibeli melalui perusahaan-perusahaan multinasional.

Namun tentu saja, ketika berbicara mengenai keuntungan, warga pemilik tanah tidak masuk dalam hitungan. Keuntungan finansial dan ketahanan pangan yang dilahirkan oleh sistem neoliberalisme, hanya akan menguntungkan segelintir pihak, seperti CEO, pejabat publik, dan pemimpin negeri. Mereka pula yang berhak berbicara dan menentukan langkah masyarakat hari ini.

Penggundulan hutan akibat pembukaan lahan sawit (sumber: Mongabay)

Salah satu efek kebrutalan dan perlakuan semena-mena akibat sistem inilah, kekerasan demi kekerasan terjadi di Pandeglang saat ini, Kendeng, Papua dan berbagai daerah lainnya di Indonesia. (Berbagai Sumber/A27)

Exit mobile version