Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kau persembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api. – Joko Pinurbo “Mei”
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]I[/dropcap]a berdiri di hadapan kamera-kamera televisi di istananya, mengeluarkan kertas dari kantongnya, mengenakan kacamatanya dan mulai membacakan rencana-rencana pengunduran diri. Reformasi politik segera, dan sesegera mungkin melaksanakan pemilihan umum nasional yang kelak dia tidak akan mencalonkan diri kembali, begitu isinya.
Soeharto hampir bisa dikatakan sendirian kala itu. Sebagian besar orang-orang terdekatnya meminta dan mendesaknya mengundurkan diri. Di saat yang sama, riuh dan sorak sorai hampir terjadi di beberapa titik di Indonesia. Orde Baru secara resmi jatuh. Reformasi dimulai. Setelah Mei 1998 menelan jiwa lebih dari seribu, termasuk empat mahasiswa Trisakti yang tewas tertembus timah panas.
Bermandi Api di Jakarta
Krisi ekonomi, politik, sosial, dan budaya mewarnai protes besar-besaran mahasiswa di seluruh kampus di Indonesia, mendesak presiden Soeharto segera turun dari kursi empuk kepemimpinan selama hampir 32 tahun. Polemik ini harus membuat Soeharto mempercepat lawatannya di Kairo, Mesir.
Pada 18 mei 1998, ketua MPR/DPR, Harmoko, meminta Presiden Soeharto mundur. Tak digubris, mahasiswa akhirnya menduduki atap gedung MPR/DPR hingga 21 Mei. Soeharto mengumumkan mundur dari kursi presiden yang telah dikuasainya selama 31 tahun.
Dian Ditto, Bersama motornya, berkeliling Ibu Kota sewaktu keadaan sedang panas-panasnya bergejolak, mulai dari Slipi, Salemba, Senen, Rawamangun, Cilincing, dan menepi di Jayakarta. Ia adalah salah satu mahasiswa yang menduduki DPR MPR, sekaligus jurnalis muda kala itu. Melalui mata kepalanya, ia menyaksikan orang-orang berbondong menjarah toko-toko dan mall, serta membakar mobil yang ditelantarkan di jalan.
Dirinya mengaku, tidak menemui tindakan kekerasan yang menimpa warga keturunan Tionghoa ketika menelusuri Jakarta saat itu. Walaupun begitu, Dian mengetahui adanya kabar mengerikan itu melalui rekan sesama jurnalis. Walaupun tak disaksikannya dan negara tak pernah membukanya, kekerasan dan pelanggaran HAM berat betul-betul terjadi di Jakarta di tahun 1998.
Ita F. Nadia, salah satu anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK), menyimpan banyak cerita memilukan tentang para korban perkosaan Mei 1998. Ada cerita korban perkosaan yang dipotong putingnya, seorang istri yang diperkosa di hadapan mata suaminya, hingga dua gadis kakak beradik yang diperkosa di dalam lemari.
Keduanya hamil, yang satu menggugurkan kandungan, yang lain melahirkannya. Ayahnya tak bisa menahan penderitaan putrinya, akhirnya menawarkan obat pembasmi serangga. Ini dilakukan supaya puterinya bisa mengakhiri hidup.
Bom Asap Kerusuhan: Etnis Tionghoa?
Kesenjangan ekonomi, gaya hidup eksklusif orang Tionghoa serta kedangkalan berpikir masyarakat pribumi dituduh menjadi penyebab Tragedi Mei 1998. Apakah benar sesederhana itu?
Kesenjangan ekonomi antara warga keturunan Tionghoa dengan warga pribumi terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Saat itu, Belanda menunjuk warga keturunan Tionghoa sebagai perantara untuk mendistribusikan hasil tanam paksa dan pajak. Hal ini berlangsung berabad-abad, sehingga mereka dapat memapankan ekonominya.
Namun tentu saja, permasalahan kebiasaan dan gaya hidup tersebut bukanlah asal hulu, karena rahasianya berada pada taktik ekonomi politik yang dijalankan Belanda. Sejak awal, secara politis, Belanda sengaja menempatkan warga keturunan Tionghoa sebagai kelas menengah yang memegang dominasi ekonomi, sehingga pihak Belanda aman dari sasaran kemarahan warga pribumi sekaligus tak bisa disaingi oleh keuletan warga keturunan Tionghoa.
Orde Baru, mencontoh taktik politis ini. Pemerintah memberi kemudahan ekonomi dan jaminan keamanan politik, ketika di saat yang sama mencabut seluruh kekuatan politiknya. Dalam sebuah buletin yang terbit di tahun 1998 dan diasuh oleh masyarakat keturunan Tionghoa, Langkah Bergerak, menuliskan bahwa Orde Baru menambah perbendaharaan mitos mengenai Tionghoa. Setiap kerusuhan yang menimpa kaum Tionghoa, maka masyarakat Islam akan dituding pertama kali. Begitu pula sebaliknya.
Jatuh Bangun Berkali-Kali
Adi Karia Yao, seorang warga keturunan Tionghoa yang juga korban kerusuhan Mei 1993 tak bisa melupakannya sama sekali. Ia teringat memandangi rumah dan tokonya yang hangus dan tinggal puing-puing belaka. “Saya tidak tahu mau apa kala itu.” ujarnya, “Kalau saya bisa pergi, saya akan pergi. Tapi saya tidak punya uang waktu itu.”
Ketika Orde Baru, warga keturunan Tionghoa yang mendapat perlindungan negara hanyalah mereka yang bermitra dengan Soeharto. Warga keturunan Tionghoa ini adalah para taipan, yang membantu membangun negara. Oleh ekonom Indonesia, Thee Kian Gie, para taipan ini layaknya angsa-angsa bertelur emas. “Soeharto memelihara mereka layaknya angsa bertelur emas. Memberi makan dan membuat mereka gemuk. Lantas memeras mereka. Namun mereka tak menjerit.”
Ketika kerusuhan terjadi, para taipan tersebut mengungsi ke tempat saudara atau menginap di hotel bintang lima Singapura, tidak kembali sebelum keadaan aman di Indonesia. Sementara warga keturunan Tionghoa kelas menengah mati-matian bertahan. “ Ini sungguh tidak adil. Kroni-kroni Cina menempel pada pemimpin dan semakin kuat. Kita, orang-orang Cina biasa menjadi korban.” ujar Angus Yao dalam laporan yang diterbitkan LKiS Yogyakarta.
Untuk mengungkap fakta dan latar belakang Tragedi Mei 1998, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), yang terdiri dari unsur-unsur pemerintah. Tim ini dibentuk pada 23 Juli 1998 dan bekerja hingga 23 Oktober 1998, dan dipimpin oleh Marzuki Darusman.
Marzuki Darusman, Pada 6 Mei 2017, menjadi salah satu pembicara di Komnas Perempuan yang bertajuk Peringatan Tragedi Mei 98 Tahun 2017 “Mewujudkan Pemerintahan yang Ingat, Hormat, dan Adil pada Sejarah”. Ia mengungkapkan bahwa kerusuhan terjadi akibat pertarungan intra elit yang menggunakan operasi militer.
Pemicu konflik yang digunakan adalah disparitas antara si kaya dan si miskin yang luas, agama, etnis, dan ekonomi. Hal ini merusak agenda jangka panjang bangsa yang menelan ribuan korban.
Memperingati, Adil, dan Merefleksikan Tragedi Mei 1998
Memasuki umur ke-19, wajib bagi kita untuk terus merawat ingatan terhadap tragedi kemanusiaan Mei 1998. Usaha ini adalah cara kita meneruskan perjuangan menghapus kekerasan dan memelihara harapan agar keberlanjutan pemulihan korban dapat terus terjadi serta pencegahan agar hal yang sama tak lagi terjadi di masa depan.
Membuka luka, bukan berarti membuka aib dan koreng. Malah, membuat bangsa kita semakin dewasa karena menyadari bahwa tragedi kemanusiaan Mei 1998 adalah yang terburuk yang pernah terjadi. Jika pemerintah masih enggan dan masih pula tak bersungguh-sungguh, maka tugas kita untuk kembali melahirkan kembali kesempatan kepada korban untuk mendapatkan hak, pemulihan, dan juga jaminan untuk tidak akan terjadi lagi kasus yang sama di masa depan. (Berbagai Sumber/A27).