Site icon PinterPolitik.com

LUMBUNG KORUPTOR DI NEGERI ANTAH BERANTAH (REFLEKSI AKHIR TAHUN PART2)

school of public policy

ilustrasi korupsi

Singapura dan Korea Selatan telah membuktikan bahwa keberadaan school of public policy sangat menunjang pemberantasan korupsi, khususnya dalam mencegah peluang korupsi itu terjadi.


pinterpolitik.com – Sabtu, 31 Desember 2016

“Making Democracy Work”. Itulah slogan yang ditulis di website School of Public Policy Universitas Maryland, Amerika Serikat. Sebegitu penting kah pendidikan kebijakan publik itu? Apakah pendidikan kebijakan publik memang benar-benar dibutuhkan oleh sebuah negara demokrasi? Untuk mendalami hal itu, baiklah di akhir tahun ini – sebagai kelanjutan tulisan tentang korupsi – kita menelusuri juga bagaimana pentingnya keberadaan school of public policy terhadap keberlangsungan demokrasi yang sehat dan menyejahterakan kepentingan banyak orang di suatu negara.

Banyak orang berpandangan bahwa semakin buruk sebuah public policy akan berbanding lurus terhadap peningkatan angka korupsi dan penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan publik tersebut. John Nkeobuna Nnah Ugoani, seorang peneliti dari Nigeria, menulis di American Journal of Economics, Finance and Management bahwa pasca tahun 1960, peningkatan angka korupsi di Nigeria terjadi sebagai akibat dari kebijakan publik yang buruk. Namanya si John ini panjang banget, saya jadi teringat video Ossas. Buat yang tahu videonya, dilarang senyum-senyum baca tulisan ini, buat yang belum tahu silahkan mencari tahu sendiri. Nah, pakde John ini  bahkan menyebut negara-negara yang dikuasai oleh kepemimpinan absolut – termasuk Indonesia antara tahun 1966 sampai 1998 – cenderung melahirkan kebijakan publik yang buruk, ujung-ujungnya akan ada banyak penyimpangan anggaran dan korupsi yang terjadi. Ia menyebutnya dengan istilah pyramidal public corruption merujuk pada kekuasaan absolut yang berujung pada korupsi. Lalu, bagaimana sebenarnya korelasi antara kebijakan publik yang buruk dengan korupsi tersebut? Mari menyeruput kopi sebelum lanjut membaca.

Kekuasaan yang absolut, seperti yang digambarkan oleh Lord Acton, (baca: refleksi akhir tahun part 1) akan sangat dekat dengan penyalahgunaan wewenang. Di Indonesia, hal ini nampak ketika negara ini dikuasai oleh pemerintahan otoriter selama lebih dari 32 tahun. Selama tahun-tahun itu, baik lembaga pembuat kebijakan publik (baca: DPR), maupun lembaga yang mengesahkan (baca: eksekutif/presiden) tidak pernah melahirkan kebijakan publik yang baik. Selain karena kekuasaan yang mengondisikan mereka untuk dapat melakukan penyelewengan, hal ini juga terjadi karena minimnya pengetahuan tentang bagaimana membuat kebijakan publik yang baik. Sampai pada tahap ini, kita bisa melihat korelasi antara kehadiran school of public policy – sebagai entitas pendidikan yang mampu melahirkan orang-orang yang paham tentang perumusan kebijakan publik yang baik – dengan korupsi itu sendiri. Program dan anggaran belanja pemerintah lebih banyak habis untuk kantong para pemangku kebijakan tersebut. Makanya tidak perlu heran, korupsi bahkan telah menjadi ‘budaya’ – sesuatu yang sebenarnya sangat tidak patut disebut sebagai budaya. Selama bertahun-tahun lingkaran kebijakan publik yang buruk ini menjadi inti dari kasus korupsi di negara ini. Bahkan, setelah negara ini masuk ke era demokrasi yang sesungguhnya pasca reformasi pun ‘budaya’ korupsi ini masih melekat dan seolah sulit disembuhkan.

Jika berkaca dari negara-negara lain, banyak negara yang berhasil menekan angka korupsi setelah lembaga legislatif dan eksekutifnya mampu melahirkan kebijakan publik yang berkualitas dan baik. Kebijakan publik yang baik dapat dihasilkan jika orang-orang yang menjadi pemangku dan pembuat kebijakan tersebut paham bagaimana cara merumuskan kebijakan publik yang baik. Bagaimana cara menghasilkan orang-orang seperti itu? Jawabannya adalah lewat pendidikan. Oleh karena itu, kehadiraan school of public policy yang dapat memberikan gambaran dan pendidikan tentang bagaimana kebijakan publik yang baik dihasilkan, dapat menjadi indikator bagaimana keseriusan negara itu memerangi korupsi, selain juga ditunjang oleh keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan membawa manfaat bagi kepentingan banyak orang. Bahkan, untuk sebagian besar negara demokrasi, kebijakan publik yang baik merupakan indikator baik atau buruknya demokrasi di negara tersebut.

Singapura misalnya adalah salah satu negara yang mempunyai school of public policy yang bagus. Lee Kuan Yew School of Public Policy merupakan sekolah sekaligus juga think tank produk-produk kebijakan publik Singapura. Oleh karena itu, tidak heran jika Transparency International (TI) – sebuah lembaga penilai kebijakan publik yang berpusat di Berlin – menempatkan Singapura di posisi ke 5 sebagai negara paling bersih dari korupsi di dunia di belakang Denmark, Finlandia, Selandia Baru dan Swedia. Selain Singapura, negara lain yang juga sukses menekan korupsi lewat school of public policy adalah Korea Selatan. Korea Development Institute (KDI) School of Public Policy and Management adalah pionir pendidikan kebijakan publik di Korea Selatan. Setelah didirikan pada tahun 1997, KDI School of Public Policy memberikan dampak signifikan dengan membawa Korea Selatan – yang sebelumnya adalah salah satu negara dengan angka korupsi yang sangat tinggi – menjadi negara urutan ke-3 dengan pemerintahan yang bersih dan kebijakan publik yang baik di kawasan Asia di belakang Singapura dan Jepang. Tentu kita bisa belajar banyak dari dua negara ini. Singapura dan Korea Selatan telah membuktikan bahwa keberadaan school of public policy sangat menunjang pemberantasan korupsi, khususnya dalam mencegah peluang korupsi itu terjadi.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita punya school of public policy? Kita punya SGPP (School of Government and Public Policy). Saya saja baru tahu kalau kita punya school of public policy saat melakukan riset ini. Namun, saat ini tentu saja SGPP belum berdampak terhadap produk-produk kebijakan publik yang dihasilkan. Lihat saja lembaga pembuat kebijakan publik kita (baca: DPR). Isinya juga masih banyak terdapat orang-orang yang berasal dari rezim kekuasaan lama yang nota bene juga tidak tahu bagaimana merumuskan kebijakan publik yang baik. Produk hukum yang dihasilkan dalam bentuk undang-undang pun banyak yang disahkan karena tarik menarik kepentingan di antara anggota dewan yang terhormat. Sebut saja kasus Undang-undang MD3, yang belum tahu silahkan browsing isi Undang-undang ini. Atau produk kebijakan publik lain, misalnya yang berkaitan dengan energi, transportasi, dan pemberdayaan masyarakat. Selama belum ada orang-orang yang peduli dengan pentinganya rumusan kebijakan publik yang baik, maka negara kita tidak akan pernah bisa keluar dari lingkaran korupsi ini.

Kita harus banyak belajar dari negara-negara lain. Pada tahun 2012, The Anti-Corruption and Civil Rights Commission Korea Selatan misalnya melahirkan sebuah undang-undang anti-korupsi yang disebut Kim Young-ran Act. Undang-undang anti korupsi yang namanya diambil dari nama mantan ketua KPK-nya Korea Selatan ini sebegitu luar biasanya sehingga ketika disahkan ada 2,5 juta orang yang terkena dampaknya. Undang-undang ini melarang pegawai negeri sipil, karyawan pada lembaga pemerintahan, guru, dan juga jurnalis untuk menerima uang dalam jumlah tertentu (gifted money). Jika seorang pegawai pemerintahan menerima pemberian uang minimal US$ 50, ia bisa diancam dengan hukuman 3 tahun penjara. Mengerikan bukan? Bayangin aja Rp 500 ribu bisa bikin seorang PNS di sana masuk bui.

Sulit rasanya membayangkan hal yang sama dapat terjadi di Indonesia. Undang-undang ini memberikan gambaran bahwa kalau ada keinginan yang kuat disertai dengan kesadaran untuk menciptakan produk hukum dan kebijakan publik yang baik, niscaya pemberantasan korupsi akan dapat dilaksanakan dengan baik. Kita tentu ingin negara ini melahirkan kebijakan publik yang baik dan terbebas dari korupsi. Oleh karena itu, mari belajar merumuskan kebijakan publik yang baik. Kalau ada keinginan, pasti cita-cita tersebut bisa terwujud. Dengan demikian, negara ini tidak lagi dikenal sebagai lumbung koruptor di antah berantah, tetapi sebagai negara yang masyarakatnya sadar bahwa korupsi bukanlah ‘budaya’. (SAN)

Exit mobile version