“Sesungguhnya saat ini aku sedang berusaha menjadi siput di atas jutaan butir pasir pantai.”
PinterPolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]ak biasa sore itu Iim berlari menghampiri Joy dengan wajah yang pucat. Saat berada di depan Joy, ia langsung berbisik:
“Sssttt! Jangan keras-keras, ingat ada UU ITE. Sini lebih mendekat, aku ingin ceritakan sedikit penggalan perih hati ini”, ujar Iim sambil menunjukkan raut wajah memelasnya.
Ia mencari bangku dan duduk di hadapan Joy berkata.
“Saling serang satu sama lain, saling merasa paling benar, dan saling merasa dirinya paling pintar adalah suatu hal yang lumrah terjadi. Apalagi hal itu terjadi di dunia politik. Mencaci, mencibir, saling menjelekkan, mengejek, dan apa pun yang akhirnya melukai lawannya adalah sebuah kebanggaan adalah kemenangan bagi para jiwa yang hilang”.
Joy tampak bengong melihat kata-kata sahabatnya itu. Tapi Iim seperti tak peduli dan terus nyerocos, seperti kaset tape yang diputar berulang-ulang.
“Aku tidak ingin bilang banyak hal lagi sebab hati ini sudah tersakiti. Bukan, bukan karena mereka tak beri aku hidup atau menjadi sumber rejeki! Tapi karena mereka terus memperburuk situasi negeri ini! Dengar bro, sampai detik ini aku tidak pernah menuntut apa-apa darinya, tapi tahu diri dong, sudah sekian lama dan hingga hari ini apa yang telah mereka perbuat? Korupsi lagi? Bagi tender lagi? Bagi saham lagi? Bagi-bagi aja terus tanpa lihat rakyat di sana-sini makin merintih!”
Setelah mendengar kata “korupsi” dan “rakyat”, Joy pun tersadar. Ternyata Iim sedang mengeluhkan keadaan politik yang menurutnya semakin hari semakin tidak bersahabat.
“Iim, sebenarnya maksud kamu apa sih dan mau kamu itu apa?” Joy akhirnya bertanya.
“Tidak Joy, aku tidak butuh apa-apa. Hanya saja aku kaget, masa sih politisi sampai hari ini masih saja bertengkar. Padahal kan, ah sudah lah”, Iim tak menyelesaikan kalimatnya.
“Sebenarya apa sih yang terjadi sampai kamu ngedumel seperti ini?” Joy kembali bertanya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Iim mengeluarkan handphone-nya dan menunjukkan puisi yang berjudul “Doa yang tertukar”.
“Nih kamu baca ya ungkapan para politisi di negeri ini! Awas, jangan sampai kau tertular sepertiku yang terlanjur merasa alergi”, katanya sambil menyodorkan handphone-nya itu.
Bukan Mbah Moen, inilah Sosok 'Kau' yang Dimaksud Fadli Zon di Puisinya Berjudul: Doa Yang Tertukar – Tribun Timur https://t.co/sVrQTB0LuX
— Fadli Zon (@fadlizon) February 5, 2019
Joy membaca puisi itu sembari mengernyitkan dahinya.
“Gimana menurut kamu? Mengerti maksudnya?” tanya Iim.
Joy tak berkata apa-apa, hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepala sambil membaca ulang puisi itu.
“Ini lagi nih, coba baca yang satu lagi”, kata Iim sambil menunjukkan puisi berikutnyaberjudul “Katanya Bela Ulama”.
Katanya bela ulama
Kyai paling sepuh pun kau nista
Dengan aneka meme dan celaKatanya bela agama
Tapi kau halalkan semua
Tuk gelapkan siang sebelum waktunyaKatanya hasil ijtima'
Baca qur'an pun kau hindari dg berbagai caraJadi sebenarnya kau makhluk apa?
Editan atau manusia— M. Romahurmuziy (@MRomahurmuziy) February 3, 2019
Lagi-lagi Joy cuma bisa mengernyitkan dahinya.
“Terus kalau yang ini gimana?” Iim bertanya lagi. Share on XSetelah Joy berulang-ulang kali membaca kedua puisi itu, ia pun berkata dengan tenang.
“Sudah lah Im, sabar saja, biarkan mereka mau buat apa, kita mah apa atuh, cuman sandal jepit yang diinjak-injak doang”.
Setelah mendengar itu, Iim langsung beranjak dari bangkunya dan pergi sambil ngomel-ngomel.
“Serah lu aja deh bro! Dasar apatis!” Iim berlalu, Ahmad Dhani masih di penjara. (G35)