Praktik kejahatan para mafia tidak pernah pandang bulu, selama itu menguntungkan bagi dirinya dan kelompoknya maka segala cara akan dilakukan.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]S[/dropcap]indikat kelompok pembuat vaksin palsu dituntut hukuman maksimal oleh Kejaksaan Negeri Kota Bekasi. Sindikat pembuat vaksin palsu yang berhasil tertangkap adalah pasangan Rita dan Hidayat, Agus Susanto, H. Syafrizal dan Iin Sulastri, serta Nuraini, mereka membuat vaksin palsu dengan cara manual, tanpa standar baku mutu sesuai dengan Cara Pembuatan Obat yang Benar (CPOB).
Praktik kejahatan para mafia tidak pernah pandang bulu, selama itu menguntungkan bagi dirinya dan kelompoknya maka segala cara akan dilakukan. Bahkan praktik kejahatan tersebut sudah masuk ke wilayah kesehatan, dimana sektor kesehatan adalah salah satu sektor yang vital bagi masyarakat.
Pada tahun 2016 lalu, kita dikejutkan dengan ditangkapnya Menteri Kesehatan RI 2004 – 2009 oleh KPK. Siti Fadilah Supari, sang Menteri Kesehatan yang menjabat saat itu ditangkap karena terjerat kasus korupsi pengadaan alat kesehatan untuk kebutuhan Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan (PPKDK) yang diambil dari dana DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran). Jika dihitung, akibat perbuatannya itu ia telah merugikan negara sebesar Rp 6.148.638.000.
Melihat hal tersebut, Presiden Joko Widodo yakin bahwa semua pejabat kesehatan pasti mengetahui tentang sindikat mafia kesehatan, namun tidak ada satu pun dari mereka yang berusaha menghentikan sepak terjang para mafia-mafia ini.
Bukan hanya alat kesehatan yang biasa dikorupsi, bahkan obat juga menjadi ‘mainan’ para mafia kesehatan yang biasa dikenal dengan mafia obat. Menurut ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi Rauf, harga obat di Indonesia merupakan salah satu yang paling mahal di ASEAN, bahkan juga di dunia.
Kemahalan obat generik ini diakibatkan bahan baku obatnya yang juga mahal, namun ternyata kemahalan tersebut diakibatkan dari ulah para mafia obat ini yang memutar bahan baku ke negara-negara lain, kemudian baru masuk ke Indonesia. Akibatnya, harga bahan baku di Indonesia bisa lebih mahal 3 kali lipat.Selain bahan baku, para mafia obat juga mengontrol peredaran harga obat-obatan yang dijual di pasaran.
Bisnis obat di Indonesia memang menggiurkan bagi para pemilik modal. Banyak perusahaan farmasi dan sejumlah dokter berkongkalikong agar mendapat untung berlipat. Di tahun 2014 – 2015 saja nilai bisnis farmasi bisa mencapai Rp69 triliun.
Kementerian Kesehatan pada tahun 2014 mencatat ada 206 perusahaan farmasi beroperasi di Indonesia. Empat perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 26 perusahaan multinasional, dan 176 perusahaan lokal milik swasta. Oleh karena itu Ketergantungan bahan baku impor bisa mencapai 95%, sedangkan pertumbuhan nasional rata-rata penjualan obat dengan resep dokter per tahun sebesar 11,8%. Karena itulahakhirnya Indonesia pun menjadi pasar obat terbesar di Asia Tenggara.
Bagaimana Modus Operandi Mafia Obat?
Kejahatan mafia obat ini bukanlah kejahatan biasa, tapi merupakan kejahatan yang terkoordinasi dengan baik dan direncanakan dengan matang oleh pelaku utama, yaitu perusahaan farmasi yang bersekutu dengan dokter, manajemen dan pemilik rumah sakit.
Kejahatan ini hampir sama dengan kejahatan mafia narkoba, hanya bedanya tidak menimbulkan kecanduan pada pasien, tapi tetap saja itu sangat merugikan masyarakat.Kejahatan yang mereka lakukan terhadap publik juga sangatlah tertutup dan tidak mudah untuk dibongkar oleh penegak hukum karena dilindung oleh oknum-oknum yang bekerjasama dengannya. Oleh karena itu, masih agak susah untuk menindak lanjuti jaringan kelompok ini.
Bisa digambarkan bahwa pemilik, direksi, manager marketing perusahaan farmasi adalah oknum yang berperan sebagai produser, sutradara, perencana,inisiator dan pemburu lapangan untuk melakukan gratifikasi. Sedangkan, para pemilik, direksi dan dokter spesialis rumah sakit merupakan aktor pelaku utama dan pendukung dari kejahatan.
Obat-obatan yang berasal dari industri farmasi, distributor, sub-distributor, dan PBF (Pedagang Besar Farmasi), seharusnya tidak boleh langsung sampai ke tangan klinik, dokter, mantri, toko obat dan pribadi. Namun yang terjadi adalah obat-obat yang tidak memiliki izin edar tersebut diberikan kepada industri farmasi, distributor, sub-distributor, dan PBF.
Dimana oleh industri farmasi, distributor, sub-distributor, dan PBF obat-obat tersebut dibuatkan izin edar sehingga seolah-olah memang sejak awal memiliki izin edar, kemudian obat-obat ini diedarkan ke apotek dan rumah sakit, obat inilah yang disebut obat palsu. Peredaran obat palsu juga terjadi jika seseorang atau pribadi yang tidak berwenang dalam mendistribusikan obat, mengedarkan obat ke rumah sakit.
Oleh karena itu guru besar farmakologi dari Universitas Gajah Mada, Iwan Dwiprahasto, mengatakan ada sekitar dua ribu dokter dan 151 rumah sakit di Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan yang bersekongkol dengan perusahaan farmasi. Para dokter meresepkan obat untuk perusahaan farmasi yang menyuap senilai lima kali komisi yang mereka terima.
Bobroknya Perusahaan Farmasi
Iwan Dwiprahasto juga pernah mengatakan bahwa bisnis obat yang nilai keuntungannya sangat menggiurkan membuat banyak perusahaan – perusahaan farmasi yang berlomba memberikan hadiah kepada para dokter, guna memperlancar urusan mereka kedepannya. Dana yang biasanya dikeluarkan oleh perusahaan farmasi ini berkisar di angka 45% dari harga obat. Faktor itulah kenapa harga obat juga menjadi mahal, karena keuntungan obat harus bisa membiayai para dokter – dokter ini untuk senang-senang.
Karena persaingan bisnis yang ketat di dunia farmasi, hal kotor tersebut mau tidak mau harus dilakukan. Satu hal lagi yang mungkin masyarakat belum mengetahui, obat generik yang dengan mudah kita dapat itu adalah obat yang telah usai masa patennya. Karena farmasi lokal tidak melakukan riset obat, mereka tak punya produk paten, jadi obat generik itu pun diberi merek terkenal agar harganya menjadi lebih mahal. Jadi selama ini masyarakat banyak yang dibohongi oleh dokter-dokter atau pun perusahaan farmasiyang bekerja “nakal”.
Kolusi antara perusahaan farmasi dan dokter dalam membuat dan memberikan obat kemasyarakat telah mengkhianati kode etik Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang tidak membolehkan anggotanya menerima pemberian perusahaan farmasi.
Bagaimana Kinerja BPOM?
Maraknya bisnis kotor di dunia farmasi yang mengancam nyawa masyarakat ini sangat meresahkan. Entah bagaimana mereka bisa lolos tanpa tercium oleh pihak hukum yang berwenang. Seharusnya sudah kewajiban Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk menindak lanjut ulah para mafia obat ini.
Karena dalam Pasal 69 Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 tentang kewenangan BPOM, di butir 5 disebutkan bahwa salah satu kewenangan BPOM yaitu pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi. Jadi harusnya BPOM lebih tegas menghadapi para mafia obat ini, bisa dengan mencabut izin usahanya atau jika terjadi kasus suap bisa dilaporkan ke KPK atau polisi.
Jika terus dibiarkan praktik ini berjalan, maka masyarakat juga akan lebih banyak yang menjadi korban. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama di antara lini dalam dunia kesehatan ini. Melihat tidak ada ketegasan dan keberanian dari BPOM untuk menindak para mafia ini.
Oleh karena itu, harus segera dilakukan pembahasan antara asosiasi profesional kesehatan seperti IDI, PDGI, ISFI, dan PERSI. Asosiasi ini harus lebih berperan untuk mencegah dan memberikan sanksi kepada semua anggota yang menjadi pelaku mafia obat. Termasuk BPOM pun harus berani untuk bertindak tegas demi menyelamatkan konsumen kesehatan.
Selain itu, Kemenkes dan Konsil Kedokteran Indonesia juga harus melakukan sanksi administratif kepada dokter, dokter spesialis, direksi dan pemilik rumah sakit dengan mencabut ijin praktik dokter, dokter spesialis, dan dokter gigi. Juga jangan tempatkan para mafia obat tersebut dalam jajaran direksi dilembaga terkait.
Harus ada juga kerjasama dari KPK, Kepolisian dan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan terhadap mafia obat dan menjatuhkan hukuman yang setimpal bagi mereka yang terbukti bersalah melakukan mafia obat yang merugikan pasien dalam jumlah dana yang sangat besar.
Semua harus berintegrasi untuk membasmi jalannya praktik mafia obat ini, demi menyelamatkan nyawa masyarakat Indonesia. (A15)