Site icon PinterPolitik.com

Kaesang dan Kebebasan Berpendapat

(foto: Tirto)

“Mengada-ada” itulah kata yang meluncur dari Wakapolri Syarifuddin ketika ditanya mengapa pelaporan atas Kaesang tak dilanjutkan. Menghadapi keputusan kepolisian, sang pelapor lantas menunjukkan kekecewaannya dengan mendatangi Polres Bekasi dan berkata untuk tak membodohi masyarakat.


PinterPolitik.com

Muhammad Hidayat, lelaki berusia 52 tahun itu tak beranjak sedikit pun walau petugas sudah berusaha membuatnya pergi. “Saya datang ke sini untuk memastikan kabar adanya penghentian kasus itu. Jangan sampai masyarakat dibodohi atas kejadian ini,” katanya dengan nada tinggi saat berada di pintu Mapolrestra Bekasi.

Muhammad Hidayat (foto: istimewa)

Lelaki asal Tapanuli, Sumatera Utara itu juga mengaku merasa dilecehkan oleh institusi Polri karena laporannya terhadap Kaesang, putra bungsu Presiden Jokowi, dihentikan. Seperti yang sudah marak diberitakan, Hidayat melaporkan Kaesang Pangarep, vlogger sekaligus putra Jokowi, atas penodaan agama dan ujaran kebencian.

Ujaran kebencian yang dimaksud oleh Hidayat berada pada bagian ketika Kaesang menyebut kata ‘dasar ndeso’ dalam videonya berjudul #PapaMintaProyek. Di video berdurasi 2 menit 41 detik itu, Kaesang menyinggung soal oknum yang suka meminta proyek pemerintah atas dasar KKN. Setelahnya, Kaesang menyinggung soal pentingnya menjaga generasi muda dari hal-hal negatif melalui contoh video anak-anak yang ramai menyerukan ,”bunuh Ahok” yang viral.

Awalnya Hidayat memperkarakan Kaesang dengan pasal UU ITE dan hate speech atau ujaran kebencian. Ramainya laporan yang dibuat berdasarkan delik ujaran kebencian itu meramaikan kembali bagaimana pasal UU ITE yang hampir selalu menjadi dasar pijakan laporan ujaran kebencian di dunia maya,  tak menyelesaikan permasalahan apapun. Sebaliknya melahirkan sebuah hukum yang ambigu.

Tak Ada Tolak Ukur ‘Kebencian’

Walaupun pelaporan terhadap Kaesang Pangarep sudah resmi ditutup dan tak akan dilanjutkan, ia masih dapat disebut sebagai korban atas kerancuan memahami ujaran kebencian dan opini yang marak terjadi media sosial. Pemerintah bukannya tak bergeming dan berusaha mengurangi kerancuan delik ujaran kebencian, terutama di dunia maya.

Pada bulan Oktober 2015 lalu, Divisi Pembinaan dan Hukum Polri, sudah menyebarkan surat edaran dengan data SE/06/X/2015  yang menangani perbuatan ujaran kebencian agar tak memunculkan tindak kriminalisasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat empat poin intsruksi tindakan pencegahan yang harus dilakukan di kala terjadi persoalan terkait uaran kebencian. Empat instruksi tersebut antara lain:

  1. Setiap personil Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kebencian
  2. Personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejaa-gelaja di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana
  3. Setiap personel Polri melaoprkan ke pimpinan masng-masing terhadap situasi dan kondisi lingkungannya terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian
  4. Setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan antara lain, memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat.

Dalam surat edaran, dijelaskan pula bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, penghasutan dan penyebaran berita bohong.

Sayangnya, dalam surat edaran tersebut, tak ada penafsiran yang lebih spesifik dan sempit dalam memberikan petunjuk ujaran kebencian seperti apa yang seharusnya ditindak dan ditangani kepolisian. Seperti contohnya, ujaran kebencian yang tak lagi bisa dikategorikan sebagai kebebasan berpendapat adalah jika tindakan tersebut sudah termasuk ke dalam hasutan negatif, seperti membakar masjid, tempat ibadah, membunuh orang lain, dan lainnya.

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), pernah meminta Kepala kepolisian terdahulu, yakni Jenderal Badrodin Haiti untuk menangani kasus ujaran kebencian, “Kami mengapresiasi surat edaran tersebut sebagai langkah awal yang bagus dari Kepolisian Republik Indonesia. Namun, Kapolri mesti menurunkan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan bagaimana harus menangani hate speech terutama bagi polisi di daerah. Takutnya menyasar teman-teman yang selama ini menggunakan demonstrasi untuk mengkritik pemerintah,” ujar wakil Kontras, Krisbiantoro.

Kusbiantoro KontraS (foto: istimewa)

Ranah media sosial dan internet yang lekat dengan anonimitas, tak jarang membuat banyak ujaran kebencian bebas ditemukan, bahkan sebaliknya seseorang yang seharusnya tak dapat dihadapkan pada pengaduan ujaran kebencian, dapat terjerat tuduhan demikian.

Hukum yang tak jelas ini dan tak tegas ini, menyebabkan masyarakat asal melaporkan dan tak hati-hati dalam menyampaikan pendapat, “Makanya sekarang itu (kasus ujaran kebenican), harus menjadi bagian penting dari pendidikan masyarakat. Jangan mudah mempercayai informasi. Sosialisasi UU ITE diperlukan dan negara bertanggung jawab kepada masyarakat untuk memberi pemahaman agar tak menggunakan teknologi dengan merugikan orang lain,” tutupnya.

Para Korban Pasal Karet

Akibat tak adanya pemahaman yang spesifik dan tegas, korban banyak berjatuhan akibat tuduhan ujaran kebencian. Kaesang adalah korban kesekian yang tersangkut laporan atas ujaran kebencian. Beberapa bahkan sempat mesuk ke dalam jeruji besi atas tuduhan ujaran kebencian dan UU ITE, seperti halnya Kaesang Pangarep.

Berbeda dengan Kaesang yang memiliki ‘kekuatan’ untuk lepas dari jerat penodaan dan ujaran kebencian, penduduk sipil lainnya yang mengalami kasus serupa harus menjalani hukuman penjara. Selain kedekatan dengan ‘kekuatan’, tekanan dari masyarakat juga menjadi bahan bakar suatu kasus ujaran kebencian tanpa bukti yang valid, bisa dilanjutkan.

Prita Mulyasari (foto: istimewa)

Contohnya, tahun 2008, lalu seorang perempuan bernama Prita harus dikurung selama enam bulan karena menulis surat elektronik (email) berisi keluhan terkait layanan RS Omni Internasional Internasional Tangerang kepada teman-temannya. Pihak RS Omni mengambil langkah hukum menjeratnya dengan pasal pencemaran nama baik UU ITE.

Sedangkan mantan aktivis mahasiswa Universitas Hasanuddin, M Arsyad ditahan dan mencicipi lantai penjara di tahun 2013. Ia dilaporkan Abdul Wahab, orang dekat Nurdin Halid, atas tuduhan penghinaan melalui media sosial. Arsyad menulis di status BlackBerry Messenger (BBM), “No Fear Nurdin Halid Koruptor!! Jangan pilih adik koruptor!!!”

Sedangkan hal yang menimpa pejabat, adalah Ahok. Akibat tekanan masyarakat yang begitu kuat dan masif, Ahok dapat diturunkan dari posisi Gubernur Jakarta dan mendekam di penjara saat ini.

Posisi kepolisian menetapkan pasal ujaran kebencian, terutama bagi masyarakat yang kritis pada pemerintah juga patut diperhitungkan, karena suatu kritik yang serius tidak hanya bertujuan memaki atau mencoreng nama seseorang, ia bisa menjadi sebuah masukan. Jka semua dipukul rata, dan tak masih tak ada definisi yang spesifik, pasal ujaran kebencian atau hate speech,yang dipukul rata oleh polisi, tak menutup kemungkinan hanya akan menjadi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. (Beragai Sumber/A27)

Exit mobile version