Beberapa hari lalu, kericuhan kembali terjadi di daerah Timur Tengah. Yerusalem, kota berdirinya Masjid Al-Aqsa, menjadi sebuah lokasi panas yang menelan korban jiwa, baik dari pihak Palestina maupun Israel. Apakah ketegangan ini sengaja ‘dimunculkan’ kembali demi keuntungan kelompok tertentu?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]M[/dropcap]erespon ketegangan yang terjadi Jumat, 14 Juli 2017 lalu, beberapa negara sudah menyatakan sikapnya. Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri, mengecam serangan yang dilakukan pihak Israel di kompleks Al-Aqsa. Sementara Presiden Amerika, Donald Trump, sudah mengirim Jason Greenbatt, sebagai utusan perdamaian ke Israel. Reaksi internasional tersebut, membuat Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, akhirnya mencabut semua detektor logam yang dipasang di kawasan suci kompleks Haram al-Sharif sejak bentrokan 14 Juli 2017 lalu.
Pencabutan detektor logam tersebut ternyata tak serta merta membuat warga Palestina tenang, sebab Netanyahu masih memasang kamera pengintai di Al-Aqsa. “Di atas segalanya, ini adalah masalah kontrol dan kekuasaan. Seolah-olah mereka ingin memantau orang-orang Palestina lewat kamera,” ucap seorang aktivis Palestina, seperti yang dilansir dari Al Jazeera.
Tak hanya aktivis, para ahli dan pengamat menilai, pemasangan kamera pengintai merupakan bentuk ancaman lebih besar kepada minoritas Palestina yang tinggal di Yerusalem. “Kamera-kamera ini bisa mendeteksi wajah dan identitas, ini berarti bahwa Israel mengontrol penuh atas wilayah al Harm al Sharif. Peran Yordania sebagai ‘penjaga’ Palestina juga telah disingkirkan,” jelas Khalil Shaheen, analis politik Timur Tengah.
Al Aqsa, Kawasan Suci Rawan Konflik
Al Aqsa berdiri di Kota Yerusalem, yang juga disebut sebagai salah satu kota tertua di dunia. Ia terletak di dataran tinggi Pegunungan Yudea, antara Laut Tengah dan Laut Mati. Yerusalem, begitu pula Al Aqsa, menjadi kota suci bagi tiga agama monoteistik, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi.
Ketiga agama ini, mempunyai pandangan dan dogma masing-masing terhadap kompleks Haram al Sharif, sebagai lokasi berlangsungnya peristiwa penting bagi ketiga agama tersebut. Bagi umat Islam, Masjid Al-Aqsa merupakan sebuah Tugu Batu yang didirikan Nabi Yaqub AS. Dalam hadis Ahmad dan Abu Darda, jika seorang Muslim shalat di Masjid Al-Aqsa, ia akan diganjar dengan pahala 500 kali lipat.
Bagi orang Yahudi, kompleks yang sama juga mejadi tempat peribadatan kuno nan suci mereka. Ia adalah titik berkumpulnya warga Yahudi sekaligus menjadi simbol kerinduan terhadap tanah air. Sementara bagi umar Kristiani, lokasi yang terletak di Yerusalem itu, adalah saksi sejarah perjalanan Yesus, mulai dari penyaliban, kematian, dan kebangkitannya. Di Yeruslem, Gereja Makam Kudus juga terletak di sana.
Untuk memasuki daerah kedaulatan Israel ini, penjagaan gerbang, sekolah, dan kegiatan peribadatan, diatur oleh panitia independen bernama Waqf. Pengaturan ini selanjutnya menjadi sebuah status quo yang terjewantahkan dalam administrasi dan undang-undang. Ir. Amin, salah satu panitia Waqf menjelaskan, mengontrol gerbang merupakan bentuk adalah satu tugas esensial mereka dalam menjaga status quo selama 50 tahun ini. Sementara itu, pihak Israel hanya bertugas berpatroli saja, tak berhak mengendalikan, apalagi mengubah kompleks beralih menjadi fungsi lain.
Kolonialisme Israel dan ‘Barat’ di Belakangnya
Yerusalem tak hanya menjadi simbol keagamaan saja, namun ia juga bentuk dari keangkuhan pemerintah dan militer Israel untuk menduduki kekuasaan di ‘Tanah yang Dijanjikan’ atau The Promised Land. Pendudukan Israel di Palestina yang sudah dinyatakan ilegal oleh Pengadilan Internasional, tak membuat Israel bergeming. Ppendudukan Israel disebut Al Jazeera sebagai sebuah bentuk kolonialisme.
Lebih jauh, Al Jazeera juga menyebut bahwa dogma agama menjadi kedok untuk membalut wujud kolonialisme yang dilakukan dengan terus mengurangi populasi rakyat Palestina di Yerusalem secara bertahap. Israel, bersama dengan beberapa kelompok politiknya, terus menghalangi rakyat Palestina memperoleh hak-hak kenegaraan dan kemerdekaannya.
Menurut peneliti Timur Tengah, Hanine Hasan, walaupun Uni Eropa sudah berkali-kali ‘melaknat’ kolonialisme Israel, nyatanya secara diam-diam Uni Eropa memberlakukan sistem pemerintahan yang menguntungkan Israel. Uni Eropa juga telah gagal menetapkan pembatasan perdagangan bagi sang mitra, yaitu Israel.
Selain itu, keadilan tidak nampak ketika berhadapan dengan pelaku kekerasan dan pembunuhan warga Palestina. Tak satu pun pelaku tersebut yang ditangkap, dicari, atau diadili, mulai dari pembunuh Laith Khalidi, Majdi al-Muhtaseb, hingga Einas Khalil.
Tidak ditangkapnya pelaku kejahatan tersebut semakin membuat rakyat Palestina tercerabut dari tubuh, tanah, dan kehidupannya. Kedudukan Israel yang kuat serta semakin masifnya kekerasan yang terjadi pada rakyat Palestina, merupakan perpaduan kekuatan ‘Barat’ yang diwakili oleh Uni Eropa dengan penerapan kebijakan diplomatiknya, serta Amerika Serikat sebagai fasilitator senjata. Mereka memiliki andil dalam tindakan terorisme yang terjadi pada rakyat Palestina yang menyerang orang-orang Israel.
Sengaja Memantik Friksi?
Ketegangan di Al-Aqsa muncul saat kelompok ISIS menemui masa-masa terlemahnya. Kota Mosul di Irak yang diduduki ISIS sejak 2014 lalu, berhasil dibebaskan dan para tentara ISIS satu persatu meninggalkan kota tersebut. Bahkan warga negara lain yang berduyun-duyun datang sebagai anggota ISIS, sudah mulai kembali ke tanah air masing-masing. Hal yang sama juga terjadi pada Aleppo, di Suriah. Aleppo secara perlahan mulai terbangun kembali setelah mengalami kehancuran akibat perang.
The city of Aleppo is rebuilding after suffering some of the worst violence in the Syrian war. pic.twitter.com/Lo6eqcXaR7
— AJ+ (@ajplus) July 28, 2017
Hal ini tentu menimbulkan kecurigaan akan kesengajaan friksi yang dimunculkan di Al-Aqsa menyusul kejatuhan ISIS. Peperangan yang tak habis melanda Timur Tengah, baik yang melanda Irak, Palestina, Suriah, tentu mendatangkan keuntungan besar bagi kelompok tertentu.
Konflik Suriah dan Irak mendatangkan pundi-pundi emas bagi ISIS dan para donaturnya yaitu Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Melalui perdagangan minyak, penarikan pajak, perdagangan budak perempuan, hingga penyendaraan wanita, mereka memperoleh keuntungan hingga mencapai 1,5 miliar dolar sampai 2 miliar dolar di tahun 2015. Bisnis konflik ini, tentu saja tak hanya melibatkan negara Timur Tengah, namun juga negara ‘Barat’ lain. ISIS mendapat suplai senjata dari Amerika Serikat, sehingga negara tersebut memperoleh keuntungan tinggi dari penjualan senjata.
Perpecahan yang terjadi di Al-Aqsa, tak menutup kemungkinan membuka peluang bisnis konflik baru yang tak kalah menggiurkan, dengan mengusung jargon lama, yakni agama, sebagai ‘jualannya’. Israel yang secara kasat mata didukung oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat, memiliki kekuatan untuk menguras dan mengkooptasi wilayah Palestina. Uni Eropa akan berjalan dengan kebijakan diplomatik yang memudahkan Israel, dan Amerika akan mendukungnya dengan persenjataan.
Dengan demikian, bisa disimpulkan jika Yerusalem sebagai kota suci yang rawan konflik antara Israel dan Palestina, juga memiliki potensi sebagai ladang bisnis konflik yang akan menguntungkan bagi Amerika Serikat, Uni Eropa, serta Israel. Sementara di tengah berlangsungnya bisnis tersebut, baik rakyat kecil Palestina dan Israel, jatuh di tengah-tengah bagai pelanduk. (Berbagai Sumber/A27)