Indonesia – Malaysia ‘panas’ lagi. Kali ini, posisi bendera Indonesia yang dipasang terbalik pada buku suvenir South East Asean (SEA) Games 2017 Malaysia, mengundang luapan protes dan kemarahan netizen Indonesia karena dianggap ‘menghina’ simbol negara. Apa benar Malaysia meremehkan Indonesia dengan cara demikian?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]I[/dropcap]nsiden ‘bendera terbalik’ pada SEA Games 2017 ini, menambah daftar panjang perselisihan antara Indonesia dan Malaysia yang timbul – tenggelam sejak dulu. Kejadian ini bahkan menarik Kementerian Luar Negeri Malaysia, menyampaikan pemohonan maaf dan berkilah insiden terjadi tanpa disengaja.
Berbeda dengan sebagian besar reaksi publik, Presiden Joko Widodo terlihat adem ayem dan tak memusingkan insiden bendera terbalik’ tersebut. Desakan untuk ‘menekan’ Malaysia secara diplomatik, disambut penerimaan maaf Jokowi untuk Malaysia. “Ya, yang penting kan pemerintah Malaysia secara resmi meminta maaf,” kata Johan Budi Saptopribowo, salah satu staf khusus Presiden bidang komunikasi.
Walaupun kericuhan sudah mereda, peristiwa ‘bendera terbalik’ ini tentunya menyimpan nilai dan simbol politis tertentu. Dari peristiwa ini, posisi Indonesia dalam ASEAN bisa diteropong dan dimaknai.
Wibawa Sang ‘Kakak’ Dalam Foto
Seperti yang diketahui bersama, insiden ‘bendera terbalik’ terjadi di tengah perhelatan SEA Games 2017. Ajang ini diikuti oleh 10 negara Asia Tenggara yang juga anggota ASEAN, di antaranya adalah, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunnei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.
Posisi Indonesia di ASEAN memang mengambang. Ia pernah menjadi sosok ‘kakak’ bagi negara-negara Asia Tenggara lain pada masa awal pembentukan ASEAN di tahun 1967. Namun kini, kewibawaan Indonesia di mata ASEAN, tak secerah di masa awal pembentukannya. Saat ini mungkin bisa saja Indonesia diremehkan oleh saudara-saudaranya di ASEAN.
Indonesia pernah menyandang julukan ‘Macan Asia’ ketika dipimpin oleh Soeharto. Bersama dengan Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, Indonesia membangun ASEAN sebagai cara mengantisipasi kekuatan Amerika Serikat yang dominan. Karena kontribusi Indonesia pula, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat membantu negara-negara Asia Tenggara memperoleh kemerdekaannya.
Penghormatan ASEAN terhadap Indonesia, secara simbolik, dapat dilihat dari foto-foto pertemuan ASEAN Summit tiap tahunnya. Secara teoritis, seseorang yang dianggap memiliki kekuatan dan pengaruh besar, akan diposisikan di tengah atau berada di samping tuan rumah dalam formasi foto. Posisi tersebut merupakan bentuk penghormatan tuan rumah serta penyelenggara ASEAN terhadap seseorang atau negara yang dinilainya kuat dalam suatu komunitas. Semakin pinggir posisi atau semakin jauh dari posisi seseorang dari tuan rumah, maka kepentingannya semakin tak diperhitungkan.
Perwakilan Indonesia, sepanjang sejarah formasi foto ASEAN, menempati posisi tengah saat dipimpin Presiden Soeharto. Ia biasa berdiri di samping atau diapit pendiri lainnya dalam formasi. Foto di bawah ini merupakan gambar yang diambil saat ASEAN Summit di tahun 1996.
Soeharto juga menempati posisi utama bersama dengan keempat negara pendiri ASEAN lainnya, yakni Perdana Menteri Husein Onn dari Malaysia, Lee Kuan Yew dari Singapura, Presiden Marcos dari Filipina, dan Perdana Menteri Pramoj dari Thailand. Di antara negara pendiri ASEAN, Soeharto berdiri di tengah sebagai tuan rumah sekaligus pemimpin yang berwibawa dan disegani sebagai salah satu pemimpin dan pendiri ASEAN.
Sementara Presiden Jokowi yang saat ini memimpin Indonesia, dalam pergelaran ASEAN 2017 di Filipina 26 – 29 April 2017 lalu, menempati posisi kedua dari ujung kanan, diapit di sebelah kiri oleh Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen dan Perdana Menteri Laos Thongloun Sisoulith. Sementara berdiri di samping Duterte sang tuan rumah, adalah Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong dan Presiden Vietnam, Nguyen Xuan Phuc.
Dalam foto di atas, secara simbolik, posisi Indonesia tak lebih kuat bila dibandingkan dengan Singapura dan juga Brunnei Darussalam yang berdiri dekat dengan Duterte, si tuan rumah. Bahkan, tak juga lebih kuat bila dibandingkan dengan Vietnam yang berada tepat di kiri Duterte. Sama halnya seperti Laos dan Kamboja, posisi Indonesia tak terlalu diperhitungkan dan dianggap penting di hadapan penyelenggara ASEAN seperti halnya ketika dipimpin oleh Soeharto dahulu. Sedangkan pada pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, posisi foto Indonesia juga berusaha berada di tengah formasi foto.
Selain formasi foto, urutan kedatangan menuju ballroom atau ruang pertemuan sebelum upacara pembukaan dimulai, juga menentukan kepentingan suatu negara dan wakilnya. Pada ASEAN 2016 yang bertempat di Laos, Indonesia menempati urutan kelima untuk masuk ke dalam arena acara setelah Kamboja dan menduduki kursi (lagi-lagi) di sayap terpinggir sebelah kanan. Sementara itu, duduk di sebelah Presiden Laos, adalah Duterte dari Filipina sebagai tuan rumah ASEAN Summit selanjutnya, dan Presiden Vietnam di sebelah kiri.
Contoh lain kekuatan formasi foto bisa dilihat pula pada formasi foto para pemimpin G-20 yang berlangsung di Jerman pada 7 – 8 Juli 2017 lalu. Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, negara adidaya terbesar di dunia bahkan berada di sebelah kiri formasi foto dan sangat jauh dari Angela Merkel, sang tuan rumah. Pada tahun sebelumnya, Amerika Serikat yang diwakili Barack Obama, selalu berdiri di tengah dan dekat dengan tuan rumah.
Namun tahun ini, pemimpin dari negara ‘terkuat’ yang diwakili Donald Trump itu, diletakan jauh di sayap sebelah kiri. Posisi ini secara simbolis menampilkan posisi Donald Trump yang secara personal dan politik tak dianggap penting oleh Angela Markel dan pihak penyelenggara G-20 2017. Di sisi tersebut, Trump berdiri tepat di sebelah Presiden Jokowi.
Sementara Presiden Perancis, Emmanuel Macron, yang berdiri di samping Donald Trump itu entah atas alasan apa, berpindah dari posisi awalnya di belakang Markel. Keberadaan Macron di sayap kiri terluar formasi foto, tak bisa disamakan dengan ‘peletakan’ Trump dan Jokowi di bagian tersebut.
Jokowi, Tak Ada Kekuatan Personalitas dan Posisi?
Posisi seseorang dalam sesi foto secara simbolik terbukti memiliki arti mendalam dan layak diperhatikan. Posisi Presiden Jokowi yang hampir selalu berada di sayap pinggir dalam tiap pertemuan internasional, baik dalam tingkat ASEAN maupun G-20, mengartikan posisi Indonesia dan wakilnya yang ternyata tak terlalu diperhitungkan.
Presiden Jokowi secara simbolis bisa dipandang bukan sosok kuat dan cakap ketika berhadapan dengan masyarakat dan juga kolega internasionalnya. Posisi ‘pinggir’ yang selalu didapatkannya dalam pertemuan antar negara, tentu sudah dievaluasi dan dipertimbangkan oleh penyelenggara dan juga negara yang terlibat. Evaluasi tentunya juga sudah dipikirkan masak-masak berdasarkan kebijakan politik dan keadaan negara yang dipimpinnya.
Peristiwa Aksi Bela Agama yang terjadi beberapa waktu lalu dan kurangnya kecakapan Presiden berbicara bahasa Inggris serta membawa diri di hadapan pemimpin luar negeri, merupakan batu-batu kerikil yang membuat ‘wibawa’ sang Presiden menciut dalam acara internasional. Ia bisa saja dianggap tak mampu mengendalikan rakyat, selain tentunya tak ditakuti rakyatnya. Hal yang berbeda dialami mantan Presiden Soeharto ketika menyambangi acara internasional seperti ASEAN. Ia akan dipastikan berdampingan dengan Lee Kuan Yew serta pendiri ASEAN lainnya yang dianggap kuat dan berpengaruh di negaranya.
Sebagai seorang presiden yang kerap bermain-main dengan simbol, Jokowi pasti sadar jika insiden ‘bendera terbalik’ pada buku suvenir SEA Games merupakan sebuah kode penghinaan Malaysia terhadap Indonesia. Presiden sadar betul bendera sengaja diputar sedemikian rupa untuk memantik asap perselisihan Malaysia dan Indonesia yang reda-namun mudah tersulut. Dengan demikian, apakah sikap penerimaan maaf Jokowi terhadap Malaysia, turut membuka simbol jikalau ia memang bukanlah ‘siapa-siapa’ dan tak cukup kuat, baik posisi dan personalnya, di dunia internasional? Berikan pendapatmu (Berbagai Sumber/A27)