Google diketahui telah menolak pemeriksaan perpajakan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Perusahaan multinasional itu juga menolak mendirikan badan usaha tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak di Indonesia. Google belum memberikan respons detail atas hal ini. Namun PT Google Indonesia mengklaim telah mengikuti semua aturan yang ditetapkan pemerintah.
pinterpolitik.com – Rabu, 11 Januari 2017.
JAKARTA – Inggris, Italia, Spanyol, Perancis dan Australia merupakan beberapa negara yang pernah mengejar Google dalam hal ketiaktaatan terhadap peraturan perpajakan. Di Indonesia, Google sudah terdaftar sebagai wajib pajak penanaman modal asing di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Tanah Abang, dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Google Singapore Pte Ltd sejak 15 September 2011, maka asumsi pajak yang belum disetor Google ke pemerintah selama lima tahun adalah Rp2,75 triliun. Karena hal tersebut, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencoba melakukan berbagai cara untuk memproses Google. Namun hasilnya mentok. Maka, DJP Kemenkeu menghentikan proses negosiasi atau jalan damai yang dikenal dengan nama tax settlement (nilai tawaran penyelesaian tunggakan pajak) untuk Google dalam penyelesaian masalah kasus tunggakan pajak. Jika tidak ada itikad baik untuk membayar utang pajak, sanksi perusahaan internet raksasa asal Amerika Serikat (AS) akan berlipat ganda menjadi 400 persen, bahkan ancaman lain dijebloskan ke penjara.
Pada fase ini, Ditjen Pajak mengenakan sanksi bunga kepada Google 150 persen. Itu artinya, Google harus membayar utang pokok pajak plus sanksi bunga 150 persen dari utang pajak selama 5 tahun terakhir yang mencapai lebih dari Rp 5 triliun. Perhitungan ini sesuai dengan UU KUP. Jika sudah melalui proses ini saja buntu, maka Ditjen Pajak wajib menaikkan statusnya menjadi tahapan Investigasi. Yaitu dimana Google, khususnya Google Indonesia secara wajib harus mau diperiksa (diaudit) lebih mendlaam terkait data-data perusahaan yang ada di Indonesia utuk disesuaikan.
Baru-baru ini pihak Google berjanji melaporkan pembukuan atau keuangan dalam bentuk data elektronik. Selama ini laporan keuangan yang diterima Ditjen Pajak dari Google dalam bentuk tertulis. Laporan keuangan tertulis ini pun diduga tidak seluruhnya mencantumkan pendapatan usaha Google di Indonesia. Bahkan pihak Google dapat diseret ke penjara apabila tetap tidak mau memenuhi kewajibannya. Hal ini akan mencoreng citra Google di mata dunia. Dalam hal ini diharapkan Google dapat bersikap kooperatif menunaikan kewajibannya membayar utang pajak dan sanksi bunga serta memberikan data laporan keuangan secara menyeluruh sesuai ketentuan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam hal ini, bagaimanapun juga Google harus bersikap kooperatif karena Indonesia memiliki aturan baku tentang perpajakan yang ada di Indonesia. Berbicara masalah Hukum Pajak, khususnya Hukum Pajak Internasional Indonesia secara umum dapat dikatakan berlaku terbatas hanya pada subjeknya dan objeknya yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap orang atau badan yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak akan dikenakan pajak berdasarkan UU Indonesia. Namun demikian, Hukum Pajak Internasional dapat berkaitan dengan subjek maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan yang erat dalam hal terdapat hubungan ekonomis atau hubungan kenegaraan dengan Indonesia.
UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa terhadap WP luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia antara lain berupa bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, akan dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto. Pasal ini menunjukkan bahwa contoh adanya hubungan ekonomis antara orang asing dengan penghasilan yang diperoleh di Indonesia.
Dalam hukum antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur kepentingan-kepentingan rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar negara dan bebas dari pengaruh kekuasaan negara lain. Sesuai dengan asas yang dimaksud di muak, maka kedaulatan pemajakan sebagai spesial dari gengsi kedaulatan negera dapat dinyatakan sebagai kedaulatan suatu negara untuk bertindak merdeka dalam lapangan pajak.
Sehubungan dengan penjelasan peraturan pajak tersebut, Google sebagai perusahaan asing yang melakukan usahana di Indonesia wajib menaati aturan yang ada. Padahal dengan mengikuti peraruan pajak di Indonesia, sebenarnya lebih mudah penghitungannya dikarenakan Google merupakan Subjek Pajak Luar Negeri, dimana yang dihitung hanya yang bersifat final, namun tetap menjunjug tinggi keakuratan dan kejujuran dari subjek pajak itu sendiri. Secara pengetiannya, Subjek Pajak Luar Negeri adalah Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari selama jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan sekaligus merpakan wajib pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Wajib pajak luar negeri atau WPLN hanya akan dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima tau diperoleh bersumber dari Indonesia saja. Pasal 26 UU PPh mengatur tentang potongan pajak sebesar 20% atas penghasilan wajib pajak luar negeri. WPLN dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia, WPLN dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif sepadan, WPLN tidak wajib menyampaikan SPT PPh karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Secara sejarah bisnisnya, Google beroperasi di Indonesia sejak tahun 2011 dan Google sama sekali tidak membayar pajak ke Indonesia. Pada 2015, omzetnya sekitar Rp 6 triliun. Berdasarkan Pasal 29 Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), DJP berhak memeriksa semua usaha di Indonesia. Dalam Pasal 39 disebutkan, menolak pemeriksaan diancam hukuman pidana. Pada tahap pemeriksaan terhadap bukti permulaan, Google diharuskan membayar pajak terutang dan sanksi. Sanksinya sebesar 150 persen dari pajak terutang. Sementara jika sudah masuk proses hukum di pengadilan, ancaman hukumannya adalah penjara minimal 6 bulan sampai dengan 6 tahun penjara. (y10)