Lebaran masih basah menghampiri, umat Muslim masih sibuk berkumpul bersama handai taulan, namun di belahan Jakarta lainnya, sebuah pertemuan ‘menarik’ terjadi. Presiden Jokowi menerima Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) berdialog di Istana Merdeka pada Minggu (25/6) lalu. Apa sebab?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]D[/dropcap]i Ruang Oval Istana Merdeka, Presiden Jokowi terlihat diapit oleh Menkopolhukam Wiranto di sisi kanan dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di sisi kirinya. Sementara di hadapan mereka, berjejer tujuh pemuda yang masing – masing adalah Yusuf Muhammad Martak, Dewan Pengawas GNPF MUI, serta ketuanya Bachtiar Nasir, Wakil Ketua Zaitun Rusmin, juru bicara Kapitra Ampera, serta Habib Muchsin dan Lutfi Hakim, serta dua lainnya.
Tujuh pemuda ini, datang dari GNPF MUI dan FPI, dua organisasi masyarakat yang beberapa bulan terakhir nyaring terdengar sepak terjangnya. Kritik terhadap Presien Jokowi serta kasus penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang tertuang dalam berbagai protes dan unjuk rasa, contohnya.
Namun, pertemuan itu tak lagi membahas Ahok yang saat ini sudah mendekam di penjara. Beranjak ke persoalan lain, sang Wakil Ketua GNPF MUI, Zaitun Rusmin mengatakan jika pertemuan perdananya dengan Presiden ini, adalah langkahnya awal rekonsiliasi. Rekonsiliasi dalam hal apa?
“Ingin memperbaki kondisi, silaturahmi, meningkatkan komunikasi. Itu kan ke arah sana, ke arah rekonsiliasi,” jelasnya.
Pernyataan Zaitun langsung saja ditimpali oleh sang ketua GNPF MUI, Bachtiar Nasir,”Kami ingin menyampaikan pesan, dalam proses menyelesaikan masalah itu harus lewat dialog, lewat silaturahmi, membuka hati dan membuka diri dalam menerima masukan-masukan,” ujar Bachtiar.
Rekonsiliasi yang dimaksudkan oleh pentolan GNPF MUI ini memang perlu diluruskan, karena tak jelas rekonsiliasi yang diharapkannya. Entah dalam konteks spesifik apa, rekonsiliasi harus dilakukan dan dicapai. Hal senada turut diungkapkan pengamat politik Center for Strategic and International Studies (CSIS), J. Kristiadi. Menurutnya, pengetahuan GNPF MUI terhadap rekonsiliasi pun tak diketahui, “Saya enggak tahu sampai tingkat apa pengetahuan mereka itu tenang rekonsiliasi. Oleh karena itu, publik seharusnya mendorong ke arah rekonsiliasi yang sebenarnya,” lanjutnya.
Lantas, apa pula yang dianggap sebagai rekonsiliasi tersebut? Kristiadi kembali menjelaskan jika rekonsiliasi memiliki unsur saling mengampuni sekaligus memperbaharui kesadaran akan nilai yang selama ini dipaksakan untuk berlaku. “Harus ada saling mengampuni dan juga memperbarui kesadaran. Hal yang tidak sadar apa? Misalnya menggunakan sentimen primordial untuk tujuan politik. Itu berbahaya sekali,” jelasnya.
Seperti yang kita ketahui bersama, gerakan GNPF MUI dan FPI, sangat lekat dan berpengaruh, hingga mampu menggerakkan ratusan hingga jutaan orang turun ke jalanan memprotes penodaan agama yang dilakoni Ahok. Tetapi, gerakan yang dilahirkan atas sentimen primordial, yakni mayoritas umat Islam, sama sekali tak bisa dibenarkan apalagi didukung secara politik. Lebih jauh, hal ini hanya akan menyuburkan rasisme yang sudah kepalang tumbuh pesat.
Sementara itu Bachtiar Nasir menyatakan, pertemuan dengan Presiden, menyiratkan pesan penting untuk seluruh rakyat Indonesia, “Kami ingin menyampaikan pesan, dalam proses menyelesaikan masalah itu harus lewat dialog, lewat silaturahmi, membuka hati dan membuka diri dalam menerima masukan-masukan.” Pria yang pernah berseloroh agar Indonesia mencontek sistem afirmatif kepada pribumi seperti Malaysia ini, bahkan sempat menyatakan mengidamkan Indonesia yang damai, bersatu, kuat sekaligus berdaulat.
Jika rekonsiliasi yang dimaksudkan benar lurus adanya, maka tak ada salahnya menyambut baik gagasan tesebut dengan menindaklanjuti kesepakatan teknis satu sama lain. Seperti yang disampaikan Kristiadi, “pakai saja acuannya GNPF MUI soal kita akan menyusun suatu tata negara NKRI yang lebih utuh. Itu yang harus ditindaklanjuti sekarang. Itu kemajuan yang luar biasa. Dengan begitu, rekonsiliasi ke arah sejati. Tapi, juga jangan kemudian itu jadi hanya sebagai retorika semata,” lanjut Kristiadi lagi.
GNPF MUI, Ambisi Menggulingkan Pemerintahan?
Siapa yang tak akrab mendengar nama GNPF MUI? Sejak berhasil mengelar Aksi 4 November atau Aksi 411 dan Aksi 2 Desember atau 212, yang gagap gempita dan diikuti massa sangat banyak, namanya melambung dan meroket tajam.
Organisasi yang baru didirikan delapan bulan lalu ini diakui lahir atas spontanitas dan tanpa agenda khusus. Bachtiar berseloroh, ormasnya muncul, murni untuk mengawal fatwa MUI terkait kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. “Demi Allah, saya selalu ditanya, Bachtiar Nasir sebagai Ketua GNPF MUI dan Habib Rizieq sebagai Pembina GNPF, apa, sih grand design-nya? Saya bocorin, nggak ada,” jelasnya pada suatu kesempatan di tahun 2016 lalu.
Kelahiran GNPF MUI memang lahir atas kasus penistaan agama, terutama ketika MUI meluncurkan pernyataan bertajuk “Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI” pada 11 Oktober 2016 dan ditandatangani oleh Ketua Umum MUI, KH. Ma’ruf Amin. Di dalamnya MUI menekankan larangan bagi umat Islam memilih pemimpin Yahudi dan Nasrani.
Sang ketua sendiri, Bachtiar Nasir, adalah pemimpin Ar-Rahman Qur’anic Learning (AQL) Islamic Center dan juga seorang ustadz kondang tanah air. Ia bekerjasama dengan Rizieq Shihab membidani kelahiran GNPF MUI, dan mendaulat ulama yang saat ini sedang dikejar kepolisian Indonesia sebagai Ketua Dewan Pembina.
Menyoroti sepak terjang GNPF MUI, kelompok ini memang sejak dulu memiliki agenda bertolak dengan kebijakan dan sikap pemerintah. Bahkan, GNPF MUI sempat menyebut ingin me-Mesir-kan Indonesia. “Kalau saya terburu-buru dan punya ambisi kekuasaan dan ambisi politik, kalau GNPF MUI punya ambisi itu, mungkin saat ini bisa kita Mesirkan Indonesia,” kata sang ketua, Bachtiar.
Selain pernyataan kontroversial ketuanya itu, GNPF MUI juga tersangkut tudingan makar dan usaha pemakzulan presiden Jokowi. Pernyataan tersebut dikeluarkan oleh Kapolri Jendra Tito Karnavian pada saat GNPF MUI melancarkan Aksi pada 2 Desember tahun 2016 lalu.
Tentu saja hal itu dibantah oleh Bachtiar Nasir, menurutnya perjuangan GNPF MUI adalah jihad konstitusional dan tak terkait dengan upaya rusuh apalagi berbuat makar. Bachtiar berseloroh jika pihaknya tidak memiliki ambisi demikian.
Bertemu Presiden, Berkat Wiranto
Bagaimana pun kuatnya hempasan sepak terjang GNPF MUI, tentu pertemuan 30 menit bersama Presiden Jokowi tak dapat terjadi begitu saja tanpa campur tangan orang dalam pemerintahan.
Adalah Wiranto, sosok utama yang disebut menghubungkan dan membuka komunikasi GNPF MUI dengan Presdien Jokowi. Purnawirawan jendral bintang empat itu adalah tokoh yang langsung menemui GNPF MUI dan Habib Rizieq pada Aksi Bela Islam 411, selain Jusuf Kalla. Saat itu, baik GNPF MUI dan Rizieq, ingin melakukan berdialog dengan Jokowi, namun sayangnya tak bisa.
Pintu terbuka tatkala GNPF MUI datang beberapa kali ke kediamannya untuk menyelesaikan kasus hukum sejumlah aktivis dan ulama, termasuk di dalamnya Rizieq yang menjadi tersangka dalam kasus pornografi.
Posisi Wiranto yang sangat penting di pemerintahan inilah, yang mampu menggerakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan menghasilkan pertemuan dengan Presiden dan Menteri Sekretaris Negara, Pratikno.
Bachtiar sendiri mengakui jika dialog bersama Jokowi terwujud berkat Wiranto. “Jadi malam terakhir (bulan puasa), kami duduk dengan Menko Polhukam, lalu ke Menag. Paginya komunikasi ke Presiden,” katanya saat Konferensi Pers di AQL Islamic Center Tebet.
Campur tangan Wiranto memang berkorelasi dengan hubungan baik dirinya dengan Imam Besar FPI, Habib Rizieq. Wiranto tak menyangkal jika Rizieq menempati kesan dalam hatinya, “Saya kira waktu itu secara faktual kami bersama-sama ikut mengamankan negeri ini agar tetap selamat dari gelombang menurunnya ekonomi dunia, dan kemudian disusul gerakan Reformasi yang luar biasa waktu itu.” Wiranto juga mengklaim sudah mengenal Rizieq sebelum tahun 2000 karena sama-sama berjuang dan prihatin dengan keadaan Indonesia di akhir masa Orde Baru. Seperti yang diketahui bersama, GNPF MUI menempatkan Rizieq sebagai Pembina GNPF MUI. Rizieq sendiri juga memantau pertemuan tersebut, serta turut melontarkan rasa terima kasih terhadap usaha yang dilakukan GNPF MUI.
Oleh pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedillah Badrun, pertemuan GNPF MUI dengan Jokowi, menunjukan peran penting Wiranto. Ia memang memiliki jejak sejarah dalam perpolitikan nasional yang tak bisa dianggap enteng. Bisa dikatakan, ketahanan organisasi masyarakat seperti GNPF MUI dan FPI, dapat bertahan lama jika mereka memelihara komunikasi dan dialog dengan Wiranto, bukan dengan Kapolri atau bahkan Presiden RI sekalipun.
Di sisi lain, sikap Jokowi yang hangat menerima GNPF MUI dipandang oleh peneliti dari LIPI, Wasisto Raharjo Jati, sebagai strategi lihat yang mampu menjinakkan gerakan Islam yang disinyalir hendak menggulingkan pemerintahan, “Saya rasa ini adalah bentuk kelihaian politik Presiden Jokowi dalam upaya menjinakkan lawan politiknya secara efektif tanpa harus membuat pernyataan yang membuat kegaduhan,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menilai jika pertemuan tersebut membawa dampak positif bagi Presiden Jokowi demi mengamankan posisi di Pemilu 2019 nanti.
Bagaimanapun, pertemuan ini pada akhirnya akan melahirkan babak baru dalam konstelasi politik nasional, yang tak dipungkiri, memainkan gelombang Islam Politik sebagai kendaraannya. Bagaimana pendapatmu? (Berbagai Sumber/A27)