Demokrasi memang mengandaikan adanya kebebasan untuk memilih pemimpin, namun kadang kala demokrasi ‘hanya’ memenangkan kepentingan mayoritas.
PinterPolitik.com
“Can one desire too much of a good thing?” merupakan salah satu ungkapan terkenal dari William Shakespeare dalam comedy act berjudul “As You Like It” yang ditulisnya pada tahun 1599. Penggalan kisah cinta Orlando dan Rosalind ini begitu fenomenal selain karena romantisme, namun juga karena ungkapan ‘too much of a good thing’-nya. ‘Terlalu banyak hal baik akan bisa berakibat buruk’, demikian kira-kira kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan sedikit penambahan: ditambahkan sedikit biar makin josh seperti bumbu dapur. Apa pun hal baik itu, jika terlalu banyak tentu menjadi tidak baik. Misalnya nih, air itu hal yang baik. Manusia tidak dapat hidup tanpa air untuk konsumsi, mandi, mengairi sawah, nyuci mobil, dan lain-lain. Tetapi kalau terlalu banyak air? Bencana namanya bro. Banjir, air bah dan masih banyak bencana air lainnya semuanya terjadi karena terlalu banyak air. Garam misalnya adalah hal yang baik. Makan sayur tanpa garam tentu saja nggak enak, tetapi kalau kebanyakan garam juga bikin masakan jadi keasinan. Lama-lama bisa darah tinggi, bencana juga bro. Begitupun dengan hal-hal baik lainnya.
Lalu, bagaimana dengan demokrasi? Kita semua tentu mengakui bahwa demokrasi adalah hal yang baik. Jika ada yang berpikir sebaliknya, mungkin sebaiknya tinggalkan tulisan ini, tetapi jangan lupa di-share dulu, kali aja ada yang tertarik baca. Demokrasi adalah hal baik, dan oleh karena itu paham yang seringkali diperjuangkan dengan berdarah-darah ini dianut oleh banyak negara di dunia. Nah, apakah terlalu banyak demokrasi juga bisa menjadi bencana? Kalau mengikuti pola pikir ‘too much of a good thing’-nya Shakespeare tentu saja kita bisa dengan gamblang mengatakan: Ya, tentu saja. Lalu, bencana apa yang ditimbulkan oleh demokrasi? Tentu saja bukan air bah atau darah tinggi, dan oleh karena itu sambil ngeteh siang ini mari kita mengulik bencana demokrasi menggunakan logika ‘too much of a good thing’-nya Shakespeare.
Pada medio Desember 2009, The Economist – sebuah majalah di Inggris – menulis: “When too much democracy threatens freedom”. Tulisan tersebut menyoroti pergeseran yang terjadi di Amerika Serikat dari sebuah negara republik yang digariskan oleh para pendiri negara tersebut, menjadi negara yang lebih demokratik-representatif: negara yang cenderung dikuasai oleh kepentingan mayoritas. Demokrasi yang representatif cenderung tidak melindungi kepentingan kaum minoritas. Hal inilah yang membuat kita tidak perlu heran melihat fenomena kemenangan Donald Trump pada pemilu di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Hal yang sama juga bisa dilihat di Inggris lewat Brexit, Italia lewat kejatuhan pemerintahan Matteo Renzi, atau kebangkitan golongan kanan di Prancis dan daratan Eropa.
Demokrasi memang mengandaikan adanya kebebasan untuk memilih pemimpin, namun kadang kala demokrasi ‘hanya’ memenangkan kepentingan mayoritas. Tanpa perlindungan kepentingan minoritas dalam konstitusi tertulis – yang mana adalah inti dari sebuah negara republik – maka demokrasi – bahkan demokrasi yang terlalu banyak – akan mengancam kebebasan, khususnya kebebasan minoritas. Padahal inti dari demokrasi adalah penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia serta kebebasan untuk berpikir dan mengeluarkan pendapat bagi setiap warga negara. Masalah inilah yang membuat banyak tanggapan serta tulisan yang muncul dan mengatakan bahwa demokrasi telah menuntun banyak negara pada kebangkitan gerakan mayoritas: sebuah gerakan yang bertolak belakang dengan inti peradaban yang ada saat ini .
Demokrasi yang berlebihan dan cenderung progresif ini pada akhirnya hanya melahirkan jurang pemisah baru antara kepentingan, baik itu antara mayoritas dengan minoritas, maupun antara golongan berharta dengan rakyat biasa. Pada titik ini, demokrasi bisa saja menyebabkan manusia menjadi ‘setan’ bagi sesamanya. Demokrasi menjadi tidak ada bedanya dengan gerakan fasisme pada masa lampau, misalnya Nazi dan Hitler di Jerman, atau Benito Mussolini di Italia. Nah lo, benar kan logika ‘too much of a good thing’-nya Shakespeare bisa juga terjadi pada demokrasi. Demokrasi bisa membangkitkan kembali luka kelam sejarah tentang perang dan genosida: sesuatu yang tidak pernah dibayangkan akan terjadi pada paham ini. Kalau mau diplesetkan, demokrasi bisa menjadi demon-creation atau penciptaan ‘iblis’. Demokrasi akan melahirkan gelombang baru penindasan dan kecemasan yang ada pada zaman dulu. Menguatnya gerakan kanan-Katolik di Prancis, atau bagaimana warga Inggris bisa membawa negara itu keluar dari Uni Eropa merupakan contoh bahwa demokrasi yang representatif pada tataran tertentu dapat melahirkan ancaman terhadap kebebasan.
Lalu bagaimana dengan demokrasi di Indonesia? Apakah kita telah sampai pada tahap ‘mabuk’ demokrasi saking berlebihannya demokrasi di negara ini? Mungkin hal ini perlu digali lebih jauh, dan kalaupun tulisan ini dilanjutkan, anda mungkin akan mengantuk dan terhipnotis karenanya. Jadi soal apa yang terjadi di negara ini, marilah kita masing-masing merefleksikannya. Apakah ada kecenderungan demokrasi di negara ini telah mendorong penguatan gerakan kanan? Apakah demokrasi di negara ini telah menjadi semakin representatif: yang pada satu sisi justru akan mengancam kebebasan, khususnya kaum minoritas? Tanyakan pada tukang bubur di pinggri jalan!
“If man were angels, no government would be necessary”. Kalimat tersebut adalah salah satu kutipan paling terkenal dari James Madison, salah satu founding fathers, federalis, dan presiden ke-4 Amerika Serikat. Jika setiap manusia adalah malaikat, maka pemerintahan tidak diperlukan lagi. Namun, melihat kasus demokrasi yang berlebihan dan bencana yang ditimbulkanya, sampai kapan pun pemerintahan tetap dibutuhkan. Pertanyaannya apakah demokrasi negara ini akan mengarah pada demon-creation? Mari merenungkan sambil makan soto, mumpung musim hujan, makan soto bikin hangat. (S13)