PinterPolitik.com
JAKARTA – Franz Graf von Magnis, begitu nama lengkapnya, berasal dari Jerman. Ia tiba di Indonesia sejak rezim Soekarno berkuasa saat ia belum menjadi pastor. Magnis akhirnya menjadi imam Katolik yang bertugas di Indonesia sampai menjadi warga negara Indonesia dan mengubah namanya menjadi Franz Magnis-Suseno. Hingga usianya yang ke-80, Magnis mengalami beberapa rezim dan dua kali perubahan politik besar di Indonesia. Ia juga menjadi tokoh Katolik yang kerap disejajarkan dengan Gus Dur karena kerap bersuara dalam urusan-urusan publik dan perkara keragaman.
Terkait kasus Ahok, Magnis tanpa ragu mengatakan bahwa ia sulit membayangkan yang akan terjadi jika Ahok dinyatakan tak bersalah. “Katakan saja Ahok dikorbankan, karena dianggap Ahok tidak lagi bisa dipertahankan,” katanya.
Tapi ia berbicara hati-hati saat ditanya ihwal gejala intoleransi. Tak mau menyalahkan dan mengarahkan jari telunjuk ke pihak intoleran, Magnis memilih menunjuk ke faktor struktural negara agar lebih tegas menindak tindakan-tindakan seperti sweeping toko-toko di Surabaya dan pembubaran acara Natal di Bandung. Ia menyalahkan aparat polisi yang malah menemani FPI melakukan sweeping.
Guru besar filsafat ini juga menyebut gejala-gejala intoleran itu sebagai wujud dari politik identitas. Dengan jitu, Magnis menunjukkan ironinya: politik identitas yang menguat di Eropa dan Amerika Serikat justru membuat kaum Muslim menjadi korban. Berikut ini wawancara lengkap Franz-Magnis-Suseno yang dikutip dari tirto.id.
Melihat fenomena intoleransi di Indonesia belakangan ini, apa yang ada di pikiran Anda, Romo?
Kita harus bisa membedakan kasus intoleransi yang banyak terjadi dan intensifikasi semangat keagamaan dalam dua bulan terakhir. Intoleransi memang akan selalu ada karena itu ciri khas manusia, manusia itu memang cenderung intoleran.
Ciri-ciri intoleran itu termasuk iri hati, dendam dan sebagainya. Itu perlu diatasi. Intoleransi itu juga (terjadi) akibat oportunisme negara. Seharusnya negara tanpa pandang bulu dan ragu-ragu menindak segala macam ancaman, pemerasan, perbuatan kekerasan karena jelas bertentangan undang-undang dan kita negara hukum.
Intoleransi baru menjadi masalah jika negara tidak bertindak. Misalnya sweeping FPI di Surabaya. Itu masalah karena malah diantar oleh polisi. Seharusnya polisi melindungi toko-toko, menahan setiap orang yang terlibat di dalam suatu perbuatan kekerasan apapun yang ada di situ. Jadi, (kasus) intoleransi tidak menunjukkan ada perubahan di dalam masyarakat. Masyarakat sebagian besar tetap toleran, tapi ada kelemahan dan oportunisme alat-alat negara. Mungkin juga pemerintah yang tidak berani tegas menjalankan hukum apabila terjadi pada minoritas. Yang kita alami dalam dua bulan terakhir sebenarnya (itu).
Kasus Ahok memang menjadi kesempatan emas. Pak Ahok dalam pandangan saya tidak menista agama, tetapi beliau bicara sembrono dan arogan. Sekarang ya kena. Karena ada sekian banyak pihak yang menunggu kesempatan seperti itu. Jadi, reaksi terhadap kasus Ahok tidak hanya ketersinggungan yang spontan, tapi juga karena ada kesempatan yang dipakai secara sengaja. Dan dari situ, kita melihat gejala yang mengkhawatirkan di seluruh dunia, yaitu politik identitas.
Politik identitas itu fenomena orang-orang yang fokus pada identitas sendiri. (Orang-orang) yang merasa terancam, tidak diakui, dirugikan, dan diperlakukan tidak adil, yang akhirnya menimbulkan emosi untuk menghantam ‘mereka’. ‘Mereka’ itu adalah semua yang berada di luar, yang oleh orang yang terkena sindrom politik identitas dianggap menjadi penyebab mengapa dia tidak bisa maju dan diperlakukan tidak adil. Kita melihat politik identitas itu dalam bentuk semangat keagamaan.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Kita bisa melihat itu, misalnya, dalam reaksi-reaksi irasional pengungsi di Eropa. Termasuk juga Islamofobia yang di Barat merupakan gejala politik identitas, yaitu reaksi karena anggapan bahwa semua ancaman bersumber dari Islam. Maka, (mereka beranggapan) sebaiknya Islam dikeluarkan, dibatasi.
Sayangnya politik identitas itu mendapatkan panggung dengan kemenangan Trump di Amerika Serikat. Trump mengatakan melakukan hal-hal yang memalukan, tetapi malah dibanggakannya. Dan (Trump) dipilih oleh mayoritas Amerika dan seakan membuatidentity politics tidak lagi memalukan. Di Amerika itu, Trump sebenarnya hanya mengatakan “Kita bikin Amerika besar lagi” dan caranya adalah menempatkan orang Negro (di pinggiran), mengusir semua orang muslim, menutup perbatasan Meksiko, mengusir orang-orang Latino yang ada di situ.
Yang kita lihat sekarang di Indonesia ada unjuk rasa terbesar atas nama agama Islam. Sebelumnya, belum pernah ada unjuk rasa yang sedemikian fokus atas nama agama. Salah satu efek sampingnya adalah mayoritas Islam Indonesia yang pluralistik, toleran, yang direpresentasikan oleh NU dan Muhamadiyah seperti tersingkir dan diperlemah. Sehingga sekarang ada pemimpin-pemimpin agama baru yang dulu ada tapi tak punya posisi, sekarang muncul.
Nah, situasi ini cukup serius, karena Indonesia dibangun atas dasar Pancasila yang merupakan konsensus resmi bahwa di Indonesia semua diterima sebagai warga negara yang sama tanpa membedakan suku, ras, agama, etnik, dan sebagainya. Dan suatu negara yang terdiri atas begitu banyak etnik dalam suku, ras, budaya, agama hanya bisa bersatu apabila saling mengakui. Sehingga keIndonesiaan tidak mengancam indentitas.
Sampai sekarang pada dasarnya kita berhasil menjaga keindonesiaan. Tapi politik identitas justru tidak. Karena dia melihat identitasnya sendiri, dan melihat yang lain sebagai ancaman, bahkan dipersalahkan sebagai sebab mengapa mayoritas merasa tidak maju dan sebagainya. Itu bisa jadi jalan buntu, tapi situasi belum sampai membuat kita harus putus asa, meski kita harus mewaspadainya.
Bagaimana membedakan semangat keagamaan dengan politik identitas?
Sebetulnya semangat keagamaan dengan politik identitas itu ada karena seseorang beragama, dan juga karena agama dijadikan identitasnya. Sulit dipisahkan. Seseorang pada hakikatnya merasa terancam ketika agamanya diserang, apalagi merasa agamanya dihina. Orang lalu terdorong untuk membesarkan nama agama, lalu menghancurkan semua yang jadi lawan. Tapi di sisi lain, tidak ada tanggapan terhadap masalah nyata kita hadapi. Misalnya masalah pekerjaan, kesejahteraan, kedudukan tani dan nelayan. Hal-hal seperti itu tidak muncul.
Kita bisa lihat di beberapa negara di dunia yang mengalami kegagalan dan punya politik identitas adalah negara yang ekonominya juga hancur. Itu [terjadi] karena negara tidak melihat masyarakat secara nyata. Nah, di Indonesia sebenarnya mainstream agama-agama baik kristiani, Hindu, maupun Islam, tidak terjangkit politik identitas itu. Agama-agama itu masih tahu dan mau hidup bersama. Tetapi kerukunan agamamainstrem itu perlu dipertahankan dalam ruang publik. Kalau tidak, kelompok minoritas yang picik dan agresif akan lebih menentukan.
Contohnya dalam kasus Ahok ini?
Iya. Dalam kasus Ahok, kita sudah terlambat. Kasus ini terlambat. Saya tidak bisa membayangkan jika Ahok tidak dinyatakan bersalah. Katakan saja Ahok dikorbankan, karena dianggap Ahok tidak lagi bisa dipertahankan.
Tapi kritik saya, umat Kristiani juga jangan berfokus pada Ahok, tetapi lebih baik terus mengaktifkan komunikasi dengan Islam mainstream. Negara ini akan lebih Islami, tapi tidak berarti kebebasan beragama hilang. Kalau kita bicara Islam moderat, saya kira semua bisa hidup bersama dengan wajar. Minoritas juga dituntut tahu diri. Repotnya, dalam minoritas juga ada semacam politik identitas kecil-kecilan. Misalnya membangun patung besar-besaran seakan-akan mengatakan “kami juga ada.” Kita ini ada, kita yang Kristiani ini ada karena diakui, diketahui, diterima oleh lain, bukan karena kita bikin bangunan atau gereja yang mentereng atau sebagainya. Ini adalah godaan bagi minoritas yang juga terkena politik identitas. Mereka selalu menuntut bahwa “kami ingin mendapat kedudukan yang sama.”
Yang benar memang bahwa di dalam kedudukan sebagai manusia, sebagai warga negara, tak ada minoritas dan mayoritas. Karena dalam UUD itu tidak ada pembedaan mayoritas dan minoritas. Tapi secara sosial, budaya dan psikologis, mayoritas dan minoritas selalu ada. Dan itu normal. Karena orang menghayati diri dalam kelompok di mana dia hidup. Misalnya orang Kristen yang hidup di antara 90 persen orang muslim. Dia senantiasa tahu bahwa dia tak seperti mereka mayoritas.
Begitu juga muslim di NTT, merasakan diri sebagai minoritas di daerah yang dikuasai Kristen tidak perlu berbuat apa-apa. Lebih baik diakui, kemudian mayoritas seharusnya mau melindungi, mengayomi, mau mengamankan minoritas. Minoritas itu sangat perlu peka terhadap perasaan mayoritas. Biasanya semua mayoritas punya hal-hal simbolis. Misalnya kalau mengenai agama Islam, ya minoritas tak perlu menyinggung Al Quran. Tutup mulut saja. Daripada omong yang keliru. Hal kecil semacam itu sudah cukup.
Di bulan puasa kalau orang Kristen makan, orang Muslim sama sekali tak keberatan. Itu sudah sering saya alami, asalkan tidak dilakukan secara provokatif. Jadi tidak perlu orang Kristen mengatakan “kami ini warga negara dan kami akan makan di sini, di tengah Ramadhan, siapa mau melarang?” Itu keliru.
Kami perhatikan di Jawa Barat yang sangat islami, orang bisa masuk restoran dari pintu belakang dan bisa makan di situ. Muslim yang melihat sama sekali tidak keberatan, mereka mengerti. Hal kecil seperti itu yang penting. Jadi kepekaan dalam hal seperti itu saya kira bisa tetap bisa mengatasi [masalah mayoritas-minoritas].
Tentu sekarang ada beberapa pihak yang dianggap radikal yang sangat mencolok. Mereka sendiri juga hanya bisa mempertahankan diri kalau tahu diri. Kalau mereka terlalu banyak main kartu tetapi tidak punya truf akhirnya akan terpukul sendiri.
Bagaimana Anda melihat kepemimpinan Jokowi?
Kalau Presiden kita memperlihatkan diri sangat pandai memainkan piano kekuasaan. Beliau datang pada posisi yang ekstrem lemah dengan didukung hanya 40 persen dalam DPR. Tapi dalam waktu relatif singkat, sekarang sudah 2 tahun, sudah berhasil menguasai 2/3 DPR. Dia berhasil membangun hubungan yang lumayan baik dengan saingannya Pak Prabowo. Itu suatu seni besar dari Jokowi. Dia didukung militer, polisi. Itu membuat kedudukannya kuat. Dia sendiri jelas Pancasilais dan NKRI.
Tapi tentu dia juga [punya] kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah kurangnya pengalaman. Sering kelihatan baik dalam politik dan ekonomi. Saya juga merekam bahwa beliau menyadari pentingnya HAM, tetapi seakan mengabaikan karena itu bukan sesuatu yang ada di dalam fokusnya.
Dalam konteks melihat kebhinnekaan dan keberagaman, bagaimana Anda melihat kebijakan Jokowi?
Di situ sebetulnya dia sama sekali tak bisa diragukan. Saya kira dia pasti mau mempertahankan Indonesia dan Pancasila seperti sekarang. Mungkin ya, memang terlambat menyadari betapa pentingnya membangun hubungan dengan Muhamadiyah dan NU. Dua organisasi itu harus diberi lebih banyak dukungan karena merupakan stabilisator masyarakat. Bukan mereka yang nasionalis saja yang didukung. Tapi di Indonesia yang akan menjadi lebih agamis, adanya masyarakat sipil agamis yang moderat dan terbuka adalah kunci. Dan itu tentu harus diperhatikan oleh presiden.
Kalau melihat ke depan, apakah tensi intoleransi akan meningkat?
Kalau saya melihat, sekarang beberapa kelompok yang melakukan tindakan intoleran sudah melampaui apa yang bisa diterima secara umum dalam masyarakat. Seperti peristiwa Bandung, Surabaya, dan sebagainya. Juga serangan teror sendiri. Sebenarnya tidak boleh dipersalahkan kepada mereka.
Kelompok teroris juga kelompok tersendiri. Menghubungkan FPI dengan terorisme itu keliru, tidak betul. Tindakan intoleransi sudah menciptakan suasana di mana dukungan masyarakat terhadap polisi menguat kalau polisi menindak kekerasan.
Jadi saya kira tidak akan ada serangan balik. Justru kalau ormas-ormas yang dihubungkan dengan unjuk rasa November-Desember ini sekarang kelihatan cenderung melakukan tindak kekerasan yang intoleran, mereka mengurangi pengaruh mereka sendiri. Masyarakat tidak akan mendukung itu. Sebab masyarakat sudah terkesan dengan unjuk rasa 4 November dan 2 Desember yang berjalan dengan damai. Itu yang sangat mengesankan.
Para pembicara, termasuk misalnya Habib Rizieq, di dalam omongannya juga menghindari segala kata anti-Kristiani dan sebagainya. Jadi, fokus (demonstran) semata-mata pada Ahok. Kalau kartu ini dimainkan berlebihan, mereka akan kalah.
Saya kira memang sekarang saatnya bertindak keras, karena kita negara hukum, memastikan kembali kedaulatannya dengan tidak mengizinkan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Tentu umpamanya Ahok akan dinyatakan tidak bersalah, negara harus waspada. Karena mereka yang menentang itu banyak bukan hanya orang yang ekstremis, sehingga kondisi akan lebih terjaga. Kondisi itu akan tergantung bagaimana hal ini ditanggapi oleh negara. [Saya] tidak tahu kalau pak Ahok dinyatakan bersalah.
Apa kalau Ahok dinyatakan bersalah akan lebih menguntungkan bagi negara?
Saya tidak mau mengatakan itu. Kita tunggu saja. Tapi kesan saya memang itu sudah diperhitungkan. Supaya tidak ada alasan untuk terjadi ketegangan. Apalagi di Jakarta sedang dalam pemilihan gubernur. Tentu ada dua pihak lain, Pak Anies dan Pak Agus, yang diuntungkan. Mungkin Ahok dan Djarot masih bisa muncul karena mungkin masih ada waktu naik banding, tapi de facto mereka out. Jadi di situ akan ada perubahan, pihak Anies dan Agus akan jadi perbincangan langsung.
Apa yang harus dilakukan Jokowi untuk memastikan tensi politik identitas di Indonesia turun?
Saya kira itu sangat jelas, dia harus meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil. Kalau rakyat kecil—bukan hanya di kotam tapi juga buruh tani dan nelayan—di bawah kepemimpinan Jokowi merasa terjamin, Jokowi akan sangat kuat. Jadi, itu akan mempengaruhi. Ekstrimesme tak akan didukung. Sebaliknya, Jokwi akan didukung, dengan syarat di bawah kepemimpinannya orang kecil merasa lebih baik dibanding dulu. Kalau orang kecil tetap merasa tersingkir dan sebagainya, kalau ada banyak sekali kasus tanah, Jokowi juga akan diperlemah. (tirto.id/S13)