“Ingat, apa yang kau (polisi) lakukan justru akan semakin menyatukan kami untuk melindungi ulama kami dan menyuarakan kebenaran,”
PinterPolitik.com
Itulah pernyataan Slamet Ma’arif selaku juru bicara organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) terkait penangkapan admin akun @muslim_cyber1 yang bercokol di Instagram. Penangkapan itu sendiri terjadi pada Selasa (23/5) sekitar pukul 05.00 WIB oleh Satgas Medsos Dittipi Siber Markas Besar Polri.
Sang admin, berinisial HP, yang masih berusia 22 tahun ini ditangkap atas dugaan penyebaran konten hoax yang berisi potongan percakapan Kabid Humas Polda Metro Jaya , Argo yuwono dengan Kapolri, Tito Karnavian, yang menyinggung kasus Rizieq Shihab dan Firza Husein. Konten tersebut disebarkannya melalui akun @muslim_cyber1 yang memiliki 12,600 pengikut, pada Rabu (17/5).
Seminggu kemudian, polisi menyusulnya ke rumah.
Selain membuat konten palsu, Polisi juga menahan warga Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan, tersebut karena ketahuan menyebar beberapa postingan yang mengandung unsur SARA. “motifnya bela ulama HRS (Habib Rizieq Shihab)” ungkap Direktur Tindak Pidana Siber, Brigjen Fadil Imran.
Oleh karena itu, ia ditetapkan telah melanggar pasal 45 (2) Jo Pasal 28 (2) UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 16 Jo Pasal 4 huruf b angka 1 UU No. 40 Tahun 2008 tentang, Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Pihak Polri telah mengklarfikasi bahwa percakapan tersebut palsu atau hoax. Sehingga pihaknya tak banyak menunggu lama langsung memburu pemilik akun.
Bukan (anggota) FPI
Dalam keterangan yang dilansir dari Detik, Slamet Maarif berkata jika admin @muslim_cyber1 bukanlah bagian dari anggotanya. Namun, ia adalah bagian dari orang yang mendukung Rizieq dalam menghadapi berbagai macam kasus di kepolisian. Menurutnya, ini adalah bukti jika penangkapan yang dilakukan oleh Polri terhadap Rizieq tidak mengendurkan semangat dan dukungan membela Rizieq.
Dirinya lalu memberondong perbandingan-perbandingan respon polisi atas suatu kasus.“Begitu cepat mereka tangkap kami tapi kenapa tidak bisa juga tangkap pelaku pengeboman dan pembakaran (dekat acara FPI) di Cawang, penyiraman Novel Baswedan, pelemparan bom di pos-pos FPI. Why?” ucap Slamet.
Tak Hanya HS, FL Pun Kena ‘Getah’
Sementara itu, seorang ibu beranak dua yang berprofesi sebagai dokter di RSUD Solok, Sumatera Barat, harus menerima intimidasi baik melalui dunia maya, telepon, maupun pergaulan sosial, akibat mempertanyakan keheranannya terhadap sikap pimpinan FPI dalam kasus pelanggaran UU Pornografi, melalui media sosial Facebook.
Ia mengaku disambangi oleh beberapa anggota FPI di rumahnya, dan memintanya untuk menghapus statusnya dan meminta maaf. Sudah dilakukan, bukannya reda, ancaman yang diterima Fierra semakin menjadi, hingga ia beserta anak-anaknya merasa tak aman.
Akhirnya, Fierra dan keluarga, memutuskan pindah dari Solok ke Jakarta. “Kami mau pindah selama-lamanya (dari Kota Solok). Mungkin ke Jakarta. Yang pasti bukan di Sumatera,” ujarnya seperti yang dilansir oleh BBC Indonesia.
Perburuan Sewenang-Wenang
Jaringan relawan kebebasan ekspresi di Asia Tenggara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), menyebut apa yang dialami Fierra adalah aksi persekusi Efek Ahok (The Ahok Effect).
Latar belakang persekusi The Ahok Effect muncul sejak dipidanakannya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke pengadilan atas pasal penodaan agama. Sejak saat itu, SAFEnet mencatat jika pelaporan menggunakan pasal 28 ayat 2 UU ITE meningkat drastis. “Lalu muncul tindakan persekusi atau perburuan akun-akun yang dianggap menghina ulama/agama di media sosial,” ungkap Damar Juniarto, Koordinator Regional SAFEnet.
Lebih lanjut, Damar menjelaskan persekusi atau perburuan tersebut dilakukan lewat Facebook Page. Admin tersebut menelusuri orang-orang yang menghina agama/ulama. Lalu, menginstruksikan massa memburu target, yang biasanya sudah dibuka identitasnya, baik foto, alamat kantor, atau rumahnya.
“Ketiga, aksi gruduk ke kantor atau rumahnya oleh massa, dan keempat dibawa ke polisi dan dikenakan pasal 28 ayat 2 UU ITE atau pasal 156a KUHP,” tutup Damar.
Menangkal hal tersebut, beberapa Facebook page berisi hasutan dan SARA berhasil dilacak dan dilaporkan pihak Facebook. Saat ini, beberapa halaman provokatif itu ditutup dan tak bisa dibuka. Akun-akun tersebut antara lain adalah Database Buronan Umat Islam an Muslim Cyber Army.
Tentu hal ini sudah sangat mengkhawatirkan, karena dapat mengancam kebebasan demokrasi karena penegakan hukum didasarkan pada tekanan massa atau mobokrasi. Melihat catatan SAFEnet, tentu pihak pemerintah, secara khusus Kapolri, wajib melakukan penegakan hukum yang serius pada tingkatan persekusi atau perburuan yang dilakukan sewenang-wenang yang dilakukan segelintir pihak ini.
Bagaimana menurutmu? (Berbagai Sumber/A27)