Ketika siang hari mereka bertempur mati-matian, malam harinya mereka pulang dan menikmati burger McDonalds atau menyaksikan acara Late Night Show dari NBC – yang adalah produk peradaban barat.
pinterpolitik.com – Selasa, 20 Desember 2016.
Jam dinding menunjukkan pukul 04.45 dini hari saat saya tersadar dari tidur. Sebagai fan Liverpool FC, tentu saja bermaksud ingin mengecek skor pertandingan Everton vs Liverpool. Tetapi, begitu membuka aplikasi berita The Guardian di handaphone saya, ada peristiwa yang sedang menjadi Breaking News saat itu. Aksi truk yang menabrak kerumunan orang di sebuah pasar Natal di area Breitscheidplatz square yang berlokasi di depan Gereja Memorial Kaiser Wilhelm menarik perhatian saya. Aksi tersebut membuat jalan-jalan di jantung kota Berlin, Jerman ramai oleh suara sirene pada malam kemarin. Aksi tersebut menewaskan 12 orang dan 48 lainnya luka-luka. Hingga saat tulisan ini dibuat pun, berita tersebut masih menjadi live report di The Guardian. Berita ini tentu saja mengejutkan khususnya karena kejadiannya terjadi menjelang perayaan Natal dan tahun baru. Orang-orang lalu bertanya-tanya: akankah Natal tahun ini bisa dirayakan dengan damai tanpa ancaman dan teror?
Beberapa jam sebelumnya, dunia juga dikejutkan oleh aksi penembakan terhadap Duta Besar Russia untuk Turki. Ambassador Andrei Karlov ditembak saat sedang membuka sebuah pameran di kota Ankara, Turki. Si penembak yang kemudian diketahui bernama Mevlut Mert Altıntas memberondong sang dubes dengan tembakan hingga lebih dari 8 kali dari arah belakang. Para pengunjung pun berhamburan meninggalkan pameran, sebagian besar bersembunyi di belakang meja atau tembok. Here Ozbilici, seorang wartawan dari Associated Press menggambarkan kejadian tersebut sebagai a coolly calculated assassination atau pembunuhan yang terencana dengan baik. Ia dan beberapa wartawan lain menjadi saksi dari kejadian penembakan tersebut dan melihat bagaimana sang dubes roboh di depan mereka. Kejadian ini membuat orang kembali bertanya-tanya tentang hubungan Russia dan Turki, serta mulai mengaitkannya dengan peristiwa yang terjadi di Aleppo, Suriah. “Jangan lupakan Aleppo. Jangan lupakan Suriah”, demikian teriakan Mevlut setelah menembak sang dubes.
Dua kejadian tersebut semakin menguatkan fakta bahwa gerakan teror, serangan dan penembakan terhadap warga sipil sedang melanda daratan Eropa. Beberapa jam sebelum dua peristiwa tersebut terjadi, sebuah penembakan juga terjadi di sebuah masjid di kota Zurich, Swiss yang melukai 3 orang. Kejadian-kejadian tersebut seolah membuat saya melupakan euforia kemenangan Liverpool atas Everton dan kemudian menepuk-nepuk dada sambil berkata: ‘Ya Tuhan, apakah seperti ini akhir dari dunia?’. Sehari sebelumnya saya mengulas pemikiran Samuel P. Huntington tentang clash of civilization. Pemikiran Huntington ini menekankan soal identitas dan bahkan agama yang akan menjadi sumber konflik baru. Huntington mungkin saja terkesan skeptis soal perdamaian. Namun, melihat berbagai kasus penyerangan dan kekerasan bersenjata yang terjadi akhir-akhir ini, kita mungkin akan berkata: ‘Sir, maybe you are right’. Khusus untuk serangan truk maut di Jerman, peristiwa ini akan semakin menekan pemerintahan kanselir Angela Merkel yang sebelumnya begitu terbuka terhadap migrasi pengungsi ke Jerman. Berbagai kejadian ini bisa jadi akan menyebabkan Merkel kehilangan kekuasaannya di Jerman. Dan jika hal tersebut terjadi, maka semakin jelaslah indikasi kebangkitan gerakan kanan-konservatif di daratan Eropa. Merkel akan menjadi ‘korban’ berikutnya setelah Matteo Renzi di Italia dan David Cameron di Inggris.
Jika sekilas kembali melihat ke belakang, peristiwa ‘nine eleven’ atau 11 September merupakan salah satu tonggak menguatnya berbagai benturan peradaban yang terjadi saat ini, khususnya antara peradaban Barat dengan peradaban Muslim Timur Tengah Raya. Memang, jika merunut jauh lebih ke belakang, ada peristiwa lain yang juga menjadi tonggak benturan peradaban, salah satunya soal perjanjian Westphalia pada tahun 1648 yang melahirkan persepsi baru tentang negara dan konsep keamanan nasional. Namun, tonggak benturan dengan identitas agama – pasca Perang Salib – baru kembali menguat sejak Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada tahun 1978 dan kemudian dilanjutkan oleh tragedy nine eleven. Peristiwa nine eleven menjadi tonggak perang baru zaman modern dan mengatur peta perpolitikan internasional saat ini. Benturan-benturan yang terjadi ini kemudian diperkuat dengan kehadiran globalisasi. Globalisasi adalah ‘mesin’ yang mengakumulasi dan mengartikulasikan semua benturan-benturan tersebut. Peristiwa-peristiwa tersebut juga kembali menguatkan gerakan trans-nasional, misalnya gerakan muslim transnasional. Sebut saja Ikwanul Muslimin, Al-Qaeda, Jema’at Islamiyah, dan berbagai gerakan lainnya. Gerakan anti-barat dan persaudaraan sesama umat Muslim juga semakin menguat pasca peristiwa-peristiwa itu, apalagi ketika Amerika Serikat dan sekutunya menginvasi beberapa negara di Timur Tengah. Di Indonesia sendiri, gerakan-gerakan ini sudah mulai menguat. Demo 411 dan 212 merupakan beberapa contoh menguatnya gerakan muslim trans-nasional di negara ini. Fenomena ini semakin menguatkan fakta bahwa benturan peradaban, mau tidak mau, harus diakui keberadaanya. Pertanyaannya adalah apakah benar konflik antar identitas merupakan akhir dari sejarah?
Jika melihat berbagai kasus kekerasan yang terjadi, kita boleh saja mengiyakan kebenaran tesis tersebut. Namun, perdamaian – yang oleh sebagian orang dianggap utopia – bukanlah sesuatu yang mustahil. Faktanya, globalisasi pada saat yang sama juga bisa mengaburkan identitas seseorang. Seseorang bisa jadi tidak mau lagi disebut sebagai warga suatu negara dan menganggap dirinya sebagai warga dunia: sebuah kosmopolitan. Biar nggak bingung, kosmopolitanisme adalah sebuah paham yang mengatakan bahwa manusia di dunia ini adalah satu komunitas tunggal yang berbagi moralitas yang sama. Makin bingung bukan? Tentu saja, tulisan ini bertujuan untuk membuat anda kebingungan. Intinya, orang-orang kosmopolit tidak lagi melihat perbedaan identitas sebagai hal yang perlu untuk dipermasalahkan. Apakah hal ini mungkin terjadi? Tentu saja, dalam banyak kesempatan, kosmopolitanisme telah menampilkan wajahnya.
Benjamin Barber dalam bukunya yang berjudul ‘Jihad vs. McWorld’ menggambarkan kondisi dunia sebagai benturan antara dunia baru dan dunia lama. Dunia baru disebutnya sebagai McWorld , sementara dunia lama disebutnya sebagai Jihad. Agama dengan segala identitas fundamentalismenya adalah dunia lama, sementara globalisasi membawa peradaban barat sebagai sebuah dunia baru dengan konsep yang kadang kala jauh bertolak belakang dengan agama. Di satu sisi, karena perbedaan identitas, dunia lama mempunyai kecenderungan untuk memerangi dunia baru. Namun, pada beberapa kesempatan, dunia baru dan dunia lama ini seolah tampil sebagai identitas bersama yang makin kabur batasan-batasannya. Contoh sederhananya adalah ketika revolusi bergejolak di Libia, para tentara pemberontak masih sempat beristirahat sejenak untuk menyaksikan pertandingan semifinal Liga Champions antara Real Madrid melawan Schalke 04 pada tahun 2011. Atau contoh lain, tentara pemberontak dan kelompok teroris misalnya, ketika siang hari bertempur mati-matian, malam harinya mereka pulang dan menikmati burger McDonalds atau menyaksikan acara Late Night Show dari NBC – yang adalah produk peradaban barat. Benturan-benturan tersebut seolah hanya ada pada tataran politik, sementara pada tataran prilaku dan kebudayaan, dunia baru dan lama sama-sama menikmati budaya pop. Negara Islam Irak dan Suriah misalnya, menggunakan teknologi informasi semisal twitter – yang adalah produk budaya barat – untuk melaksanakan aktivitasnya. Para teroris mungkin memerangi dan membunuh orang, tetapi banyak dari mereka yang tidak bisa lepas dari handphone-nya. Fenomena-fenomena tersebut seolah membalikkan tesis Huntington. Apa benar benturan peradaban itu sedang terjadi? Apa benar benturan identitas sedang berlangsung? Jangan-jangan ada isu lain yang menyebabkan berbagai konflik ini terjadi, let’s say ekonomi mungkin? Bisa jadi identitas hanya dipakai sebagai alat untuk meraih kepentingan ekonomi dan mencapai kekuasaan. Who knows. ISIS menancapkan kekuasaannya dengan menguasai sumber minyak, bukan?
Fenomena serangan bersenjata, teror dan penembakan kembali membuka mata kita soal identitas dan sejauh mana tesis clash of civilization ini benar-benar bisa dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan kenyataan yang ada. Ada banyak kasus yang terjadi bahwa identitas dan agama hanya dipakai sebagai alat untuk mengartikulasikan kepentingan ekonomi. Apakah ini benar? Mungkin perlu direnungkan dan dikaji secara lebih mendalam. Yang jelas, saya turut prihatin dengan kejadian yang terjadi di Ankara, Zurich, dan Berlin. Kejadian ini jelas-jelas melukai sisi kemanusiaan. Namun demikian, optimisme tentang peradaban yang lebih baik dan damai harus tetap dijaga dan dibangun. Selama orang masih memandang sesamanya sebagai saudara, maka dunia akan terasa jauh lebih baik. Biarlah setan-setan menghidupi dirinya sendiri, dan kita manusia menjadi malaikat untuk sesama kita. Mumpung musim hujan, mari berbuat baik.