Site icon PinterPolitik.com

Anti Vaksin, Antara Pseudo Sains dan Religi

Anti Vaksin, Antara Pseudo Sains dan Religi

(Foto:Antara)

Aktris sekaligus ustadzah Oki Setiana Dewi, sempat membuat netizen heboh lantaran diduga menolak vaksin kedua buah hatinya. Vaksin, sebuah temuan penting dalam sejarah, ternyata bagi sebagian orang dapat mencegah penyakit, sekaligus sumber celaka.


PinterPolitik.com 

Dalam status media sosial Instagram, Oki menunjukan kesedihannya. Dua buah hatinya, Maryam dan Khadeejah terserang demam tinggi karena terinfeksi virus campak. Di balik simpati yang mengalir kepada kedua putrinya, seorang dokter anak yang bermarkas di RS. Cipto Mangunkusumo, Piprim Basarah Yanuarso, memaparkan jika Oki sempat menolak vaksin dengan alasan vaksin tersebut mengandung gelatin babi.

Isu adanya gelatin babi yang terkandung dalam vaksin memang menyebabkan sebagian masyarakat mempertanyakan kehalalan vaksin. Hal ini bahkan melahirkan gerakan anti vaksin di kalangan masyarakat. Padahal, kontroversi gelatin babi yang terkandung dalam vaksin bisa dijelaskan baik secara sains dan syariah.

Vaksin yang Mengandung (Gelatin) Babi

Menurut Vaccine Knowledge Project, gelatin yang terkandung dalam vaksin memang berasal dari babi. Namun, bukan berarti hal itu menjadikan vaksin serta merta haram. Gelatin dalam vaksin, adalah jenis gelatin murni yang sudah mengalami proses hidrolisis atau pemecahan dengan molekul air, sehingga menjadi murni. Kemurnian gelatin itu, ditunjukan dengan hilangnya DNA babi dalam gelatin. Sehingga, asal gelatin dari babi, tak bisa dideteksi lagi.

(foto: Suara-Islam)

Gelatin babi dipilih, karena mengandung enzim tripsin sebagai stabilizer untuk melindungi antigen vaksin dari perubahan suhu ekstrim. Adanya stabilizer yang diaktifkan melalui enzim tripsin, vaksin tetap aman dan efektif digunakan selama proses distribusi dan penyimpanan.

Gelatin babi dalam vaksin, tak bisa begitu saja diganti dengan gelatin dari sumber lain, seperti sapi atau domba misalnya. Jika gelatin tersebut hendak diubah, maka vaksin tersebut harus mengalami pengulangan proses uji klinis yang memakan waktu lama, untuk menunjukan bahwa perubahan tersebut tak berpengaruh terhadap keamanan dan efektivitas vaksin. Dengan kata lain, mengembangkan vaksin dengan stabilizer yang baru, bukanlah perkara mudah.

Para ulama sendiri sudah membahas perkara vaksin lebih dari satu dekade lalu. Dalam acara seminar bertajuk The Islamic Organization of Medical Science yang terselenggara di Kuwait tahun 1995, lebih dari 100 ulama dari berbagai negara sepakat bahwa gelatin babi yang terkandung dalam vaksin hukumnya halal. Mereka berargumentasi jika gelatin babi tersebut sudah mengalami istihalah atau mengalami proses perubahan menjadi zat baru yang berbeda dari zat asalnya (kolagen babi).

Sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), sejak 2013 telah mempertimbangkan ji

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ka vaksin halal. Menurut MUI, vaksin yang diberikan saat imunisasi anak, adalah salah satu tindakan medis mencegah terjangkitnya penyakit tertentu, seperti kecacatan, kematian, dan penyakit berat lainnya. Hal tersebut selaras dengan ajaran Islam yang mendorong umatnya senantiasa menjaga kesehatan, yang pada prakteknya dapat dilakukan melalui upaya preventif agar tak terkena penyakit. MUI juga menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan pendekatan promotif, kuratif dan rehabilitatif terhadap penjaminan kesehatan masyarakat, serta menjamin sertifikasi halal seluruh vaksin.

Sumber: CNN

Manfaat Vaksin Bagi Tubuh

Di tengah ribut-ribut soal vaksin, Kepala Laboatorium Protein Terapeutik dan Vaksin, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Adi Santoso, menjelaskan bahwa vaksin yang berasal dari zat atau virus yang telah dilemahkan atau dimatikan melalui mekanisme ilmiah, menghasilkan kekebalan aktif pada tubuh terhadap suatu penyakit tertentu. “Selain menimbulkan terjadinya proses kekebalan tubuh secara aktif, dalam tubuh manusia, keberadaan vaksin dalam masyarakat dapat memberikan efek kebaikan-kebaikan lain,” katanya.

LIPI (Foto: Istimewa)

Vaksin, menurut Adi, juga bermanfaat dalam penghematan biaya dalam jangka panjang. Vaksinasi memang membutuhkan biaya sangat besar, tetapi dalam jangka panjang penghematan biaya yang berkaitan dengan penyakit tentu akan lebih besar lagi manfaatnya. Lalu, vaksin juga berguna mencegah perkembangan resistensi terhadap antibiotik, “Orang yang telah divaksin tentu mempunyai kekebalan tubuh yang lebih baik sehingga secara teori, akan dapat mengurangi penggunaan antibiotik,” ujarnya lagi.

World Health Organization (WHO), juga pernah memaparkan data yang menunjukan bahwa vaksin dapat meningkatkan harapan hidup dengan melindungi terhadap penyakit yang tak terpikirkan sebelumnya. Di Amerika Serikat, walaupun bergelombang masyarakat anti vaksin kuat, namun mampu membuktikan jika orang yang diberi vaksin memiliki sekitar 20 persen resiko lebih rendah menderita penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. Dibandingkan dengan mereka yang tak divaksin, seseorang memiliki resiko kematian 50 persen lebih rendah.

Di Amerika Sendiri, aksi menolak vaksin sempat berkembang. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya kepercayaan bersifat pseudosains bahwa praktek vaksinasi Amerika membuat anak-anak beresiko terkena autisme. Ini menyebabkan terjadinya gelombang campak menyerang anak-anak di Amerika, terutama bagi mereka yang sebelumnya mengunjungi Disneyland. Alhasil, di awal tahun 2015, vaksinasi di daerah California, menjadi sebuah cerita nasional karena meningkatnya aktivitas vaksinasi yang terjadi dalam setahun terakhir.

Sedangkan di Indonesia, wabah difteri sempat menyeruak di daerah Sumatera Barat, hingga pemerintah daerah Kota Padang memberlakukan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Hal ini diakibatkan oleh adanya kampanye hitam tentang vaksin. “Dari laporan Dinas Kesehatan, ini sudah masuk kategori KLB,” kata Walikota Padang, Muhyeldi, di tahun 2015 tersebut. (Berbagai Sumber/A27)

Exit mobile version