PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk menargetkan bisa memiliki jumlah satelit terbanyak di kawasan Asia pada tahun 2030. Strateginya, perseroan akan melakukan akuisisi perusahaan satelit eksisting dan membeli satelit melalui mekanisme pemesanan ke perusahaan asing.
PinterPolitik.com (T29 – R)
[dropcap size=big]S[/dropcap]trategi tersebut kini tengah dikaji Telkom untuk mewujudkan impiannya, menjadi raja satelit di kawasan Asia pada 13 tahun ke depan. Sebagai bukti usahanya, usai ditandatanganinya berita acara serah terima pada April 2017 lalu. Pengelolaan satelit Telkom 3S resmi dialihkan dari perusahaan pembuat Thales Alenia Space (TAS) kepada Telkom setelah proses pembebanan transponder berhasil dilewati. Sebelumnya pada Februari 2017, Telkom telah berhasil meluncurkan satelit ke-9 yaitu Telkom 3S dari Guiana Space Center, Kourou, Guyana Perancis.
Telkom 3S telah ditempatkan di orbit geostasioner pada ketinggian 35.736 kilometer di atas khatulistiwa bumi, pada 118 derajat Bujur Timur (BT), atau di atas Selat Makassar.
Adapun untuk investasi satelit 3S Telkom mencapai US$ 210 juta. Telkom 3S memiliki kapasitas total 42 transponder dan setara 49 Transponder Equivalent (TPE) yang terdiri dari 24 transponder C-Band (24 TPE), 8 transponder extended C-Band (12 TPE), dan 10 transponder Ku-band (13 TPE). Jangkauan satelit tersebut meliputi seluruh wilayah Indonesia, Asia Tenggara, serta sebagian wilayah Asia Timur.
Melihat keberhasilan tersebut, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini M. Soemarno meminta Telkom untuk tidak berhenti bekerja dan segera memikirkan peluncuran satelit selanjutnya.
“Saya dapat kabar akan ada Orbit kosong ditinggalkan pemiliknya, kalau boleh tolong alokasikan untuk Satelit Telkom 4,” ujar Rini di acara peresmian pengoperasian Satelit Telkom 3S di Stasiun Pengendali Utama Satelit Telkom Cibinong.
Keyakinan Rini bahwa Telkom akan bisa mewujudkan mimpinya memang beralasan. Dia juga bahkan bermimpi Telkom bisa menjadi terbesar di Asia. Sebab, pada 1976 silam, Telkom yang kala itu masih berbentuk Perum sudah mampu menjadikan Indonesia negara ke-3 di dunia yang mempunyai satelit Palapa setelah Amerika Serikat dan Kanada.
Menanggapi tantangan tersebut, Direktur Utama Telkom Alex J. Sinaga mengatakan, tahun depan di bulan Juni 2018 Telkom akan kembali meluncurkan satelit Telkom 4. “Progress satelit Telkom 4 sudah 53%. Jadi sudah pasti tahun depan kami akan luncurkan satu satelit lagi,” ujarnya.
Rencananya peluncuran Telkom 4 akan dilakukan di Florida Amerika Serikat (AS) dengan menggandeng perusahaan Space X asal AS. Untuk investasi tersebut Telkom membutuhkan dana sekitar US$ 160 juta, atau lebih murah dibanding Telkom 3S. Sebab, salah satu perangkat utama untuk meluncurkan satelit yaitu roket peluncur lama Space X masih bisa digunakan.
Lebih jauh Alex menyatakan tantangan Telkom ke depan bukanlah pada peluncuran maupun mengakuisisi perusahaan satelit. Yang menjadi soal adalah ketersediaan slot orbit. Sebab slot orbit merupakan Sumber Daya Alam (SDA) yang terbatas dan dikuasai negara.
Karena itulah Telkom akan meminta kepada pemerintah agar bisa mengalokasikan slot orbit yang masih tersisa atau pun yang sudah ditinggalkan oleh pemilik sebelumnya. Hal ini penting dilakukan untuk menjangkau seluruh wilayah di Indonesia. Saat ini untuk pasar di Indonesia, jumlah satelit untuk memasok kebutuhan diperlukan 300 transponder.
Telkom Harus Pegang Kendali
Mimpi Telkom menjadi raja satelit di Asia pada tahun 2030 memang harus didukung semua pihak. Namun, bila melihat posisi terbanyak pemilik satelit saat ini khususnya di wilayah Asia, Tiongkok menempati posisi pertama.
Di bulan April lalu, Tiongkok telah meluncurkan satelit komunikasi pertama berkemampuan tinggi. Satelit bernama Shijian-13 di klaim mampu mengirimkan material gambar berkapasitas 20 gigabyte per detik (Gbps) dan dirancang mengorbit selama 15 tahun.
Kemampuan satelit itu jauh lebih tinggi dari sejumlah satelit komunikasi Tiongkok sebelumnya dalam memberikan akses internet lebih bagus ke daerah-daerah tertinggal, termasuk di dalam pesawat dan kereta api cepat.
Shijian-13 adalah satelit pertama Tiongkok bertenaga listrik yang diperkirakan lebih hemat 10 kali lipat daripada menggunakan bahan bakar kimia. Satelit itu juga menggunakan sebagian besar komponen lokal dan menggunakan sistem komunikasi laser.
Tiongkok berencana meluncurkan enam unit satelit komunikasi dan Shijian-13 adalah satelit kedua yang diluncurkan tahun ini. Sebelumnya diluncurkan satelit Tiankun-1 pada Maret lalu dan menyusul satelit Shijian 18 yang akan mengorbit pada Juni nanti. Pada 2025 Tiongkok berambisi akan memiliki 22 unit satelit komunikasi.
Dibanding Tiongkok, Telkom kiranya masih perlu berbenah untuk mewujudkan ambisinya. Masih cukup waktu untuk mengejar ketertinggalan, namun di luar lomba kemajuan teknologi per-satelitan. Ada hal yang harus diwaspadai oleh pemerintah yaitu perkembangan dunia telekomunikasi.
Perkembangan dunia telekomunikasi di Indonesia sudah mencapai tahap yang mengagumkan sekaligus mengkhawatirkan. Data menunjukan Indonesia merupakan pasar terbesar bagi perusahan ponsel dunia. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah pelanggan telekomunikasi seluler di Indonesia meningkat sebesar empat kali lipat, dari 63 juta menjadi 211 juta pelanggan.
Bahkan, diperkirakan jumlah telepon selular yang beredar di Indonesia pada saat ini sebanyak 300 juta unit atau melebihi penduduk Indonesia sendiri yang berjumlah sekitar 250 juta jiwa.
Trend menggunakan ponsel sudah merambah ke semua lapisan masyarakat dari semua golongan baik itu di daerah pedesaan maupun di kota-kota besar. Ponsel sudah menjadi semacam instrumen bahkan banyak yang menjadikannya sebagai life style dengan alasan kebutuhan akan komunikasi dan informasi yang cepat.
Hal ini adalah sesuatu yang positif dan bisa dipahami di satu sisi, tetapi apabila tidak diawasi dengan ketat oleh pemerintah maka dunia telekomunikasi akan menjadi boomerang yang memungkinkan terbukanya celah dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Tentu kita masih ingat dengan kasus penyadapan terhadap mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu oleh negara tetangga.
Sementara itu kita juga masih bersyukur Telkom group sebagai penguasa terbesar di industri telekomunikasi tanah air masih “merah putih” (menguasai saham mayoritas). Saat ini sebanyak 52,09% saham Telkom adalah pemerintah, sisanya 40% saham asing dan publik sebanyak 7% dan dimiliki direksi juga komisaris 1%.
Namun hal ini tetap harus diwaspadai oleh Telkom dan pemerintah sebab tidak menutup kemungkinan misalnya, para pemilik saham asing yang menguasai sebesar 40% saham itu bisa saja melakukan persengkongkolan jahat misalnya, dengan bersama-sama menjual belikan stock mereka di pasar saham sehingga mempengaruhi harga saham Telkom melemah dan efeknya Telkom akan mengalami guncangan yang dahsyat.
Pihak asing yang terlihat dari laporan Tahunan Telkom ini memang tidak bisa diketahui secara terbuka oleh publik siapa mereka. Namun yang pasti mereka memiliki tujuan tersendiri selain penguasaan pasar telekomunikasi di Indonesia. Karena itu tantangan terberat Telkom ke depan adalah tetap harus pegang kendali.
Terakhir, hal yang juga penting dan menjadi pertanyaan. Mengapa pemerintah membiarkan penguasaan saham asing hingga mencapai 40%? Bahkan disinyalir sejak lama ini terjadi. Karena seperti diketahui Telekomunikasi adalah salah satu elemen vital yang harus dikuasai sepenuhnya oleh negara.
Jika para pemegang saham asing ini tidak dapat di kontrol dengan baik maka ambisi Telkom untuk menjadi raja Telekomunikasi di kawasan Asia harus rela berbagi dengan kekuatan asing yang memang mempunyai ambisi mengakses sektor telekomunikasi yang merupakan sektor strategis di sebuah negara, dalam hal ini negara Indonesia. (bumwatchdog.com)