Site icon PinterPolitik.com

Ada Apa Dibalik SARA?

Harus diingat, bahwa ketika isu SARA terus dimainkan, maka bisa jadi suatu saat negara ini akan hancur.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]I[/dropcap]ni bukan kisah tentang Cinta dan Rangga – atau kalau mau dipas-paskan dengan judul, bukan pula kisah Sara dan Rangga. Ini kisah tentang SARA – Suku Agama Ras dan Antargolongan – yang akhir-akhir ini menjadi primadona dalam setiap pemberitaan media massa. Isu SARA menjadi komoditas pemberitaan paling laku dan untuk beberapa saat menyebabkan kegaduhan yang luar biasa.

Kita tentu ingat bagaimana hebohnya kasus dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah mempengaruhi kehidupan bukan hanya warga Jakarta, tetapi seluruh Indonesia dalam 6 bulan terakhir ini. Bahkan, berangkat dari kasus ini, mulai muncul suara-suara yang ingin ‘menyingkirkan’ Pancasila dari negara ini.

Kasus yang menimpa Ahok ini telah menguras energi kebangsaan dan membuat banyak orang – untuk beberapa saat – mulai melupakan sejarah bangsa ini yang dibentuk oleh keberagaman dan perbedaan. Apa yang diucapkan oleh Ahok memang telah melukai banyak orang, namun dampak selanjutnya terasa jauh lebih besar dan mempengaruhi kehidupan berbangsa secara keseluruhan. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah adanya indikasi bahwa isu SARA yang dikompor-kompori sekedar digunakan sebagai ‘mainan’ politik saja. Benarkah demikian?

Luka di Kaki Garuda

Dalam konteks demokrasi dan partisipasi politik, isu SARA itu makin menguat di seputaran pagelaran pilkada serentak beberapa waktu lalu – bahkan menjadi salah satu warna utama dalam pilkada kali ini. Di beberapa tempat, isu SARA bahkan dipakai untuk menjatuhkan lawan politik dan bahkan membuat banyak orang mengabaikan dan melupakan tulisan besar yang ada di kaki lambang negara: Bhineka Tunggal Ika.

Walaupun SARA bukan bintang film, bukan pula penyanyi terkenal, namun ia menghiasi pemberitaan berbagai media, mengalahkan berbagai acara gosip. Mungkin kalau mau disatir-satirkan, itu seperti melihat lambang negara kita, Burung Garuda, yang mulai kehilangan cengkraman pada tulisan Bhineka Tunggal Ika di kakinya: keberagaman yang menyatukan Indonesia sedang mulai perlahan-lahan lepas. Ada luka di kaki Garuda, membuatnya kehilangan kekuatan mencengkram! Jika sampai benar-benar terlepas, maka negara ini akan jadi seperti pada zaman sebelum Sumpah Pemuda – berjuang secara sendiri-sendiri.

Kita tentu ingat, bahwa dalam perjalanannya sebagai sebuah bangsa, negara kita pernah memasuki era ketika isu SARA membuat kita terpecah belah. Kerusuhan tahun 1998 merupakan salah satu contoh ketika isu SARA terhadap etnis Tionghoa menyebabkan banyak penyerangan dan pengrusakan terhadap warga beretnis Tionghoa dan aset-aset miliknya. Tragedi 1998 merupakan salah satu luka paling parah yang pernah terjadi di kaki Garuda. Melihat berbagai persoalan yang terjadi saat ini, semua tentu tidak ingin memori buruk itu terulang kembali.

Berkaitan dengan hal tersebut, kita boleh saja bertanya: apakah mungkin isu SARA memang sengaja dipolitisasi untuk tujuan tertentu? Atau jangan-jangan menguatnya isu SARA berkaitan dengan sedang menguatnya politik identitas di berbagai belahan dunia? Apa sebenarnya politik identitas itu?

SARA dan Politik Identitas Mayoritas

Saat ini, politik identitas sedang mengalami masa-masa penguatan kembali – khususnya dalam konteks identitas mayoritas. Politik identitas bisa diartikan secara sederhana sebagai sebuah gerakan politik oleh sekelompok orang yang berbasis pada kesamaan identitas. Identitas ini terbentuk berdasarkan kepentingan, suku, agama, umur, jenis kelamin, kelas, etnis, bahasa, dan lain sebagainya. SARA adalah salah satu bagian dari identitas seseorang, maka SARA pun masuk sebagai unsur dalam politik identitas.

Politik identitas umumnya muncul dari kelompok-kelompok yang termarjinalkan, sebut saja gerakan feminisme, atau gerakan kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Namun, saat ini, gerakan penguatan politik identitas justru banyak terjadi pada kaum mayoritas. Politik identitas mayoritas ini seolah menjadi antitesis atau kutub yang bersebelahan dari politik identitas minoritas. Bahkan, kelahiran politik identitas mayoritas merupakan akibat dari politik identitas minoritas.

Kemenangan Donald Trump pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016 lalu merupakan salah satu akibat dari menguatnya politik identitas mayoritas yang terjadi pada kaum kulit putih-Kristen di Amerika Serikat. Hal ini juga menandai menguatnya gerakan politik kanan-konservatif di berbagai negara di seluruh dunia.

Marine Le Pen di Perancis, Frauke Petry di Jerman, Geert Wilders di Belanda, Harald Valimsky di Austria, serta Matteo Salvini di Italia merupakan beberapa contoh pemimpin dari gerakan-gerakan kanan-konservatif yang mengambil momentum kemenangan Donald Trump. Bahkan, banyak pihak mengatakan bahwa gelombang pemimpin kanan-konservatif ini akan melahirkan fasisme baru – gerakan yang mirip dengan Nazi-Hitler di Jerman, atau Benito Mussolini di Italia.

Demokrasi vs Suara Mayoritas

Menguatnya politik identitas mayoritas sesungguhnya akan menabrak prinsip-prinsip utama demokrasi yang menjunjung prinsip-prinsip kesamaan. Demokrasi yang representatif akan menjadi alat bagi mayoritas untuk memenangkan kepentingannya dan mengakibatkan kaum minoritas tersisih di dalamnya.

Dengan demikian, pada satu sisi, politik identitas mayoritas sesungguhnya akan mematikan meritokrasi – sebuah sistem pemerintahan di mana pemimpin dipilih berdasarkan prestasinya – dalam demokrasi, dan dengan sendirinya suatu saat bisa meruntuhkan demokrasi itu sendiri. Politik identitas mayoritas akan menutup kesempatan bagi orang dari kelompok minoritas yang memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk menjadi pemimpin. Politik identitas mayoritas hanya akan mengembalikan peradaban dunia pada zaman sebelum Perang Dunia II terjadi. Saat itu Hitler menggunakan kebanggaan nasionalisme ras Arya yang dianggap sebagai ras yang unggul untuk menyingkirkan orang-orang Yahudi dan etnis-etnis lain dari Jerman. Politik identitas ras Arya telah membuat Hitler melakukan salah satu genosida terbesar sepanjang sejarah.

Saat ini, angin politik identitas itu kembali menguat. Persoalannya, politik identitas ini akan menjadi sumber konflik baru di masa depan. Hal inilah yang oleh Samuel P. Huntington dalam teori the clash of civilization disebut sebagai penyebab konflik antarnegara di masa depan.  Clash of civilization dengan basis identitas – termasuk juga tentang SARA – akan menjadi persoalan utama di masa depan.

Lalu, apa benar politik identitas mayoritas – melalui isu SARA – itulah yang saat ini sedang menguat di Indonesia?

Politisasi Isu SARA?

Menyaksikan panggung politik domestik yang dipenuhi aksi saling sikut dan jegal mungkin membuat kebanyakan orang lelah. Tetapi, itulah politik. Makin lelah pula kalau setiap kali berbicara tentang politik, isu SARA selalu menjadi topik yang dominan. Memang tidak dapat dipungkiri, identitas seseorang akan sangat mempengaruhi persepsi politik yang dikenakan atasnya. Lalu, apa benar politik identitas mayoritas adalah hal yang saat ini sedang menguat di negeri ini?

Mungkin butuh penelitian sosial yang lebih mendalam untuk melihat persoalan ini. Namun, agaknya kalau dilihat secara kasat mata, isu SARA sebetulnya hanya dijadikan mainan politik untuk menjatuhkan lawan dan memenangkan kontestasi politik, misalnya dengan menggunakan ucapan-ucapan diskriminatif. Terkait hal tersebut, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif pernah mengatakan: “Jangan membajak Tuhan”, untuk menanggapi berbagai isu SARA yang bertebaran di sekitar Pilkada DKI Jakarta.

Sebagai salah satu negara paling plural di dunia, ada kebanggaan yang besar bisa tinggal di negeri ini. Indonesia juga merupakan sebuah negara dengan penduduk muslim moderat terbesar di dunia. Oleh karena itu, patut disayangkan isu SARA dengan mudahnya dipermainkan untuk kepentingan politik.

Karikatur: G 18

Memang, antara politik dan identitas adalah dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Namun, di banyak negara di dunia, terbukti bahwa dalam sistem yang fair, tidak tertutup kemungkinan orang dari kelompok mana pun untuk menjadi pemimpin – hal yang bisa kita temukan misalnya dalam diri Barack Obama di Amerika Serikat.

Sayangnya, saat ini banyak pihak yang begitu haus akan kekuasaan, sehingga menggunakan berbagai senjata untuk memenangkan persaingan, termasuk dengan menggunakan isu-isu SARA. Masalahnya adalah ketika ada pihak yang menggunakan isu SARA dalam politik, hal tersebut berpotensi untuk menyebar ke aspek-aspek kehidupan yang lain.

SARA dan Pembunuhan Karakter Ke-Indonesia-an

Politisasi SARA dalam tataran tertentu akan menyebabkan degradasi moral bangsa secara keseluruhan, membuat ke-Indonesia-an menjadi mudah dipecah belah, dan akan memudarkan segala perjuangan para pejuang bangsa yang bersimbah peluh dan darah berjuang untuk kesatuan negara ini. Harus diingat, ketika isu SARA terus dimainkan, maka bisa jadi suatu saat negara ini akan hancur.

Menggunakan isu-isu SARA dalam politik sesungguhnya merupakan sebuah kemunduran moral. Bahkan, pada suatu saat, isu SARA inilah yang akan merusak karakter kebangsaan Indonesia. Isu SARA bisa merusak Ke-Indonesia-an.

Mungkin bisa dimengerti bahwa pada tataran tertentu, SARA sangat mempengaruh preferensi politik seseorang terhadap calon pemimpin yang ingin dipilihnya. Namun, dengan intensitas dan publisitas yang terus menerus, penggunaan isu SARA hanya akan melahirkan kebencian sosial – sesuatu yang harus dihindari. Bahkan, kalau mau dikritisi lebih jauh, secara tidak sadar kita sedang mewariskan kebencian-kebencian itu kepada anak cucu kita sendiri. Dengan begitu banyaknya ujaran kebencian yang tersebar di mana-mana, maka jangan heran kalau kita sesungguhnya mewariskan hal yang buruk kepada anak cucu kita sendiri.

Politisasi dan penggunaan isu SARA sesungguhnya merupakan proses pembunuhan terhadap karakter ke-Indonesia-an – sebuah karakter yang digariskan oleh para pendiri negara ini. Ini merupakan harga yang terlalu mahal untuk dibayarkan jika yang dikejar hanyalah sebuah kursi kekuasaan yang mungkin hanya bertahan 5 sampai 10 tahun. Sementara akibat yang ditimbulkannya harus ditanggung mungkin untuk masa yang panjang, bahkan mungkin selama negara ini masih berdiri.

Berkaitan dengan hal tersebut, Presiden Jokowi bahkan menyebut bahwa berbagai kebebasan yang ada dalam demokrasi di Indonesia telah menyebabkan demokrasi kita kebablasan. Orang dengan mudahnya terprovokasi, saling membenci, dan melupakan nilai-nilai luhur kebangsaan. Radikalisme makin menguat, liberalisme menjadi-jadi, dan orang akhirnya lupa pada Pancasila. Hal ini diperparah dengan penggunaan isu SARA dalam politik. Jadilah bangsa ini diadu domba dan dipecah belah.

Kita mungkin perlu belajar bagaimana politik identitas fasisme – Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, atau Perdana Menteri Tanaka di Jepang – telah menyebabkan kerusakan yang masif pada tataran global dan baru bisa disembuhkan dalam kurun waktu yang lama pula. Selama negara ini masih berpegang pada tulisan di kaki burung Garuda, maka sampai kapan pun, tidak ada pihak yang mampu mengalahkan kita. ‘Musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri’, demikian kata R.A. Kartini.

Memulihkan Ke-Indonesia-an dengan Melawan Kebencian

Pekerjaan rumah terbesar yang harus dilakukan saat ini adalah melawan bibit-bibit kebencian yang disebar dengan menggunakan isu-isu SARA tersebut.

(Baca: Menghalau Kebencian Dari Indonesia)

Selama masih banyak pihak yang sadar akan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan negara ini, maka bagaimana pun bentuk dan rupa kebencian yang disebar tersebut akan dengan mudah ditanggulangi. Peran dunia pendidikan juga sangat penting untuk melahirkan pribadi-pribadi yang menghormati sesamanya dan menjunjung tinggi kebhinekaan.

Upaya untuk memulihkan ke-Indonesia-an merupakan keharusan. Perlu ada rekonsiliasi pada tingkat nasional untuk memulihkan situasi sosial-politik yang telah terpecah belah akibat kontestasi politik yang terjadi pada pilkada DKI Jakarta. Harus diakui, pilkada DKI Jakarta telah membawa dampak yang luas pada tingkat nasional. Oleh karena itu, perlu ada rekonsiliasi kebangsaan untuk mencegah semakin meluasnya perpecahan. Akan menjadi cerita yang sangat lucu jika pada akhirnya negara ini terpecah belah hanya karena perebutan kursi DKI 1.

‘Ada Apa Dengan SARA’ (AADS) mungkin kisahnya tak sebagus ‘Ada Apa Dengan Cinta’ (AADC). Tak ada manis-manis Rangga dan Cinta. Namun, kisahnya akan berakhir satir jika pada akhirnya bangsa ini terpecah belah karena ulah politisasi isu SARA. Selama kaki Garuda masih erat menggenggam Bhineka Tunggal Ika, maka seberat apa pun ia dilukai, ia akan tetap terbang tinggi di langit. Selama semua masyarakat Indonesia masih percaya tentang pentingnya Pancasila, maka tidak ada satu setan pun yang bisa memecah belah bangsa ini. (S13)

 

Exit mobile version