Sejak Selasa (04/04) lalu, pesawat-pesawat militer yang diduga milik rezim Bashar Al-Assad menjatuhkan gas kimia beracun di Kota Khan Sheikhoun, Idlib. Perang saudara mematikan yang terjadi di abad 21, sedang kita saksikan bersama saat ini.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]K[/dropcap]ota Khan Sheikhoun merupakan wilayah kaum pemberontak yang beroposisi dengan rezim Al Assad. Hussein Kayal, seorang fotografer untuk Idlib Media Center melalui BBC memberi kesaksian, ia terbangun oleh suara ledakan bom pukul 06:30 pagi.
Ketika sampai di lokasi kejadian, tempat tersebut tidak berbau. Namun, sebuah keluarga di dalam rumah, tergeletak di lantai dengan mata terbuka lebar dan tidak bisa bergerak.
Washington Institute pada tahun 2016 meramalkan kota Idlib, Raqqa, dan Deir al Zour, akan menjadi sasaran setelah Aleppo.
Daerah barat Aleppo, menurut analis strategi geopolitik Amerika, merupakan basis pemberontak terdekat yang bisa dicapai. Setelah kekuatan militer rezim sudah mantap di sekitar Aleppo, mereka belum sepenuhnya aman dari kelompok pemberontak Jabhat Fatah al-Sham (JFS), anak dari Al-Qaeda. Maka, bergerak ke arah Idlib merupakan pilihan terdekat yang dilakukan pihak rezim. Analisis tersebut benar adanya.
Gas sarin yang dipakai pihak rezim melumpuhkan kota Khan Sheikhoun adalah zat tidak berasa, tidak berwarna dan tidak berbau. Oleh pihak Centers for Disease Control and Prevention (CDC), gas sarin digambarkan sebagai sebuah senjata perang buatan manusia. Gas sarin berbentuk cairan namun dapat berevaporasi menjadi gas dan menyebar.
Karena cirinya tak bisa dideteksi, tidak berasa, berbau, dan berwarna, sangat sulit bagi manusia untuk mengenalinya. Namun, seseorang yang terkena gas sarin akan mengeluarkan cairan dari hidung, mata perih, air liur terus keluar, napas menjadi pendek, berlebihan buang air kecil dan mual. Jika terpapar gas secara ekstrim, akan mengalami gejala ketidaksadaran, kelumpuhan, kegagalan bernapas, dan kematian.
Penggunaan senjata kimia berupa gas beracun sarin, sesungguhnya sudah dilarang kurang dari empat tahun lalu. Melalui desakan internasional, Assad bahkan menandatangani perjanjian untuk tidak lagi menggunakan senjata kimia, pada kali pertama dilancarkan di Damaskus tahun 2013 lalu. Namun, hal tersebut tidak lagi diindahkannya lagi. Pihak Assad kembali menggunakan senjata kimia pada penyerangan di Idlib.
Menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), korban tewas berjumlah 58 orang, 11 diantaranya adalah anak-anak. Sedangkan laporan dari badan Uni perawatan Medis dan Organisasi Bantuan-Bantuan (UOSSM), korban meninggal lebih dari 100 orang.
Merespon Serangan Gas Assad
Turki, Amerika Serikat (AS) dan Rusia merupakan pihak yang langsung memberikan respon. Menteri Kehakiman Turki, Bekir Bozdag, tegas menyatakan yang dilakukan Assad melanggar hukum, karena penggunaan senjata kimia. Hal tersebut dilakukan setelah Turki mengautopsi tiga warga yang meninggal terkena gas sarin.
AS tak kalah mengejutkan. Presiden Donald Trump, mengancam akan mengambil tindakan sepihak terhadap rezim Suriah menyusul serangan di Idlib. “When you kill innocent children, innocent babies, babies, little babies, with a chemical gas that is so lethal, people were shocked to hear what gas it was, that crosses many, many lines, beyond red line.” Yang kurang lebih berarti, ketika kamu membunuh anak-anak, bayi, dan orang-orang yang tak bersalah menggunakan gas kimia, maka itu sudah melewati batas.
Beberapa jam setelah menyatakan respon di Gedung Putih, pihak milter AS mengirimkan serangan rudal ke Suriah. Tujuan serangan tersebut, oleh pejabat Departemen Pertahanan AS adalah untuk menggentarkan rezim (Suriah) sehingga tidak menggunakan senjata kimia lagi.
Oleh BBC, serangan dimulai pukul 04:40 waktu Suriah dengan total 59 rudal Tomahawk. Rudal diluncurkan dari kapal USS Porter dan USS Ross dan memiliki sasaran target pesawat, hangar, area penyimpanan, ruang paskan amunisi di bawah tanah, sistem pertahanan udara, serta radar di Pangkalan Udara Shayrat, Provinsi Homs. Tujuan tersebut diperkirakan menyimpan gas-gas kimia beracun.
Apa yang dilakukan Trump, sama sekali berbeda dengan tahun 2013 saat presiden AS sebelumnya, Barack Obama mengintervensi Suriah. Melalui Twitter, ia menyatakan demikian.
AGAIN, TO OUR VERY FOOLISH LEADER, DO NOT ATTACK SYRIA – IF YOU DO MANY VERY BAD THINGS WILL HAPPEN & FROM THAT FIGHT THE U.S. GETS NOTHING!
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) September 5, 2013
Hal ini menggambarkan secara gamblang perubahan pandangan politik Trump terhadap konflik berdarah yang berlangsung di Suriah. Ia melakukan intervensi sepihak terhadap penyerangan gas kimia dengan mengirim serangan rudal. Kejadian ini membuat lebih banyak lagi korban berjatuhan. Sampai saat ini, kurang lebih 7 orang tewas, dan masih akan terus bertambah.
Inggris, Australia, Israel, Perancis, Saudi Arabia dan Jepang, seperti yang dilansir oleh The Guardian, sudah menetapkan posisinya di berada di tempat yang sama dengan Amerika. Mereka mendukung serangan Amerika ke Suriah.
Rusia dan Tiongkok, pihak yang ditengarai selalu berada di posisi bersebrangan dengan Amerika Serikat dan kerap menolak resolusi PBB menentang Assad, mulai menerima pertemuan PBB dan sama-sama menghindari bentrokan yang lebih buruk.
Jubir Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hua Chunying mengatakan bahwa pihaknya mengecam penggunaan senjata kimia baik oleh negara, perorangan, organisasi, dan tujuan apapapun.
#BREAKING Russia calls for UN Security Council meeting on US Syria strikes
— AFP news agency (@AFP) April 7, 2017
Pihak pemberontak turut menyambut langkah yang dilakukan Amerika Serikat. Mohammed Aloush, salah satu tokoh kunci oposisi Faksi Army of Islam bahkan menyampaikan, “menyerang satu pangkalan udara saja belum cukup. Masih terdapat 26 pangkalan yang menyerang sipil. Seluruh dunia harus menyelamatkan Suriah dari cengkraman Assad dan kroninya.” ujarnya seperti yang dilansir oleh AFP (Agence France-Presse) News Agency.
Sedangkan Indonesia, masih sangat berhati-hati menentukan posisinya. Jubir Kementerian Luar Negeri, Armanatha Nasir, mengatakan kepada Reuteurs mengecam penggunaan senjata kimia di Suriah. Ia juga menambahkan, “Pada saat yang bersamaan, Indonesia juga sangat khawatir terhadap langkah sepihak (unilateral) yang dilakukan beberapa pihak, termasuk penggunaan rudal Tomahawk, dalam merespon serangan gas kimia di Suriah.”
Indonesia sebagai negara yang meratifikasi konvensi senjata kimia tahun 1998, tentu saja menolak senjata tersebut digunakan oleh siapapun dan untuk tujuan apapun.
Kapolri Jendral Tito Karnavian mengatakan, dinamika pekembangan kelompok teroris seiring perang sipil yang terjadi di Suriah, tak bisa dilepaskan dari masalah politik lokal di Suriah.
Washington dan koalisi mendukung pihak pemberontak moderat yang hendak menumbangkan Assad. Sedangkan Rusia dan mitra Suriah, termasuk Iran, menyokong Assad.
Perbedaan pandangan antara AS dan Rusia terkait konflik Suriah, menguntungkan posisi kelompok teroris ISIS di Timur Tengah dan luar kawasan.
Maka dari itu, Karnavian melanjutkan, “Indonesia sebagai negara yang memiliki hubungan yang baik terhadap Amerika dan Rusia, bersikap netral.” ia juga berharap Jakarta bisa menjadi jembatan untuk memecahan kebuntuan melawan ISIS.
Apa yang Terjadi di Suriah?
Melihat berbagai respon dunia, termasuk Indonesia, terhadap perang sipil di Suriah, mengantarkan kita pada sebuah pertanyaan dasar. Apa yang sebenarnya terjadi di Suriah?
Perang Suriah ditetapkan sebagai perang saudara mematikan yang terjadi di abad 21. Peristiwa itu, saat ini sedang kita saksikan bersama.
Konflik Suriah sudah memasuki tahun ketujuh. Lebih dari 465.000 warga Suriah tewas, dan lebih dari satu juta terluka, serta lebih dari 12 juta orang kehilangan tempat tinggal.
Semua berawal tahun 2011. Arab Spring atau Kebangkitan Arab ditandai dengan jatuhnya Presiden Tunisia, Zine El Abidine dan Presiden Mesir, Hosni Mobarak. Di waktu yang sama, saat itu protes damai yang berlangsung di Suriah, seketika ricuh. Buntutnya, 15 aktvis ditangkap dan disiksa karena membuat graffiti yang mendukung Kebangkitan Arab. Salah satu korban yang ditangkap adalah anak laki-laki berusia 13 tahun, Hamza al-Khateeb. Ia meninggal setelah disiksa.
Presiden Assad merespon dengan kekerasan. Ia mengangkap dan memenjarakan lebih banyak lagi protestan. Di saat yang pelik, tubuh militer Suriah terbagi. ‘Pembelot’ militer mengumumkan pembentukan Free Syrian Army yang ingin menggulingkan pemerintahan Assad.
Kebangkitan Arab, dinilai warga Suriah sebagai harapan atas kebebasan sipil, berakhirnya pemerintahan korup dan kesengsaraan ekonomi yang melanda negeri. Hal ini sudah dialami warga Suriah sejak kepemimpinan Hafez, ayah Bashar al-Assad. Warga Suriah memandang Assad bukanlah sosok tepat untuk memimpin Suriah. Ia dikuliahkan ke London untuk menjadi dokter mata.
Sebelumnya, kakaknya Assad yang dipersiapkan untuk menggantikan kursi pemerintahan sang ayah. Namun, Bassel al-Assad meninggal. Dengan begitu, kepemimpinan beralih ke tangan Bashar al-Assad.
Tim Eaton, ahli Timur Tengah dari Catham House menyatakan, “Sebenarnya, muncul banyak harapan ketika ia menggantikan ayahnya pada tahun 2000. Masyarakat merasa ini mungkin kesempatan untuk menjadi lebih liberal. Namun, selama beberapa tahun, harapan itu memudar. Sejak 2011, kita telah menyaksikan kebrutalan rezim yang tak segan menggunakan strategi kekerasan.” Eaton menambahkan, bahwa Assad adalah seseorang yang bisa melakukan berbagai hal mengerikan.
Selain konflik internal negeri, intervensi negara-negara lain turut memperkeruh Suriah. Al Jazeera mencatat, koalisi global yang dipimpin Amerika Serikat telah meledakan beberapa kelompok ekstrimis, seperti ISIS. Namun, di sisi lain, Rusia dan Turki, terus menyuplai persenjataan kepada kelompok pemberontak Suriah.
Eaton mengingatkan, bahwa kita tidak bisa memandang para pemberontak sebagai satu kelompok dengan satu sudut pandang, satu rantai komando, dan satu pesan politik. Tidak bisa menganggap suatu kelompok sebagai sepenuhnya baik dan yang lain jahat, “ Ada kelompok pemberontak yang tidak didukung oleh Barat, yaitu yang menamakan diri ISIS. Namun, ada brigade Merdeka Suriah, yang jelas didukung Barat.
“Semua adalah suatu permainan kekuatan global. Barat dan Rusia berusaha menempatkan posisi mereka di puncak permainan.” ujarnya.
Keadaan Suriah Saat Ini
Perang sipil di Suriah telah menebarkan pengaruhnya melewati batas-batas negara. Warga Libanon, Turki, dan Yordania merupakan penduduk yang terkena imbas peperangan. Kehilangan rumah dan berusaha mengungsi ke belahan negara dan tempat lain.
Pertumpahan darah dan korban, juga menyebar sampai ke Libanon dan turut menyumbang kerumitan polarisasi politik di dalamnya. Beberapa usaha rekonsiliasi dan perundingan bahkan menemui jalan buntu.
Dengan banyaknya reruntuhan, korban berjatuhan, jutaan warga melarikan diri ke luar negeri, dan rasa traumatis akibat perang, menyimpulkan kita pada suatu hal yang pasti, yakni proses panjang dan sulit membangun Suriah kembali di masa depan.
Untuk saat ini, tidak ada yang tahu apa lagi yang akan terjadi.
“There never was a good war, or a bad peace. I do not know with what weapons World War III will be fought, but I do know that World War IV will be fought with rocks. When the rich war, it is the poor who die.”- John Steinbeck