MK Menerima 49 sengketa hasil pemungutan suara Pilkada. Di antaranya, 4 sengketa di tingkat pemilihan Gubernur dan 45 sengketa pemilihan di tingkat Kabupaten/Kota. Pilkada serentak 2017, dengan pemungutan suara 15 Februari, berlangsung di 101 daerah. Perinciannya, 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota.
pinterpolitik.com
Mahkamah Konstitusi hanya memiliki waktu 45 hari kerja untuk menyelesaikan pemeriksaan sengketa hasil pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2017, sejak perkara itu diregistrasi.
Sidang pertama atau pemeriksaan pendahuluan, dengan agenda mendengarkan permohonan dan memberikan nasihat kepada pemohon atas permohonan sengketa pilkada, dijadwalkan pada 16-22 Maret 2017. Sedang pemeriksaan persidangan dilaksanakan 20-24 Maret 2017.
Ketika memberikan penjelasan di Jakarta, belum lama ini, Ketua MK Arief Hidayat mengemukakan, sesuai jadwal, hasil pemeriksaan persidangan nantinya dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim, pada 27-29 Maret 2017.
“Setelah itu, sidang pleno pengucapan putusan dismissal akan dilaksanakan pada 30 Maret sampai 5 April 2017. Perkara-perkara yang terbukti tidak memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan akan diputus,” ujarnya.
Dengan demikian, akan dapat diketahui perkara-perkara yang akan masuk ke tahap pemeriksaan persidangan tahap berikutnya. Selanjutnya, untuk perkara yang dinyatakan dapat dilanjutkan, MK akan menggelar persidangan pada 6 April sampai 2 Mei 2017. Hasil pemeriksaan persidangan akan dibahas dan diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim, pada 3-9 Mei 2017. Seluruh perkara akan mendapat putusan final antara tanggal 10 sampai 19 Mei 2017.
“Artinya, seluruh perkara perselisihan hasil pilkada serentak akan dituntaskan pada 19 Mei 2017, sesuai dengan perkembangan perkara yang masuk. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan bahwa MK menyelesaikan perkara perselisihan hasil pilkada serentak paling lambat 45 hari kerja, sejak perkara diregistrasi,” katanya.
Seperti diberitakan, hingga penutupan pendaftaran beberapa waktu lalu, MK menerima 49 sengketa hasil pemungutan suara pilkada. Di antaranya, 4 sengketa di tingkat pemilihan gubernur dan 45 sengketa pemilihan di tingkat kabupaten/kota. Pilkada serentak 2017, dengan pemungutan suara 15 Februari, berlangsung di 101 daerah. Perinciannya, 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota.
Persyaratan Selisih Suara
Sebelumnya, MK sudah menetapkan persyaratan bahwa hasil perolehan suara yang dapat disengketakan harus selisih 0,5 – 2 persen dari total suara sah. Dengan begitu, jika selisih perolehan suara lebih dari 2 persen, sengketa tersebut tidak dapat diterima oleh MK.
Berkaitan dengan itu, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, berpendapat, ketentuan tersebut memicu pelanggaran secara masif, termasuk praktik politik uang. Pasangan calon (paslon) atau tim pemenangannya akan melakukan upaya apa pun agar mendapatkan selisih angka yang terpaut jauh dari pesaingnya.
“Ada kecenderungan hal itu dijadikan acuan untuk melakukan pelanggaran secara masif,” kata Fadli dalam diskusi bertajuk “Pro Kontra Ambang Suara Sengketa Pilkada”, di Jakarta Pusat, Kamis (2/3).
Ia mengatakan, di sejumlah daerah terdapat pasangan calon yang selisih angka perolehan suaranya sedikit di atas 2 persen dari pesaingnya. Jika mengacu pada syarat, maka kekalahan dalam pemungutan suara tidak bisa disengketakan ke MK.
Secara terpisah, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, seharusnya pada tahap sidang panel Hakim Konstitusi tidak hanya memeriksa terkait syarat formalnya saja, tetapi juga kelengkapan materi permohonan. Dengan demikian, jika ditemukan indikasi penyelewengan dapat diperdebatkan dan dibuktikan dalam sidang pleno.
Ia menyarankan MK membuka sedikit keran itu dan itulah gunanya pemeriksaan pendahuluan. “Meskipun belum masuk pokok perkara, di situ bisa dilihat bukti-bukti yang diajukan,” kata Dosen Tata Negara di Universitas Andalas itu.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Adam Mulya B, mengatakan, dari 49 permohonan perselisihan suara Pilkada Serentak 2017 yang diajukan ke MK diperkirakan hanya tujuh gugatan yang akan lolos untuk diproses di sidang pleno.
Ia mengatakan, ketujuh daerah pemilihan bupati/wali kota dan gubernur itulah yang memenuhi persyaratan ambang batas selisih perolehan suara. Hanya tujuh sengketa yang diperkirakan memenuhi ambang batas waktu dan suara, kata Adam dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (2/3).
Ketujuh daerah itu, Kabupaten Takalar, selisih perolehan suara pasangan calon Burhanuddin B-Natsir Ibrahim dari Syamsari-Achmad Dg Se’re, 1,16 persen. Kabupaten Gayo Lues, selisih perolehan suara pasangan calon Abdul Rasad-Rajab Marwan dari pasangan calon Muhammad Amru-Said Sani, 1,43 persen. Kota Salatiga, selisih perolehan suara pasangan calon Agus Rudianto-Dance Ishak dari Yuliyanto-Muhammad Haris, 0,94 persen.
Kemudian, Kabupaten Bombana, selisih perolehan suara pasangan calon Kasra Jaru-Man Arfah dari Tafdil-Johan Salim, 1,56 persen. Kota Yogyakarta, selisih perolehan suara pasangan calon Imam Priyono-Achmad Fadli dari Haryadi Suyut-Heroe Poerwadi, 0,59 persen. Kabupaten Maybrat, selisih perolehan suara pasangan calon Karel Murafer-Yance Way dari pesaingnya Bernard Sagrim-Paskalis Kocu, 0,33 persen. Provinsi Sulawesi Barat, selisih perolehan suara pasangan calon Suhardi Duka-Kalima Katta dari pasangan calon Ali Baal-Enny Anggraeny Anwar, 0,75 persen.
Menurut Adam Mulya, dalam sidang panel nanti sebaiknya Hakim Konstitusi melihat secara seksama seluruh permohonan, tak hanya soal selisih suara, tetapi juga pelanggaran yang kemungkinan terjadi dalam suatu daerah.
Mengenai dasar hukum persyaratan selisih suara, Juru Bicara MK, Fajar Laksono, di Gedung MK Jakarta, Kamis (23/2), mengatakan, UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) dan Peraturan MK No. 1 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilkada.
Ia mengatakan, sedianya proses persidangan dibagi tiga majelis panel, namun lantaran Hakim Konstitusi Patrialis Akbar terlibat dugaan kasus suap dan sudah diberhentikan, akhirnya untuk sementara MK menggunakan dua majelis panel, masing-masing panel dengan empat Hakim Konstitusi.
Tetapi, jika sudah lengkap lagi menjadi sembilan hakim, maka proses persidangan dibagi menjadi tiga majelis panel dengan tiga hakim di masing-masing panel.
Persiapan dan pelaksanaan sidang sengketa pilkada serentak tahun ini tidak jauh berbeda dari pemeriksaan sengketa pilkada serentak pertama, pada akhir 2015. Yang berbeda pengumuman pendaftaran, sejak KPUD mengumumkan hasil penghitungan suara yang tadinya 3 x 24 jam menjadi 3 hari kerja. Dulu penyelesaian sengketa pilkada 45 hari harus selesai, tetapi sekarang maksimal 45 hari kerja.
Pengamanan Sidang MK
Bagaimana mengenai pengamanan sidang-sidang sengketa di MK nanti? Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Martinus Sitompul, di Jakarta, Selasa (7/3), mengatakan, polisi telah mempersiapkan skenario untuk mengantisipasi potensi kericuhan dan tindakan anarkistis.
Pengamanan disasarkan kepada orang, termasuk pengunjung, agar jangan sampai berbenturan dan bertikai yang secara fisik menimbulkan anarkisme. Polri belajar dari pola pengamanan sidang sengketa di MK sebelumnya. Pengamanan juga diperketat di ruang sidang. Polisi akan membuat posko sebagai tempat personel yang akan berjaga selama 24 jam.
“Kami minta izin (ke MK) untuk mendirikan posko lalu kita sampaikan saran dari sisi pengamanan,” kata Martinus.
Barang-barang di dalam ruang sidang diamankan agar bisa digunakan sebagaimana mestinya. Untuk rencana pengamanan, Polri akan berkoordinasi dengan MK. Martinus berharap situasi akan kondusif hingga sidang perselisihan hasil pilkada selesai.
Badan Peradilan Khusus
Pelaksanaan sidang sengketa pilkada tahun ini tentu akan berkaca dari pengalaman tahun 2015. Dengan demikian kita berharap sidang-sidang sengketa tahun 2017 ini, baik itu pendahuluan maupun lanjutan, lebih baik dari sebelumnya.
Mengingat negara kita masih akan menyelenggarakan pilkada-pilkada serentak, kita pun berharap gagasan membentuk badan peradilan khusus untuk memeriksa sengketa pilkada dapat segera terwujud.
Perbedaan pandangan mengenai rencana pembentukan badan peradilan khusus, misalnya menyangkut siapa yang paling berhak membentuknya dan atau apakah badan dimaksud nantinya di bawah Mahkamah Agung atau MK, sebaiknya dihilangkan. Dengan demikian, pada pilkada serentak mendatang sudah tersedia badan peradilan khusus yang menangani sengketa pilkada. (Berbagai sumber/E19)