HomeNalar PolitikAnies-RK “Tantang” Partai Politik?

Anies-RK “Tantang” Partai Politik?

Kemesraan antara Anies Baswedan dan Ridwan Kamil ditunjukkan kembali di sosial mediaJika sebelumnya sempat viral dengan istilah politik “teh botol”kini keduanya terlihat adu pinalti di stadion JIS. Lantas, mungkinkah keduanya ingin mencuri perhatian partai politik? Ataukah sebaliknya, ingin berikan kesan menantang partai politik?


PinterPolitik.com

Video adu penalti antara Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta dengan Ridwan Kamil (RK), Gubernur Jawa Barat di lapangan Jakarta International Stadium (JIS), yang diunggah oleh keduanya di akun sosial media mendapat banyak perhatian warganet.

Kemesraan keduanya dinilai sebagai upaya untuk menarik perhatian publik dan partai politik. Tentunya karena kedua Gubernur ini dinilai memiliki keinginan yang sama, yaitu tampil sebagai kandidat pada kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang akan datang.

Ujang Komarudin, pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, mengatakan apa yang ditampilkan Anies dan Ridwan Kamil sudah seharusnya mesra, dikarenakan keduanya tidak punya tiket partai politik (parpol) untuk berlaga di Pilpres 2024.

Ujang menambahkan, kedua kepala daerah itu memang memiliki elektabilitas yang tinggi. Hanya saja, elektabilitas akan menjadi percuma jika keduanya tidak memiliki kendaraan. Sehingga mereka harus berusaha untuk menarik perhatian dan kemudian dipinang oleh partai politik sebagai calon pada Pilpres 2024 mendatang.

Sebenarnya, peristiwa serupa juga pernah diperlihatkan oleh Anies dan Ridwan Kamil pada pertengahan tahun 2021. Keduanya menjadi sorotan saat  menyantap hidangan di salah satu restoran, di mana Anies dan RK memperlihatkan minuman teh botol.

Pertemuan itu disebut-sebut sebagai pertemuan politik teh botol. Seperti diketahui, anekdot “teh botol” ini sempat ramai menjadi perbincangan dalam sebuah rekaman yang memperdengarkan suara Bambang “Pacul” Wuryanto, Ketua Bappilu PDIP. Bambang menyatakan, siapapun calon presiden yang diusung PDIP pada Pilpres 2024, wakilnya harus Puan Maharani.

Menurut konstitusi, hingga saat ini belum membuka peluang, kecuali mengamandemen kembali Undang-Undang Dasar (UUD) = 45. Artinya, satu-satunya pintu untuk mendapat tiket sebagai calon presiden maupun wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD 45.

Lantas, dengan derasnya simpati publik terhadap Anies dan Ridwan Kamil, apakah keduanya mampu “menantang” kuasa partai politik untuk mengusungnya?

Baca juga: Anies-Ridwan Kamil, Duel atau Duet?

Menuai Berkah Deparpolisasi

Sebagai negara yang menganut pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika, pengusungan pemimpin negara dari jalur independen masih belum dapat diterapkan di Indonesia. Maju tanpa dukungan parpol tidak akan memiliki kawan seideologi yang menduduki kursi legislatif. Hal tersebut akan berimbas buruk apabila kandidat tersebut berhasil terpilih.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Meski secara bentuk pemerintahan dan konstitusi tidak mendukung. Tapi muncul semacam fenomena politik baru di masyarakat yang melihat bahwa kandidat tanpa parpol seolah lebih baik dibanding kandidat yang berasal dari parpol.

Fenomena seperti ini sering diistilahkan dengan deparpolisasi. Berbeda dengan orang yang tidak percaya politik yaitu apolitis, deparpolisasi masih percaya politik tapi tidak percaya dengan sistem kepartaian yang dirasa tidak mempunyai efek bagi masyarakat.

Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, mengatakan deparpolisasi terjadi antara parpol dan pemilih yang disebabkan oleh dua hal, yakni afeksi psikologis dan rasional. Deparpolisasi ini menihilkan peran parpol dalam demokrasi yang terjadi di dunia perpolitikan Indonesia.

Pasca Reformasi, akibat dari deparpolisasi ini, tingkat kedekatan pemilih dengan partai politik merosot tajam. Pemilih semakin sinis terhadap parpol karena tidak menyalurkan kepentingan mereka. Akibatnya, saat ini yang dicari pemilih adalah calon pemimpin yang populer dan elektabilitasnya tinggi.

Pada posisi inilah tokoh-tokoh non-partai seperti Anies dan Ridwan Kamil diberikan angin segar. Keduanya seolah mendapat limpahan dukungan dari sinisnya masyarakat terhadap parpol akibat deparpolisasi tersebut. Mereka hadir menjadi pilihan alternatif untuk menyampaikan kepentingan masyarakat, apalagi keduanya diuntungkan sebagai Gubernur yang punya kuasa untuk mengambil kebijakan.

Firman Noor dalam tulisannya Kegagalan Partai Politik Menarik Simpati Rakyat, mengatakan rendahnya kepercayaan publik terhadap partai dikarenakan kerja-kerja parpol yang secara umum belum bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat.

Firman melanjutkan, parpol di era kontemporer pada batas batas tertentu belum banyak mencapai kemajuan dalam persoalan yang terkait dengan kekuasaan politik tidak langsung (indirect power), di mana aspek aspek sosial budaya kemanusiaan dan lingkungan menjadi tema utama di dalamnya.

Hal ini disebabkan oleh paradigma lama dalam melihat politik hanya sebagai pertarungan dalam perebutan kekuasaan tampak masih melekat di benak sebagian besar parpol di Indonesia. Dalam paradigma ini persoalan merebut simpati rakyat hanya pada saat menjelang suksesi.

Sementara investasi politik jangka panjang melalui kerja-kerja sosial yang intensif terencana dan menyentuh persoalan kepentingan masyarakat banyak tidak mendapat tempat. Oleh karenanya, dalam atmosfer itu parpol sesungguhnya lebih memposisikan dirinya sekadar menjadi lembaga pendulang suara dalam makna sempit.

Konsekuensinya, bila masalah itu terus berlangsung, maka makin merenggang jarak antara parpol dengan masyarakat. Dengan hanya memposisikan diri sebagai mesin pendulang suara, partai politik akan dipandang menjadi suatu institusi yang asing, ketimbang sebagai media bagi rakyat dalam mewujudkan cita citanya.

Meskipun imbas deparpolisasi ini berdampak positif terhadap kandidat yang sejauh ini belum masuk atau bukan dari parpol, tapi persoalan besarnya, partai menjadi satu-satunya alat untuk pencalonan pada Pilpres 2024 tidak bisa dihindari. Lantas, mungkinah Anies-RK tetap konsisten untuk tidak berpartai meski punya kepentingan pencalonan pada Pilpres 2024 mendatang?

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Baca juga: Indonesia Butuh Ridwan Kamil di 2024?

Anies-RK atau Parpol yang Menang?

Sejak lama, narasi politik tentang syarat calon presiden dan calon wakil presiden berasal dari independen dihembuskan. Tentunya ini menjadi angin segar bagi para kandidat yang sejauh ini bukan merupakan anggota parpol.

Kita tahu bahwa Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pernah menawarkan perubahan Pasal 6A UUD 1945 menjadi, “Pasangan calon presiden dan wakil presiden berasal dari usul partai peserta pemilihan umum atau perseorangan”.

Usul ini sesuai dengan prinsip demokrasi, terkait dengan pengakuan hak-hak warga untuk bersaing sebagai calon presiden dan wakil presiden. Apalagi keran calon independen telah dibuka di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Kandidat independen masih menjadi ilusi dalam konteks politik Indonesia saat ini, mengakibatkan  calon-calon presiden yang digadang-gadang berlaga di Pilpres 2024 memilih pilihan realistis untuk masuk parpol.

Emrus Sihombing, pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH), mengatakan kans tokoh non-parpol pada pilpres sangatlah kecil. Alternatif yang muncul adalah capres kemungkinan besar datang dari parpol, sedangkan untuk cawapres barulah kemungkinan bisa dari tokoh non-parpol.

Adi Prayitno, analis politik UIN Syarif Hidayatullah, beranggapan Anies harus pandai menjaga popularitas dan elektabilitasnya selama dua tahun tanpa panggung politik, jika ingin tetap maju sebagai capres 2024. Misalnya, dengan masuk ke partai politik untuk mengamankan kendaraan politik menuju pilpres.

Tentunya kedekatan Anies dengan Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan yang terakhir mesra yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memperlihatkan sikap sadar dan realistis bahwa partai menjadi kunci pencalonannya.

Di sisi lain, Ridwan Kamil dalam berbagai pemberitaan menyatakan dirinya masih beristikharah terkait pilihannya bergabung dengan parpol. Disebutkan, ia akan memantapkan pilihan parpol pada tahun 2022.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa sejauh apapun akrobat yang diperlihatkan oleh Anies dan RK sebagai kandidat yang punya popularitas tinggi untuk bertarung pada Pilpres 2024, keduanya akan tetap memilih parpol sebagai alat untuk berkompetisi.

Pada akhirnya, terlepas dari semuanya, kandidat yang muncul pada Pilpres 2024, diharapkan seorang credible alternative. Ia adalah sosok yang harus siap diuji rekam jejaknya, serta kompetensi dan kapasitasnya sebagai calon pemimpin. (I76)

Baca juga: Mengapa Puan ‘Mirip’ Teh Botol?


Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...