Menko Polhukam Mahfud MD secara lugas menyebut korupsi saat ini lebih meluas dari Orde Baru. Para koruptor juga disebut tengah bersatu menghantam KPK. Apakah Mahfud mengakui tengah terjadi pelemahan KPK? Atau ada intrik politik lain di balik pernyataan tersebut?
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men…” – John Dalberg-Acton (Lord Acton), sejarawan asal Inggris
“Pak Mahfud mencoba bicara jujur.” Begitu pernyataan Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera pada 20 Desember 2020 ketika menanggapi kritik berbagai pihak yang menyebut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD tengah melakukan blunder.
Saat itu, pernyataan Mahfud yang mempersilahkan pendukung Habib Rizieq Shihab (HRS) untuk menjemput di Bandara Internasional Soekarno-Hatta dinilai sebagai faktor penyebab kerumunan. Namun Mardani, justru melihat pernyataan tersebut sebagai sikap jujur dan komitmen Mahfud.
Bagi mereka yang mengikuti sepak terjang Mahfud, sekiranya mengafirmasi pernyataan Mardani. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini memang dikenal jujur dan blak-blakan dalam menjelaskan realitas politik.
Terbaru, dalam diskusi bersama Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) dan sejumlah pimpinan universitas di Yogyakarta, Mahfud kembali menunjukkan kejujurannya. Tegasnya, korupsi saat ini lebih meluas dari Orde Baru.
Baca Juga: Justifikasi Korupsi ala Mahfud MD?
Francis Fukuyama dalam bukunya Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21 juga mengafirmasi pernyataan Mahfud. Menurut Fukuyama, desentralisasi kekuasaan sejak Reformasi yang membawa otonomi daerah telah berkonsekuensi pada terjadinya korupsi di semua tingkatan eselon.
Lebih mengejutkan lagi, Mahfud menyebut, “koruptor-koruptor yang dendam dan koruptor yang belum ketahuan tetapi takut ketahuan ini sekarang bersatu untuk hantam itu (KPK).” Wow. Sangat jujur. Pernyataan terbuka semacam ini sekiranya sulit ditemukan di pejabat lainnya.
Lantas, apa yang dapat dimaknai dari pernyataan Mahfud ini?
Endemic Corruption
Poin Mahfud yang menyebut korupsi tengah begitu meluas adalah apa yang disebut sebagai endemic corruption atau systemic corruption. Nava Kahana dan Liu Qijun dalam tulisannya Endemic corruption menyebutkan terdapat dua sumber endemic corruption.
Pertama, korupsi berada di dalam birokrasi di mana pejabat pemerintah tingkat yang lebih tinggi mengambil uang dari pejabat tingkat yang lebih rendah. Sama halnya dengan birokrasi, korupsi juga melewati hierarki. Suap yang diterima pejabat tingkat yang lebih rendah akan diterima pejabat yang lebih tinggi. Begitu seterusnya.
Kedua, tidak ada prinsipal atau mekanisme yang berusaha memastikan bahwa bawahan tidak melakukan korupsi. Ini karena pejabat yang lebih tinggi merasa lebih diuntungkan dari korupsi atau suap yang diterima bawahannya.
Penjelasan Kahana dan Qijun sangat terlihat pada kasus operasi tangkap tangan (OTT) mengejutkan yang menjerat Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Nurdin Abdullah.
Baca Juga: Menyingkap Tabir OTT Nurdin Abdullah
Sosok yang meraih penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) pada 2017 ini diduga menerima uang dari Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto melalui Sekretaris Dinas PUTR Provinsi Sulsel, Edy Rahmat.
Seperti yang disebutkan Francis Fukuyama, meluasnya korupsi memang tidak terlepas dari desentralisasi kekuasaan. Di Orde Baru, meskipun korupsi jamak terjadi, kasusnya cenderung terpusat, serta tidak menyebar di seluruh daerah dan tingkatan eselon.
Mengutip pernyataan terkenal John Dalberg-Acton, “Power tends to corrupt”, penyebaran kuasa akibat desentralisasi dan otonomi daerah tampaknya yang mendorong psikologi pejabat daerah untuk melakukan korupsi.
Selain desentralisasi, masalah sistemik lainnya adalah sistem multi-partai. Atas nama demokrasi, Reformasi telah membawa semangat untuk melahirkan partai-partai politik baru. Berbeda dengan Orde Baru yang hanya diisi oleh tiga partai, ini tentu adalah kemajuan demokrasi.
Akan tetapi, sistem ini melahirkan masalah korupsi yang mengakar karena partai politik tidak diizinkan untuk mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. Ini tertuang dalam Pasal 40 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Larangan tersebut tentunya membuat partai kesulitan dalam memenuhi kebutuhan logistiknya. Alhasil, ini berkonsekuensi pada dilanggarnya Pasal 40 Ayat 3, di mana terjadi praktik lumrah partai dalam menerima sumbangan dari pihak asing, perseorangan, perusahaan atau badan usaha, serta menggunakan fraksi di berbagai lembaga pemerintahan sebagai sumber pendanaan.
Di luar persoalan endemic corruption, menarik untuk dipertanyakan, mengapa Mahfud mengeluarkan pernyataan lugas semacam itu?
Solidaritas atau Kepentingan?
Untuk menjawabnya, kita mungkin dapat menggunakan konsep liberal ironis (liberal irony) dan solidaritas (solidarity) dari filsuf neo-pragmatisme asal Amerika Serikat (AS) Richard Rorty.
Menurut Rorty, anggota masyarakat liberal adalah seseorang yang benar-benar sadar atas segala kemungkinan bahasa, kesadaran, moralitas, dan harapan. Rorty menekankan suatu komitmen terhadap orde politik yang menjunjung tinggi kreativitas manusia dan menjauh dari kekerasan serta kekejaman.
Berbeda dengan pandangan liberal klasik yang menyebut otonomi individu bertumpu pada asumsi manusia adalah makhluk rasional sehingga kosakata final atau suatu kebenaran universal dapat diraih.
Gagasan liberal ironis Rorty menekankan bahwa pencarian kebenaran universal semacam itu adalah suatu kesia-siaan. Penekanan atas kesadaran bahwa bahasa, nilai, atau kebenaran hanya bersifat temporal, adalah apa yang disebut Rorty sebagai sesuatu yang ironis.
Lantas, jika kebenaran universal tidak dapat diraih, bagaimana kesepakatan akan kebenaran dapat dicapai di tengah masyarakat?
Rorty menjawabnya dengan menggunakan konsep solidaritas (solidarity). Menurut Rorty, meskipun masyarakat liberal harus menyadari bahwa kebenaran atau nilai yang diyakini bukanlah suatu hal yang final atau temporal, suatu kesepakatan antar masyarakat atau komunitas dapat terjadi dalam payung yang disebut dengan solidaritas.
Solidaritas atau kesepahaman sosial dapat terjadi apabila individu melakukan rekonstruksi pada komunitas historisnya melalui partisipasi, khususnya pada kehidupan nyata yang sedang berlangsung.
Atas refleksi historis tersebut, seorang liberal ironis, atau yang disebut pula sebagai manusia ironis akan menyadari bahwa kosakata, nilai atau kebenaran yang dipahaminya tidaklah final, sehingga ia akan bersikap terbuka dan bersolidaritas dengan orang lain.
Nah, pada kasus Mahfud, besar kemungkinan ia melakukan rekonstruksi historis karena tengah berdiskusi dengan rekan-rekannya di Yogyakarta. Seperti yang diketahui, karier akademik Mahfud memang banyak dihabiskan di Kota Pelajar tersebut.
Mahfud tengah menempatkan dirinya sebagai akademisi, sebagaimana rekan-rekan dialognya yang merupakan pimpinan berbagai universitas di Yogyakarta. Solidaritas Mahfud terjadi karena ia merasakan kegundahan berbagai pihak atas nasib KPK saat ini.
Baca Juga: Ke Mana Idealisme Mahfud yang Dulu?
Namun, mungkinkah Mahfud hanya melakukan solidaritas semata? Pasalnya, ia juga menyinggung percakapannya dengan Novel Baswedan ketika masih menjabat sebagai Ketua MK. Merespons pujian Novel yang menyebut negara akan beres jika pemimpin negeri seperti dirinya, sang Menko Polhukam membalas, “Kalau saya jadi Presiden, Anda (Novel) Jaksa Agung.”
Atas pernyataan tersebut, tidak sedikit yang menyebut Mahfud tengah melakukan political branding. Ya, meskipun bisa juga itu hanyalah curhatan semata. Entahlah. Namun yang jelas, secara tidak langsung, Mahfud tampaknya mengakui tengah terjadi upaya pelemahan KPK. (R53)