Bocornya Raperpres Alpahankam membuat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menjadi pusat perhatian dan kritik publik. Dipertanyakan, mengapa kementeriannya justru mewacanakan utang sebesar Rp 1,75 kuadriliun di tengah pandemi Covid-19. Mungkinkah tengah ada upaya “penyerangan” terhadap Ketua Umum Gerindra tersebut?
“Government debt is finite, or so we have been told.” – Frances Coppola, dalam Everything You’ve Been Told About Government Debt Is Wrong
Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang dipimpin Prabowo Subianto tengah menjadi sorotan publik. Betapa tidak, bocornya Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2024 (Alpalhankam) memuat angka utang sebesar Rp 1,75 kuadriliun untuk membeli alutsista.
Fantastis, bagaimana mungkin pemerintah, khususnya Kemenhan akan berutang Rp 1,75 kuadriliun di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk akibat pandemi Covid-19? Begitulah pandangan publik. Selaku sosok yang tengah memimpin, publik mempertanyakan langkah Prabowo. Apalagi, ketika kampanye Pilpres, mantan Danjen Kopassus ini kerap menyinggung soal utang negara.
Namun, tentu pertanyaannya, tepatkah menyalahkan Prabowo?
Pertama, dan ini yang terpenting, utang Rp 1,75 kuadriliun termuat dalam Raperpres. Artinya, finalisasinya sebenarnya di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi), bukan Menhan Prabowo.
Kedua, meskipun terlihat sangat fantastis, angka Rp 1,75 kuadriliun sebenarnya angka wajar. Angka itu tidak dibelanjakan dalam satu atau dua waktu, melainkan dalam waktu 25 tahun. Hitungan kasarnya, pertahun hanya Rp 70 triliun.
Lalu, sentimen wacana ini tidak memiliki sense of crisis juga agaknya keliru. Menurut pakar keamanan dan pertahanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, belanja alutsista tidak sama dengan membeli permen di warung, di mana ketika sudah deal, barangnya langsung datang dan dibayar.
Baca Juga: Prabowo (Hampir) Ghosting Lagi?
Yang dimaksud dengan pengadaan hingga 2024, bukan Rp 1,75 kuadriliun dihabiskan sampai 2024, melainkan 2024 sudah deal terkait negosiasi harga dan pemesanan. Barangnya bisa datang dua tahun atau beberapa tahun lagi tergantung dari kesiapan penyedia.
Lanjut Fahmi, barang yang dipesan diharapkan memiliki masa pakai hingga 2044 karena umumnya alutsista harus dimodernisasi ketika sudah berusia 20 tahun ke atas. Nah, selama rentan waktu 2024-2044, dana Rp 1,75 kuadriliun yang diperkirakan menjadi total kebutuhan, pembayarannya dianggarkan secara bertahap setiap tahunnya melalui APBN.
Namun, dengan penjabaran yang ada, mengapa Raperpres Alpahankam tetap mendapat sorotan minor?
Buruknya Citra Utang
Jawabannya mungkin sederhana, karena publik selalu mengasosiasikan utang dengan konotasi peyoratif. Stephanie Kelton dalam bukunya The Deficit Myth: Modern Monetary Theory and the Birth of the People’s Economy, memberikan penjelasan yang dapat digunakan untuk menjawab pemaknaan tersebut.
Dalam pemahaman umum, sering kali cara kerja ekonomi negara disamakan dengan ekonomi rumah tangga. Tegas Kelton, adalah keliru apabila memahami keduanya sama.
Sebagai contoh, frasa “mengetatkan ikat pinggang” atau berhemat (saving money) tentu tepat dilakukan di ekonomi rumah tangga. Namun di ekonomi negara, uang justru harus dihabiskan. Negara harus menjaga perputaran uang agar ekonomi dapat tumbuh.
Perbedaan cara kerja ekonomi ini, khususnya di tengah krisis seperti pandemi Covid-19, kemudian melahirkan paradox of thrift atau paradoks penghematan.
Baca Juga: Resesi Ekonomi, Jokowi Terjebak Paradox of Thrift?
Victor Degorce dan Eric Monnet dalam tulisannya The Great Depression, Banking Crises, and Keynes Paradox of Thrift menyebutkan, pada krisis ekonomi 2008, saving money di Uni Negara meningkat dari 12,5 persen menjadi 14 persen. Sementara di tengah pandemi Covid-19, saving money rumah tangga di Uni Eropa meningkat dari 12,5 persen menjadi 17 persen.
E. Katarina Vermann dalam tulisannya Wait, Is Saving Good or Bad? The Paradox of Thrift menjelaskan, tren tersebut terjadi di tengah masyarakat karena didorong oleh rasa ketidakpastian tentang pekerjaan di masa depan, upaya untuk mengurangi utang, dan fluktuasi yang luas pada harga saham dan perumahan.
Tren Dunia Berkata Sebaliknya
Jika tetap berpatokan pada frasa penghematan, tren belanja alutsista dunia justru berkata sebaliknya. Berdasarkan laporan berjudul TRENDS IN WORLD MILITARY EXPENDITURE, 2020 yang dikeluarkan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), belanja alutsista global justru naik US$ 1.981 miliar pada tahun 2020. Naik 2,6 persen secara riil dari 2019.
Menariknya, peningkatan tidak hanya terjadi di negara besar, seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, India, Rusia, dan Inggris, melainkan juga di Afrika sub-Sahara yang mencapai US$ 18,5 miliar atau meningkat sebesar 3,4 persen pada 2020.
Secara keseluruhan, pengeluaran militer 2020 meningkat di Afrika (5,1 persen), Eropa (4,0 persen), Amerika (3,9 persen), serta Asia dan Oseania (2,5 persen).
Tentu pertanyaannya, mengapa tren tersebut terjadi di tengah situasi tidak menentu akibat pandemi?
Persoalan ini dijawab secara lugas oleh Khairul Fahmi. Menurutnya, saat ini banyak negara produsen alutsista tengah mencari pasar dengan cara memberikan diskon dan tambahan lain. Ini kemudian dilihat Kemenhan sebagai peluang karena harga beberapa alutsista sedang turun.
Pernyataan Fahmi tersebut selaras dengan tulisan Aaron Mehta dan Valerie Insinna yang berjudul Chaos, cash and COVID-19: How the defense industry survived — and thrived — during the pandemic. Menurut mereka, industri alutsista AS tengah terhantam karena pandemi. Agar dapat pulih, Pentagon bahkan telah memberikan bantuan setidaknya sebesar US$ 5 miliar.
Singkatnya, dengan situasi seperti yang digambarkan Mehta dan Insinna, mudah mengafirmasi pernyataan Fahmi, bahwa tengah terdapat usaha produsen alutsista untuk mencari pasar.
Sengaja Digoreng?
Di titik ini, mungkin sekiranya jelas pertimbangan di balik penggarapan Raperpres Alpahankam. Namun, ada satu keganjilan besar di tengah hebohnya wacana pembelian alutsista ini. Dengan Prabowo yang dikenal sangat menutupi anggaran pertahanan, bagaimana mungkin raperpres ini bocor ke tengah masyarakat?
Baca Juga: Ada Luhut di Balik Bisunya Prabowo?
Apakah terdapat pihak tertentu yang sengaja melemparnya ke tengah publik untuk memancing kontroversi?
Pengamat pertahanan Curie Maharani Savitri juga menaruh kecurigaan serupa. “Kita concern ya ada upaya politisasi, politisasi ini dalam artian ada kepentingan non-pertahanan yang kemudian membuat isu ini menjadi kontroversi publik,” begitu tegasnya.
Lantas, siapa pihak tersebut? Ini sekiranya sukar dijawab. Namun, kita dapat melacak siapa sosok pertama yang mengangkat persoalan ini ke tengah publik menggunakan narasi bertendensi negatif. Dia adalah pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie.
Pasalnya, berbeda dengan penjelasan Fahmi, pada 29 Mei Connie menyebut anggaran Rp 1,75 kuadriliun harus habis di 2024. Ia juga menyinggung pelibatan PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) yang belakangan ini diketahui melibatkan beberapa politikus Gerindra.
Persoalan ini kemudian dibantah oleh Corporate Secretary PT TMI, Wicaksono Aji. Disebutkan, PT TMI tidak ditugaskan untuk melakukan pembelian atau pengadaan alutsista oleh Kemenhan, melainkan hanya menganalisis dan memberi masukan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, baik itu pemerintah, pendidikan, maupun swasta dalam hal alih teknologi (ToT).
Ya, apa pun jawaban Aji, dengan beredarnya informasi terdapat beberapa politisi Gerindra mengisi posisi di PT TMI, sekiranya sangat tidak bijak apabila nantinya ada pelibatan PT TMI. Ini soal sentimen publik.
Well, pada akhirnya tentu kita hanya dapat menerka-nerka siapa sosok pembocor tersebut. Kita lihat saja bagaimana kelanjutan persoalan ini. (R53)