Polemik Ganjar Pranowo dinilai mempertegas dugaan PDIP akan mengusung Puan Maharani di Pilpres 2024. Nama Prabowo Subianto menjadi yang terdepan untuk dipasangkan dengan Ketua DPR tersebut. Akankah perjanjian Batu Tulis terjadi di 2024, atau Prabowo harus menelan pil pahit seperti di 2014?
Elite akan terus berganti. Begitulah postulat dari konsep circulation of elite (sirkulasi elite) dari filsuf Italia, Vilfredo Pareto. Dalam setiap era, akan selalu ada sirkulasi atau perputaran elite. Baik elite yang satu digantikan oleh elite yang lainnya, maupun aktor atau pihak non-elite yang justru menggantikan elite yang tengah berkuasa.
Sirkulasi elite ini terlihat jelas pada Pemilu 2014. Partai Demokrat yang begitu berkuasa selama sepuluh tahun, bahkan tidak mampu mengusung kandidat untuk bertarung. Bersama Joko Widodo (Jokowi), PDIP keluar sebagai raja baru menggantikan partai mercedez.
Selaku raja yang tidak ingin kehilangan singgasananya, PDIP tengah menyiapkan calon agar kejatuhan Demokrat tidak menimpa mereka. Setelah bersabar sejak 2014, Puan Maharani dipercaya akan diusung partai banteng.
Dugaan ini diperkuat dengan polemik yang mendera Ganjar Pranowo akhir-akhir ini. Secara terbuka, Ketua Bidang Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP Bambang Wuryanto (Bambang Pacul) memberi kritik keras. Terbaru, Bambang Pacul bahkan tidak mempersalahkan jika nantinya Ganjar memilih berlabuh ke partai lain.
Baca Juga: Ganjar “Bunuh Diri” Jika Tetap di PDIP?
Elektabilitas Ganjar yang konsisten tinggi sampai saat ini dengan mudah dibaca dapat menjadi batu sandungan untuk mencalonkan Puan.
Well, terlepas dari polemik Ganjar, jika benar-benar mencalonkan Puan, siapa pasangannya? Sampai saat ini, Prabowo Subianto yang terdepan untuk itu. Narasi mencalonkan keduanya bahkan sudah tercium sejak November 2019.
Lantas, mungkinkah Prabowo-Puan terwujud?
Bangkitnya Batu Tulis?
Dalam pidatonya di Kongres V PDIP di Bali pada Agustus 2019, Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri juga menyinggung Prabowo perlu mendekati dirinya jika kelak ingin maju. Entah itu gurauan atau pesan politik serius. Tapi yang jelas Prabowo meresponsnya dengan berdiri dan memberi hormat.
Ini juga mengingatkan berbagai pihak atas perjanjian Batu Tulis. Pada Pilpres 2009 Prabowo bersedia menjadi wakil Megawati dengan syarat harus didukung pada Pilpres 2014. Namun, kita semua mengetahui, PDIP mengusung Jokowi dan meraih kemenangan.
Dengan hubungan yang membaik sejak Prabowo masuk ke kabinet, tidak sedikit yang menyebut perjanjian Batu Tulis bisa saja terwujud di Pilpres 2024.
“Ke depan, publik bersiap diri menyambut pasangan Prabowo-Puan di pilpres. Jalannya sudah mulai diaspal dari sekarang,” begitu tutur Direktur Parameter Politik, Adi Prayitno.
Namun, di tengah nostalgia Batu Tulis, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun memberi nasihat menarik. Bertolak dari sejarah politik Indonesia yang lekat dengan pengkhianatan, Prabowo diminta berhati-hati dalam membangun koalisi.
Baca Juga: Prabowo-Puan, Batu Tulis Kembali?
Jika terlalu berharap, bisa-bisa Prabowo akan “dikhianati” lagi. Apalagi, berbagai pihak menilai Prabowo sebagai sosok yang “not political enough”. Kasarnya, Prabowo dinilai kurang licin dan lihai dalam berpolitik. Dengan background keluarga terhormat, Prabowo menunjukkan diri sebagai politikus yang “lurus”.
Kembali pada postulat Vilfredo Pareto, Sakthi dalam tulisannya Vilfredo Pareto’s Circulation of Elite: Explanation and Examples, menjelaskan bahwa elite atau penguasa harus mampu melakukan little evil untuk meraih ataupun mempertahankan kekuasaan.
Dalam filsafat politik, little evil tersebut – mungkin juga tidak little – dikenal sebagai dirty hands. C.A.J. Coady dalam tulisannya The Problem of Dirty Hands menjelaskan, itu adalah asumsi bahwa politisi –tepatnya pejabat – dapat melanggar moral demi tujuan yang lebih besar untuk masyarakat.
Politik, Arena Anarkis?
Meskipun terdengar tidak bermoral, little evil sebenarnya adalah persoalan lumrah dan merupakan realitas politik. Little evil menjadi tabu karena realitas politik dilihat menggunakan kacamata Kantian atau Habermasian yang menegaskan moralitas harus ditegakkan secara universal. Namun, bagaimana jika moralitas yang dibayangkan itu tidak benar-benar ada?
Pertanyaan yang lebih dalam adalah, apa asal-usul moralitas? Apakah muncul sebelum peradaban manusia, atau peradaban manusia yang membuatnya ada?
Dalam teori kontrak sosial (social contract theory), khususnya dari Thomas Hobbes, state of nature manusia disebut egois, anarkis, dan menerkam sesamanya. Peradaban manusia kemudian menciptakan moral dan aturan untuk menjaga kohesi sosial, dan negara memberinya legitimasi hukum.
Mengacu pada state of nature, mudah menyimpulkan bahwa politik adalah arena anarkis. Ini adalah silogisme hipotesis. Jika manusia adalah entitas egois, maka politik yang merupakan pengejawantahan aktivitas manusia, merupakan entitas egois yang anarkis pula.
Lalu, jika benar demikian, bagaimana aktivitas politik, seperti kerja sama, koalisi, dan dukungan menjadi mungkin?
Francis Fukuyama dalam bukunya The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution, yang juga mengafirmasi asumsi state of nature Hobbes, menjawab persoalan tersebut menggunakan reciprocal altruism dari temuan biologi evolusioner.
Penjelasan reciprocal altruism sangat sederhana. Manusia melakukan kerja sama bukan karena mereka altruis, melainkan karena dengan bekerja sama kepentingan pribadi mereka lebih mudah terwujud. Artinya, kerja sama dalam politik akan terjalin sejauh kepentingan pribadi setiap pihak menemukan titik temu.
Baca Juga: Bencana NTT-NTB dan Kohesi Partai Politik
Nah, bertolak dari reciprocal altruism, frasa pengkhianatan dalam politik sebenarnya kurang tepat, dan lebih merupakan ekspresi kekecewaan. “Pengkhiatan” terjadi karena kepentingan yang tidak bertemu atau kerja sama dinilai kurang menguntungkan.
Pada kasus tidak ditepatinya perjanjian Batu Tulis pada 2014, PDIP sekiranya memiliki pertimbangan bahwa kepentingan mereka untuk menjadi penguasa akan tercapai jika mengusung Jokowi dan Jusuf Kalla. Dan terbukti, Jokowi Effect disebut meningkatkan perolehan suara PDIP sebesar 30 persen di Pemilu 2014.
Lantas, jika demikian realitas politik, Prabowo harus bagaimana?
Strategi Injury Time
Jika benar-benar ingin maju kembali, Prabowo sekiranya perlu mengimitasi strategi politik PDIP. Dalam berbagai kasus pemilu, seperti pencalonan Jokowi dan Ganjar di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah (Jateng) 2013, partai banteng menggunakan strategi injury time atau mengusung kandidat di akhir waktu.
Strategi ini terbilang jitu karena memungkinkan PDIP untuk menghimpun dukungan sebesar mungkin sebelum akhirnya mendeklarasikan kandidat. Tidak hanya menghimpun dukungan, ini juga penting untuk memetakan kekuatan dan kelemahan, baik diri sendiri maupun musuh.
Konteks pemetaan itu jelas terlihat pada pemilihan Ma’ruf Amin di Pilpres 2019. Sebelumnya, Mahfud MD jamak disebut akan menjadi wakil Jokowi. Namun, tekanan politik yang ada, khususnya sentimen anti-Islam disebut membuat partai pendukung mengusung nama Ma’ruf.
Baca Juga: Ganjar Redup Tanpa PDIP?
Nah, bertolak dari kasus-kasus yang ada. Prabowo perlu menunggu sampai injury time untuk memastikan apakah dukungan memang penuh diberikan atau tidak. Jika strategi ini dijalankan, frasa Prabowo dapat atau akan “dikhianati lagi” menjadi tidak relevan. Ini bukan soal pemenuhan janji, melainkan bertemunya kepentingan antara aktor-aktor politik.
Pada akhirnya, kita hanya dapat menunggu bagaimana kelanjutan narasi Prabowo-Puan ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)