Sindiran keras Ketua Bappilu PDIP Bambang Wuryanto dan tidak diundangnya Ganjar Pranowo di acara PDIP di Semarang, Jawa Tengah disebut mengafirmasi dugaan keretakan hubungan Ganjar dengan PDIP selama ini. Lantas, jika nantinya Ganjar memilih keluar dari PDIP, apakah Gubernur Jawa Tengah ini akan tetap bersinar?
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Ganjar “Bunuh Diri” Jika Tetap di PDIP?, telah dibahas mengenai akar masalah dari keretakan hubungan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo dengan PDIP.
Pernyataan menohok Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Bidang Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Daerah (DPD) Jateng, Bambang Wuryanto (Bambang Pacul) baru-baru ini merupakan afirmasi yang jelas.
Ganjar juga tidak diundang di acara penguatan soliditas PDIP di Semarang, Jawa Tengah. Sebagai tuan rumah dan tidak diundang, ini merupakan pesan politik yang serius bagi Ganjar.
Keretakan ini disebut bermula dari Pemilihan Bupati (Pilbup) Purbalingga 2020. Saat itu, alih-alih mendukung pasangan Dyah Hayuning Pratiwi dan Sudono yang menjadi jagoan PDIP, Ganjar justru mendukung adik iparnya, Zaini Makarim yang menjadi wakil dari Muhamamad Sulhan Fauzi.
Sejak saat itu, berbagai elite PDIP menangkap sinyal bahwa Ganjar telah berani keluar dari komando partai. Terlebih lagi, seperti yang ditegaskan oleh Bambang Pacul, ada kesan Ganjar – tepatnya timnya – ingin menekan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk memberikan tiket Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dengan cara menonjolkan elektabilitasnya.
Baca Juga: Anies-Ganjar Berebut Jokowi?
Terlepas dari ketegangan Ganjar dengan PDIP, menarik untuk mengamati diksi yang digunakan Bambang Pacul untuk menggambarkan Ganjar. Tegasnya, kepala daerah harus menunjukkan kinerja di lapangan, bukannya sekadar di media sosial. Elektabilitas Ganjar juga disebut hanyalah buah dari pemberitaan media.
Pernyataan-pernyataan tersebut menarik karena Bambang Pacul dikenal sebagai sosok yang begitu hati-hati dalam menyampaikan sesuatu di depan publik. Ini menimbulkan pertanyaan tersendiri, mungkinkah penilaian terhadap Ganjar terlalu berlebihan?
Lalu yang lebih menarik, jika itu benar dan Ganjar mengikuti saran untuk keluar dari PDIP, apakah Gubernur Jawa Tengah ini akan tetap bersinar di partai lain?
Perjalanan Menjadi Gubernur
Selaku sosok yang menjadi Gubernur Jawa Tengah, provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di Indonesia, tentu merupakan prestasi yang luar biasa. Apalagi, Ganjar memenangkannya sebanyak dua kali. Pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng 2013, Ganjar bahkan melawan petahana, Bibit Waluyo yang disebut-sebut begitu berpengaruh.
Namun pertanyaannya, apakah itu adalah keberhasilan Ganjar? Rahmat Sahid dalam bukunya Puan Maharani Matang dalam Kerja Keras Politik memberikan penjelasan menarik terkait kemenangan Ganjar di Pilgub Jateng 2013. Pada bab Strategi Jitu di Injury Time, mengutip artikel Kompas pada 27 Mei 2013 yang berjudul Mesin Partai Berjalan Efektif, Sahid mengajukan pertanyaan, apakah faktor mesin partai, ataukah karena figur Ganjar begitu menjual yang memberi kemenangan?
Jika mengatakan figur yang menjual, ini patut dipertanyakan. Pasalnya, sebagai petahana, survei menunjukkan Bibit Waluyo memiliki popularitas sebesar 77 persen. Ini jauh dari Ganjar yang saat itu hanya 6,3 persen.
Pada bab Hasil Survei, bertolak dari survei tersebut, keputusan memberikan rekomendasi kepada Ganjar untuk maju disebut mendapatkan cibiran berbagai pihak. Saat itu, bahkan ada media menyebut PDIP “bunuh diri” karena tidak mencalonkan Wakil Gubernur Jateng, Rustriningsih yang memiliki popularitas sebesar 40,6 persen.
Namun, analisis di atas kertas tersebut gugur. Hasilnya? Kita semua mengetahui kemenangan Ganjar dan Heru Sudjatmoko. Bagaimana itu mungkin? Pasalnya, survei popularitas tersebut dirilis pada Oktober 2012 dan Pilgub dilaksanakan pada 26 Mei 2013. Dalam waktu kurang lebih tujuh bulan, Ganjar menjadi begitu dikenal masyarakat Jawa Tengah.
Baca Juga: Ganjar Harus Pakai Marketing Tradisional?
Pada bab Strategi dan Struktur Pemenangan dan Pelibatan Tiga Pilar Partai, Sahid menjelaskan secara rinci bagaimana kemenangan itu menjadi mungkin. Pada bagan Tim Pemenangan Pilgub Jateng, terdapat tiga Komandan Tempur (Danpur), yakni Danpur Komunitas, Danpur Struktural, dan Danpur Gorong-Gorong.
Danpur Komunitas bertugas mengatur aktivitas kampanye Ganjar-Heru. Fokus kegiatannya mengunjungi dan menyapa (blusukan) komunitas-komunitas di Jawa Tengah. Juga bertanggung jawab menyebar setiap aktivitas kampanye dan blusukan di media massa dan media sosial.
Danpur Struktural bertugas menggerakkan seluruh elemen struktur partai, termasuk di dalamnya pengelolaan logistik dan atribut kampanye. Juga bertugas untuk meng-upgrade tingkat popularitas dan tingkat elektabilitas Ganjar-Heru.
Danpur Gorong-Gorong bertugas mengkoordinasi jaringan non-kepartaian. Mengingat cakupan wilayah yang sangat luas, tim Gorong-Gorong menambal celah-celah yang tidak tergarap secara optimal. Danpur ini juga berperan sebagai satuan intelijen yang menyuplai informasi strategis pemenangan.
Tidak hanya membentuk tim pemenangan, PDIP juga melibatkan seluruh kadernya di struktural partai, kader di eksekutif, dan di legislatif. Ini disebut dengan Tiga Pilar Partai.
Nah, kembali pada pertanyaan Sahid, apakah kemenangan Ganjar adalah karena figurnya, atau efektifnya mesin partai? Jawabannya sekiranya adalah mesin partai. Pasalnya, ketika Bibit Waluyo diusung PDIP pada 2008, elektabilitasnya juga disebut rendah, yakni sebesar 3 persen. Artinya, ini adalah buah dari kinerja partai. Terlebih lagi, Jawa Tengah telah lama dikenal sebagai “kandang banteng”.
Penjelasan ini sebenarnya tidak hanya berlaku pada kasus Ganjar, melainkan pada setiap kemenangan kepala daerah, bahkan presiden sekalipun.
Kesalahan Atribusi
Penjelasan Rolf Dobelli terkait fundamental attribution error dalam bukunya The Art of Thinking Clearly menjelaskan kekeliruan penilaian tersebut. Fundamental attribution error adalah bias kognitif di balik terjadinya kesalahan fundamental dalam melakukan atribusi atas suatu peristiwa.
Individu kerap keliru dalam menentukan faktor besar apa di balik peristiwa. Bias kognitif ini umumnya terjadi karena terlalu tinggi menaksir peran individu. Contohnya, keberhasilan atau kegagalan tim sepakbola kerap dikaitkan pada sosok pelatih atau pemain bintang.
Bukankah kemenangan atau kekalahan tim sepakbola melibat berbagai faktor. Misalnya gelandang yang kreatif, penyerang yang pandai mencari posisi, dan ketenangan pemain belakang dan penjaga gawang. Tanpa kerja sama yang baik, mustahil pelatih atau pemain bintang mana pun mampu membawa kemenangan.
Menurut Dobelli, di balik suatu peristiwa terdapat faktor yang kompleks. Namun, karena kognisi manusia sulit menangkap informasi yang begitu kompleks dan sering kali bertentangan, individu kerap menyederhanakan penjelasan dan faktor-faktor yang terlibat.
Kembali pada kasus Ganjar. Pernyataan Bambang Pacul yang menyinggung elektabilitas sebenarnya bermakna bahwa kemenangan bukanlah buah dari kepopuleran di media, melainkan kerja keras partai di lapangan. Simpulan ini dapat diperkuat melalui tulisan Nyimas Latifah yang berjudul Peran Marketing dalam Dunia Politik.
Disebutkan ada empat tipe pemilih di Indonesia, yakni pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih tradisional, dan pemilih skeptis. Menurutnya, pemilih tradisional merupakan pemilih mayoritas di Indonesia. Mereka lebih mengutamakan kedekatan sosial budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai indikator untuk calon pemimpin dan partai politik.
Baca Juga: Safari Airlangga Sinyal Tiga Poros di 2024?
Konteks ini menjelaskan mengapa popularitas di media massa dan media sosial kerap berbanding terbalik dengan hasil pemilu. Ini misalnya terlihat pada kasus Faldo Maldini. Mantan politikus PAN yang menjadi Jubir Prabowo-Sandi di Pilpres 2019 ini, jelas merupakan sosok yang begitu populer. Namun secara mengejutkan, ia justru gagal masuk ke Senayan pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.
Selain itu, dan ini yang terpenting, menurut sumber dari internal PDIP, ternyata terdapat perbedaan besar antara kasus Joko Widodo (Jokowi) dan Ganjar. Dalam pandangan umum, elektabilitas Jokowi yang tinggi disebut sebagai faktor yang membuat Megawati mengusungnya di Pilpres 2014 meskipun terdapat pertentangan dari internal partai. Ini juga disebutkan oleh Leo Suryadinata dalam tulisannya Golkar’s Leadership and the Indonesian President.
Menurut sumber tersebut, meskipun saat itu ada pertentangan, namun yang memberi rekomendasi untuk memajukan Jokowi adalah Ring-1 PDIP alias orang-orang yang dipercaya Megawati. Sementara Ganjar, sampai saat ini disebut tidak mendapatkan dukungan semacam itu.
Jika informasi itu benar, maka kasus Jokowi tampaknya akan sulit terjadi pada Ganjar. Simpulan ini juga dipertegas melalui pernyataan terbuka Bambang Pacul dan Puan Maharani yang notabene merupakan orang-orang kepercayaan Megawati.
Jokowi juga disebut mendapatkan dukungan dari enam tokoh yang bisa disebut sebagai enam matahari. Mereka adalah adalah Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Umum PDIP Megawati, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG), mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), dan mantan Ketua Umum PKPI A.M. Hendropriyono.
Jika mengacu pada Jokowi Effect dan besarnya dukungan terhadap mantan Wali Kota Solo tersebut, itu tidak terlepas dari prestasinya yang pernah manjadi Wali Kota terbaik ketiga dunia dan euforia Mobil Esemka. Sementara Ganjar, sampai saat ini sekiranya belum ada prestasi yang dapat “dijual” dengan masif.
Singkatnya, ada perbedaan sokongan dukungan dan situasi yang kentara antara Jokowi dan Ganjar. Konteks ini membuat Ganjar tampaknya akan sulit menjadi “The Next Jokowi”.
Nah, sekarang pertanyaan terpentingnya, jika Ganjar mengikuti saran untuk keluar dari PDIP, mungkinkah ia tetap bersinar? Dalam artikel Ganjar “Bunuh Diri” Jika Tetap di PDIP?, telah diberikan saran agar Ganjar mempertimbangkan Partai Golkar atau Partai Nasdem yang merupakan partai besar seperti PDIP. Kedua partai ini juga memiliki mesin yang bagus.
Namun, dengan Golkar yang ingin mengusung Airlangga Hartarto, pilihan yang lebih rasional tampaknya adalah Nasdem. Sekarang pertanyaannya, akankah partai besutan Surya Paloh tersebut mengusung Ganjar jika benar-benar bergabung? Sayangnya, ini adalah pertanyaan yang masih sulit dijawab.
Well, jika benar Ganjar berlabuh ke partai lain nantinya, jangan sampai Gubernur Jawa Tengah tersebut bernasib sama seperti mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi atau yang akrab disapa TGB.
Seperti yang diketahui, ketika masih di Partai Demokrat, TGB bahkan digadang-gadang maju di Pilpres 2019. Namun saat ini, di partai barunya, Golkar, nama TGB tidak lagi banyak diperbincangkan. (R53)