HomeNalar PolitikAnies-Ganjar Berebut Jokowi?

Anies-Ganjar Berebut Jokowi?

Kondisi yang kurang baik di internal PDIP tampaknya membuat Ganjar Pranowo harus mendekat ke Jokowi agar mendapatkan dukungan tambahan. Setidaknya pendukung Jokowi berpindah kepadanya. Menariknya, ada pula dugaan bahwa Anies Baswedan juga mengincar dukungan sang RI-1. Jika benar, mungkinkah itu terjadi?


PinterPolitik.com

Joko Widodo (Jokowi) dapat menjadi kunci. Selaku Presiden RI, suara atau dukungannya jelas didengar. Setidak-tidaknya untuk menjadi bahan pertimbangan dalam memilih siapa the next president. Melihat gestur salah satu kandidat yang digadang-gadang potensial maju di Pilpres 2024, Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo santer disebut tengah mendekati sang RI-1.

Ada kesan Ganjar sedang menampilkan diri sebagai the next Jokowi. Di berbagai lini media sosial, ada pula tebaran komentar yang menyebut dirinya pendukung Jokowi dan akan memilih Ganjar.

Pada rilis survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Februari lalu, juga disebutkan 22 persen pemilih Jokowi di 2019 akan memilih Ganjar jika mantan Wali Kota Solo itu tidak maju.

Pun begitu dengan rilis survei SMRC pada April kemarin. Jika Jokowi tidak ikut bersaing, Ganjar akan mendapat dukungan terbesar, yakni 17,4 persen.

Sebelumnya, Ganjar juga telah bertemu dengan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Melihat gelagat berbagai politisi, seperti Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gelora Fahri Hamzah, hingga Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani yang juga mengunjungi Gibran, tampaknya ada “simbol politik” tertentu pada diri putra sulung Jokowi tersebut.

Baca Juga: Gibran, The ‘King’ of Solo?

Menariknya, di tengah persepsi umum selama ini bahwa ada perbedaan posisi antara Jokowi dan Anies Baswedan, beberapa pengamat justru memberi pandangan bahwa RI-1 bisa saja mendukung Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Pengamat politik Tony Rosyid, misalnya, menyebut jika Jokowi memberikan dukungan kepada Anies, maka kedua pihak yang selama ini berseberangan dan bersitegang akan bertemu dan kegaduhan dapat berakhir.

Lantas, katakanlah ada peluang Jokowi akan memberikan dukungan terbuka atau political endorsement kepada Ganjar atau Anies, seberapa signifikan dukungan tersebut?

Political Endorsement

Psikolog dari Cornell University, Mark Travers dalam tulisannya How Valuable Are Endorsements In Politics? 3 Lessons From Political Psychology di Forbes, menggunakan konsep laziness dalam psikologi untuk menjelaskan bagaimana political endorsement dapat bekerja.

Ini adalah kecenderungan psikologis, di mana seseorang enggan untuk mengerahkan tenaga atau kemampuannya meskipun ia mampu. Terlebih lagi, dengan kapasitas kognitif yang terbatas dan berbeda, berbagai pihak tidak ingin membuang-buang energinya untuk memikirkan politik.

Baca juga :  Connie: From Russia with Love

Banyak pihak cenderung mengambil jalan pintas, seperti melihat partai yang mengusung atau sosok berpengaruh yang mendukung kandidat tersebut.

Travers mencontohkan political endorsement dari Jim Clyburn kepada Joe Biden di South Carolina. Sebanyak 47 persen pemilih Biden menyebut Clyburn adalah faktor penting di balik pilihan mereka. Menurut Travers, ada asumsi bahwa Biden mestilah memiliki prinsip politik yang sama dengan Clyburn.

Sejarah Pilpres Amerika Serikat (AS) memberikan data yang menakjubkan. Sejak Pilpres 1860 hingga Pilpres 2020, ternyata hanya 15 kali kandidat yang mendapatkan political endorsement menuai kekalahan. 

Kendati dapat dibaca sebagai keuntungan, jika benar laziness berperan besar dalam political endorsement, konteks ini dapat dimaknai negatif, sebagaimana kritik Socrates terhadap demokrasi.

Pada Book VI dalam buku Republic, Plato (Platon) menceritakan percakapan Socrates dengan Adeimantus yang tengah membandingkan proses pemilihan pemimpin di demokrasi dengan di kapal. Socrates mempertanyakan siapa yang ideal untuk bertanggung jawab untuk memimpin kapal? Siapa saja atau orang yang dididik tentang aturan dan tuntutan pelaut?

Yang terakhir tentu saja, jawab Adeimantus. Lanjut Socrates, lantas mengapa hal yang sama tidak diterapkan dalam memilih pemimpin di demokrasi? Menurutnya, memilih pemimpin adalah keterampilan. Butuh pengetahuan, bukan intuisi acak.

Cheryl Boudreau dalam tulisannya The Persuasion Effects of Political Endorsements sekiranya dapat memberi jawaban atas kritik Socrates tersebut. Boudreau menyinggung soal keterbatasan akses masyarakat umum dalam mendapatkan informasi politik.

Untuk menilai kehebatan kandidat calon presiden, misalnya, masyarakat perlu mendapatkan data keberhasilan mengelola anggaran, pertumbuhan ekonomi, hingga siapa saja patronase kandidat tersebut.

Namun pertanyaannya, seberapa banyak masyarakat yang memiliki akses itu? Persoalan itu yang membuat Boudreau melihat pentingnya political endorsement, baik dari politisi ataupun partai politik.

Nah, kembali pada Jokowi. Pada Pilpres 2014 lalu, berbagai media memunculkan istilah Jokowi Effect. Ini untuk mendeskripsikan pengaruh kepopuleran Jokowi terhadap perpolitikan dan perekonomian. Dalam bidang politik, deklarasi Jokowi sebagai calon presiden di Pilpres 2014 disebut mendongkrak suara PDIP hingga 30 persen.

Jokowi Effect bisa saja menimpa Ganjar atau Anies jika benar-benar didukung. Selain menambah popularitas dan ceruk suara, itu juga berguna untuk menambah daya tawar keduanya di hadapan partai politik.

Baca juga :  Anies Di-summon PKS!

Baca Juga: Ganjar “Bunuh Diri” Jika Tetap di PDIP?

Seperti diketahui, Anies tidak memiliki partai. Sementara Ganjar, situasinya yang tidak baik di PDIP saat ini sepertinya harus membuatnya menengok partai lain jika ingin maju di Pilpres 2024.

Tergantung Loyalitas Jokowi

Dalam tulisan Why Presidents Wait to Endorse Their Successors yang dimuat Time, seorang presiden disebut tidak terburu-buru dalam menentukan dukungannya karena menghindari mendukung kuda yang salah. Pasalnya, political endorsement dari presiden bermakna kandidat yang didukung dipercaya sebagai investasi politik yang meneruskan mereka, baik citra maupun programnya.

Itu adalah persoalan legacy atau warisan politik. Christian Fong, Neil Malhotra, dan Yotam Margalit dalam tulisannya Political Legacies: Understanding Their Significance to Contemporary Political Debates menemukan bahwa politisi memiliki minat yang kuat dalam mengembangkan legacy yang positif, luas, dan bertahan lama karena ingatan masyarakat tentang legacy tersebut memengaruhi perdebatan terkait kebijakan di masa depan.

Temuan Fong dan kawan-kawan dapat kita lihat dalam perdebatan di lini media sosial ataupun media massa. Pada konteks demokrasi, misalnya, tidak sedikit yang membandingkan demokrasi antara era Jokowi dengan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pun begitu pada persoalan utang dan pertumbuhan ekonomi.

Akan tetapi, meskipun political endorsement Jokowi ditentukan pada siapa kandidat yang dapat meneruskan legacy-nya, faktor loyalitas ke PDIP, khususnya Megawati Soekarnoputri tampaknya adalah faktor yang lebih kuat.

Ini misalnya disebutkan oleh pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta, M. Jamiluddin Ritonga. Dalam menanggapi potensi Jokowi mendukung Anies, Jamiluddin menekankan faktor Jokowi yang bukan merupakan ketua umum partai. Selaku kader PDIP, Jokowi dipercaya akan mendukung kandidat yang diusung oleh Megawati.

Baca Juga: Jokowi Dukung Anies di Pilpres 2024?

Dengan demikian, jika para pendukung Anies tetap menampilkan atau mencitrakan sang DKI-1 seolah berseberangan dengan PDIP, besar kemungkinan Jokowi tidak akan memberikan dukungan. Pun begitu dengan Ganjar. Jika Gubernur Jawa Tengah itu tidak segera memperbaiki hubungannya dengan PDIP, khususnya dengan Megawati, ia akan sulit mendapat dukungan dari Jokowi.

Well, pada akhirnya hanya waktu yang dapat menjawabnya. Masih ada waktu kurang lebih dua hingga dua setengah tahun bagi Jokowi untuk menentukan pilihan. Kita amati saja. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...