Kita kerap mengeluhkan mengapa pernyataan berbagai pejabat seperti Presiden Jokowi justru kontradiksi dengan kebijakan yang terjadi. Sebut saja pernyataan anti-impor, utang, dan dorongan revisi UU ITE. Mungkinkah itu adalah noble lie?
“Everything the State says is a lie, and everything it has it has stolen” – Friedrich Nietzche, filsuf asal Jerman
Siapa yang tidak mengenal Friedrich Nietzsche? Para penikmat filsafat tentu akrab dengan filsuf berkumis tebal satu ini, dan mungkin mengidolakannya. Tidak hanya dikenal karena frasa “God is Dead”, nama Nietzsche mahsyur di diskursus filsafat karena menjadi salah satu sosok paling keras yang menantang “Kebenaran” (Truth dengan huruf kapital).
Bagi Nietzsche, tidak ada Kebenaran karena yang ada hanyalah “kebenaran” (truth dengan huruf kecil). Kebenaran sebagai klaim universal tidak ada. Yang ada hanyalah kebenaran-kebenaran kecil. Sifatnya parsial dan relatif. Ini dikenal sebagai relativitsme. Kebenaran ku berbeda dengan kebenaran mu.
Relativitas kebenaran Nietzsche sekiranya relevan digunakan untuk memahami realitas politik. Setiap harinya kita menikmati sajian pernyataan berbagai politisi, khususnya pejabat penting, seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagai RI-1, sekiranya ia adalah sosok yang paling diperhatikan oleh publik.
Mengamati berbagai pernyataan Presiden Jokowi, khususnya jika dibandingkan dengan kebijakan yang ada, banyak dari kita mungkin merasa ganjil. Kita bertanya, mengapa berbeda dan tidak konsisten? Apakah mantan Wali Kota Solo itu tengah menerapkan relativisme ala Nietzshce, di mana kebenarannya berbeda dengan kebenaran masyarakat?
Baca Juga: Komunikasi Istana Bergaya Post-Truth?
Sebut saja berbagai pernyataan kontroversial seperti larangan impor, tidak lagi berutang, hingga ingin merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ketiganya kontradiksi dengan kebijakan atau realitas yang ada.
Well, mungkin bukan relativisme kebenaran ala Nietzsche yang tengah diterapkan dalam kasus-kasus tersebut. Pun begitu dengan post-truth atau contingency kebenaran ala Richard Rorty. Fenomena kontradiksi yang ada sekiranya lebih tepat dijelaskan menggunakan konsep noble lie.
Noble Lie
Dalam buku Republic, Plato (Platon) memperkenalkan istilah noble lie atau kebohongan yang mulia. Ini adalah kebohongan yang sengaja disebarkan politisi untuk menjaga harmoni sosial atau untuk menjalankan agenda tertentu.
Di akhir Buku II dalam Republic, Plato misalnya menulis, “kebohongan yang terdapat di dalam setiap perkataan dalam hal tertentu bermanfaat dan tidak menimbulkan rasa benci… saat dalam keadaan gila atau dalam ilusi akan menyakiti kita, maka kebohongan itu akan menjadi bermanfaat atau menjadi sejenis obat atau pencegahan… kita membuat kebohongan sedapat mungkin menyerupai kebenaran, sehingga hal itu menguntungkan.”
Catalin Partenie dalam tulisannya Plato’s Myths menjelaskan konsep noble lie bertolak dari keengganan mereka yang bukan filsuf untuk mendasarkan hidupnya pada logika (logic) dan penalaran (reason). Membujuk menggunakan mitos yang notabene adalah kebohongan kemudian dilihat sebagai cara yang lebih tepat.
Sementara Yu-Jung Sun dalam tulisannya Lies in Plato’s Republic: poems, myth, and noble lie menyebut kebohongan bisa bermanfaat bukan karena bisa membujuk atau bisa mengonsolidasikan komunitas, melainkan karena bisa mewujudkan kebenaran dengan cara yang bijaksana.
Tidak terhenti di Plato, berbagai filsuf modern juga meneruskan konsep noble lie. Leo Strauss dalam bukunya The City and Man adalah salah satunya. Berbeda dengan filsuf lainnya, seperti Karl Popper yang mengkritik noble lie dalam bukunya The Open Society and Its Enemies, Strauss justru terlihat memberi dukungan.
Baca Juga: Mudah Membaca Logika Kekuasaan Jokowi
Dalam The City and Man, Strauss membahas mitos-mitos yang diuraikan Plato dalam Republic. Sebagai contoh, penting meyakinkan masyarakat bahwa tanah negara memang milik mereka, meskipun kemungkinan besar tanah tersebut diperoleh secara tidak sah. Pun begitu dengan status kewarganegaraan yang pada dasarnya berakar pada tempat lahir yang tidak dapat dipilih.
Untuk menumbuhkan sikap patriotisme dan nasionalisme, cara terbaik tentu dengan meyakinkan masyarakat bahwa mereka adalah bagian dari negara. Mereka adalah tuan dari tanah yang mereka tempati. Sekalipun itu sebenarnya adalah tanah jajahan.
Awan Gelap Kebenaran
Di era modern saat ini, noble lie tampaknya menjadi tidak terhindarkan, termasuk di pemerintahan Jokowi. Pada 13 Maret 2020, misalnya, Presiden Jokowi akhirnya mengakui bahwa tidak semua data mengenai Covid-19 dibuka kepada publik.
“Memang ada yang kita sampaikan dan ada yang tidak kita sampaikan karena kita tidak ingin menimbulkan keresahan dan kepanikan di tengah masyarkat,” begitu tuturnya.
Pun begitu pada 25 Januari 2021. Di tengah angka kematian Covid-19 yang tengah meningkat, Presiden Jokowi justru mengaku bersyukur karena Indonesia termasuk negara yang bisa mengendalikan krisis pandemi dan krisis ekonomi.
Berbagai pihak, seperti Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto turut berkomentar heran atas pernyataan tersebut.
“Saya tidak tahu parameter yang digunakan Pak Jokowi, saya tidak tahu. Tapi parameter yang ada itu dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu angka kematian dan angka infeksi,” begitu tuturnya.
Mengacu pada noble lie, pernyataan-pernyataan kontroversial Presiden Jokowi tersebut tentunya memiliki pembenaran. Ada kepentingan yang lebih besar yang dipikirkan. Mulai dari menghindari keresahan masyarakat, hingga menjaga persepsi investor dan para pelaku usaha.
Akan tetapi, haruskah noble lie menjadi pelumrahan bagi pemerintah? Apalagi, jika melihat pernyataan seperti larangan impor, utang, revisi UU ITE, hingga klaim pandemi terkendali yang dengan mudah diketahui sebagai kebohongan, bukankah itu tidak sesuai dengan noble lie yang mensyaratkan kebohongan harus diatur sedemikian rupa agar menyerupai kebenaran?
Lalu, mengacu pada tujuan noble lie untuk menjaga harmoni sosial, di tengah era keterbukaan informasi saat ini, seberapa baik kemampuan pemerintah dalam menutupi kebohongan sehingga harmoni sosial dapat terjaga?
Di sini, pemerintahan Jokowi sekiranya penting untuk menengok negara tetangga, Singapura. Justin Wm. Moyer dalam tulisannya How Lee Kuan Yew made Singapore strong: Family values menjelaskan bahwa pentingnya kejujuran telah ditanamkan oleh Perdana Menteri (PM) Singapura, Lee Kuan Yew pada tahun 1959. Lee menerapkan ajaran Konfusius sebagai nilai dalam membangun Singapura.
Baca Juga: Corona, Indonesia Ungguli Singapura?
Kelvin F. K. Low dalam tulisannya Victoria Meets Confucius in Singapore: Implied Trusts of Residential Property menyebutkan penerapan ajaran Konfusius yang membuat Singapura mampu menciptakan pemerintahan yang begitu jujur dan menempatkannya sebagai salah satu negara paling bebas korupsi di dunia.
Dalam tulisan Trust in government, policy effectiveness and the governance agenda yang dikeluarkan oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) juga menyoroti pentingnya kepercayaan dalam tata pemerintahan. Kepercayaan disebut sebagai salah satu hal yang paling penting di mana legitimasi dan keberlanjutan sistem politik dibangun.
Kepercayaan disebut dapat membentuk kohesi sosial dan kesejahteraan, sehingga itu memungkinkan pemerintah untuk memerintah masyarakat tanpa melalui paksaan. Singkatnya, kepercayaan yang dimiliki pemerintah adalah cara yang efisien untuk menurunkan biaya transaksi dalam hubungan sosial, ekonomi dan politik.
Nah, jika benar pemerintahan Jokowi tengah menerapkan noble lie, maka noble lie tersebut harus diuji seberapa baik kemampuannya dalam menjaga harmoni sosial. Lalu, melihat pada keberhasilan Singapura dalam menjaga harmoni dan kohesi sosial, bukankah mengedepankan kejujuran lebih layak untuk dipertimbangkan?
Atau mungkin, noble lie hanya digunakan untuk mengamankan kepentingan politik tertentu? Entahlah. Hanya pihak-pihak terkait yang mengetahuinya.
Well, pada akhirnya perlu untuk digarisbawahi bahwa tulisan ini hanyalah analisis teoretis semata. Terkait Presiden Jokowi ataupun berbagai pejabat melakukan noble lie atau tidak, itu tergantung atas interpretasi dan persepsi kita masing-masing. Seperti kata Nietzsche, kebenaran itu relatif. (R53)