Selepas berbagai elite PDIP melayangkan kritik terhadap Presiden Jokowi, Mewagati justru menegaskan akan membela mantan Wali Kota Solo tersebut. Apakah itu mengindikasikan Megawati khawatir terhadap hubungannya dengan Presiden Jokowi?
“Politics is activity in relation to power.” – Francis Parker Yockey, filsuf Amerika Serikat
Ada komentar menarik dari Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago terkait gestur PDIP akhir-akhir ini yang aktif melayangkan kritik terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Seperti yang diketahui, di tengah kritik-kritik tersebut, Megawati Soekarnoputri justru menegaskan siap “pasang badan” untuk Presiden Jokowi. Ketua Umum (Ketum) PDIP ini juga melayangkan kritik terhadap pihak-pihak yang mengkritik RI-1.
Menurut Pangi, gestur tersebut menunjukkan Megawati tengah memainkan strategi politik “tegang, tegang, kendur”. Pernyataan terbaru adalah strategi dalam mengendurkan situasi. Menurutnya, jika ketegangan terus diberikan, ada kekhawatiran Presiden Jokowi akan diakuisisi oleh Partai Golkar.
Melihat hubungan Presiden Jokowi dengan partai beringin, asumsi tersebut terbilang wajar. Leo Suryadinata dalam tulisannya Golkar’s Leadership and the Indonesian President, menyebutkan pada Pilpres 2014 berbagai petinggi PDIP sebenarnya tidak begitu menyukai Presiden Jokowi. Namun karena elektabilitasnya tinggi, Megawati “terpaksa” memilihnya sebagai calon presiden.
Baca Juga: Golkar, Partai Jokowi Selanjutnya?
Menurut Suryadinata, Presiden Jokowi sadar akan persoalan tersebut. Mantan Wali Kota Solo ini disebut memainkan strategi cerdas dengan memberikan penghormatan kepada Megawati dengan tidak secara terbuka menantangnya. Namun, secara diam-diam sadar mengandalkan PDIP saja tidaklah cukup. Ini kemudian membuatnya mengandeng Partai Golkar yang memang bersedia mendukungnya.
Kembali pada analisis Pangi. Jika itu tepat, maka dapat dikatakan terdapat kekhawatiran bahwa Presiden Jokowi dapat saja meninggalkan PDIP. Terlebih lagi, akhir-akhir ini terbaca gestur terdapat usaha untuk mempersepsikan pendukung Presiden Jokowi ke kandidat tertentu. Ini jelas menunjukkan betapa besarnya pengaruh dukungan politik sang RI-1.
Lantas, mungkinkah Megawati takut kehilangan Jokowi?
PDIP Partai Rasional
Terkait polemik antara Ganjar Pranowo dengan Puan Maharani, Pangi Syarwi Chaniago memberikan tanggapan menarik. Menurutnya, PDIP merupakan partai rasional yang melihat dan membaca realitas elektabilitas, tren, dan kemungkinan terbesar kemenangan. Oleh karenanya, Pangi menilai pilihan PDIP tidak akan terkurung pada Puan jika realitas berkata sebaliknya. Poin partai rasional ini sangat menarik.
Alex Kacelnik dari University of Oxford dalam tulisannya Meanings of Rationality menyebut rasionalitas (rationality) dimaknai berbeda oleh psikolog, filsuf, ekonom, dan biolog. Bagi psikolog dan filsuf, penekanannya pada proses pengambilan keputusan. Rasionalitas dipercaya dicapai dengan penalaran (reasoning), dan dikontraskan dengan keputusan yang diperoleh melalui emosi, keyakinan, otoritas, atau pilihan yang sewenang-wenang.
Sedangkan ekonom menekankan rasionalitas pada konsistensi pilihan, terlepas dari proses dan tujuannya. Sementara ahli biologi menggunakan konsep rasionalitas untuk menghubungkan kedua ide tersebut, yakni penalaran dan konsistensi pilihan. Dalam artikel ini, definisi dari biolog tampaknya lebih tepat untuk digunakan.
Kembali pada Presiden Jokowi, penegasan Pangi soal PDIP adalah partai rasional merupakan key point yang penting. Pada 2014 lalu, dikenal istilah “Jokowi Effect” yang disebut mendongkrak suara PDIP sebesar 30 persen di Pemilu 2014.
Partai-partai pengusung utama Presiden Jokowi di Pilpres 2019 juga disebut mendapatkan keuntungan dari coat-tail effect atau efek ekor jas. Menariknya, Partai Nasdem justru yang dinilai paling diuntungkan dari efek ini karena mengalami kenaikan suara sebesar 2,33 persen dibanding Pemilu 2014. Ini jauh di atas PDIP yang hanya 0,38 persen.
Baca Juga: Puan Tidak Serius Kritik Jokowi?
Mengacu pada definisi rasionalitas, PDIP mestilah memiliki pertimbangan yang konsisten berdasarkan penalaran terkait putusan yang akan diambil. Oleh karenanya, alih-alih membiarkan Presiden Jokowi berpindah haluan ke partai lain, tentu lebih rasional dan menguntungkan apabila memanfaatkan pengaruhnya untuk tujuan partai, seperti memberi dukungan terbuka terhadap kandidat pilihan PDIP.
Selain itu, Pilpres 2024 juga masih tiga tahun lagi sehingga sulit membayangkan PDIP akan menjadi aktor utama atas pergolakan di tubuh pemerintahan. Dugaan ini juga sejalan dengan instruksi Nomor 3134/IN/DPP/VIII/2021 yang dikeluarkan Megawati baru-baru ini.
Di dalamnya ditegaskan agar semua kader disiplin untuk tidak memberikan tanggapan terkait capres dan cawapres, serta pelanggaran terhadap instruksi akan diberi sanksi disiplin partai.
Nah, di luar persoalan PDIP, khususnya Megawati yang berlaku rasional, strategi “tegang, tegang, kendur” ini juga mengindikasikan fenomena politik lain.
Idealnya Ketua Partai?
Seperti yang ditegaskan dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Gantikan PDIP, Demokrat Dukung Jokowi?, tingkah laku partai politik di Indonesia ibaratnya seperti perilaku kerajaan-kerajaan zaman dahulu.
Ketika partai berkuasa berganti, ada kebiasaan untuk “membersihkan” orang-orang yang dinilai berafiliasi dengan partai sebelumnya. Ini berimbas pula pada kebiasaan partai oposisi yang seolah memiliki template “kata tidak” terhadap setiap kebijakan pemerintah.
Kebiasaan tersebut persis seperti cara kerja kerajaan pada abad ke-16 yang ditulis oleh Niccolò Machiavelli dalam bukunya yang terkenal, Il Principe.
Nah, sama halnya dengan kerajaan-kerajaan, faktor kemampuan konsolidasi partai menjadi begitu penting di Indonesia. Suka atau tidak, relasi “panas dingin” Presiden Jokowi dengan PDIP selama ini tampaknya menunjukkan betapa pentingnya faktor tersebut.
Seperti yang diketahui, Megawati beberapa kali mengeluarkan istilah “petugas partai”. Secara semantik, ini dapat dimaknai bahwa posisi Jokowi, sekalipun merupakan Presiden, tetaplah subordinat terhadap partai.
Profesor ilmu politik di University of Connecticut, Howard L. Reiter dalam tulisannya Power: President As Party Leader juga menegaskan bahwa kemampuan konsolidasi partai adalah faktor penting yang harus dimiliki oleh Presiden Amerika Serikat (AS).
Persoalan ini kemudian melahirkan pertanyaan, apakah idealnya Presiden di Indonesia harus berasal dari ketua umum partai, atau setidaknya memiliki pengaruh yang begitu kuat di partai?
Namun, menimbang pada kasus-kasus Presiden sebelumnya, seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), nyatanya SBY tidak harus menjadi Ketua Umum Partai Demokrat untuk mendapatkan dukungan dari partai mercedes. Tidak ada pula istilah “petugas partai” seperti yang kita lihat saat ini.
Dengan demikian, mungkinkah persoalannya pada PDIP, khususnya Megawati?
Ada pada Megawati?
Terkait hal ini, kita perlu membuat satu lagi perbandingan, yakni dengan Partai Golkar. Partai yang sekarang diketuai oleh Airlangga Hartarto ini terbilang sangat menarik karena dijuluki memiliki “DNA kekuasaan”. Pelabelan itu bertolak dari habituasi partai yang tidak pernah menjadi oposisi atau selalu merapat pada kekuasaan.
Kasus paling kentara mungkin pada 2004 lalu, ketika Akbar Tanjung yang saat itu menjadi Ketua Umum mendukung Wiranto sebagai calon presiden. Di sisi berbeda, Jusuf Kalla (JK) justru maju bersama SBY sebagai calon wakil presiden. Karena tidak sejalan dengan pimpinan, JK kemudian diberhentikan sebagai penasihat partai.
Namun, kemenangan SBY-JK di Pilpres 2004 mengubah seketika konstelasi partai beringin yang kemudian memenangkan JK sebagai Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Akbar Tanjung.
Suka atau tidak, peristiwa itu menunjukkan bagaimana solidnya Partai Golkar mengedepankan kepentingan partai di atas kepentingan segelintir pihak. Ya, memang itu pragmatis dan oportunis, tapi jika ingin terus berkuasa, begitulah caranya.
Kembali pada kasus Megawati, terkait apa yang terjadi, kita tampaknya dapat menggunakan tulisan Kendra Cherry yang berjudul Autocratic Leadership: Key Characteristics, Strengths, and Weaknesses. Megawati tampaknya memiliki gaya kepemimpinan otokratis, yang mana ini ditandai dengan sosok pemimpin yang mengontrol semua keputusan tanpa dipengaruhi anggota kelompok yang lain.
Baca Juga: Ganjar “Bunuh Diri” Jika Tetap di PDIP?
Melihat pada pengalaman hidup Megawati yang menyaksikan ayahnya, Soekarno direpresi oleh rezim Soeharto, serta partainya mendapat hantaman bertubi-tubi, seperti peristiwa Kudatuli pada 27 Juli 1996, sangat wajar sebenarnya jika Megawati menjadi pemimpin otokratis yang disebut-sebut punya trust issue.
Megawati disebut sulit percaya dengan orang lain, khususnya orang baru. Persoalan ini dapat dipahami melalui personal construct theory.
Nah, jika benar Megawati merupakan pemimpin bergaya otokratis, itu jelas menjadi jawaban mengapa Presiden ke-5 ini beberapa kali menggunakan istilah petugas partai. Ini mungkin menegaskan bahwa jabatan tidak berpengaruh terhadap struktur kekuasaan di PDIP.
Well, pada akhirnya, seperti penegasan Pangi Syarwi Chaniago, jangan sampai gaya kepemimpinan otokratis menghambat Megawati untuk mengambil keputusan rasional. (R53)