Publik dikejutkan dengan peristiwa ledakan bom di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Seperti biasa, narasi teroris tidak berkaitan dengan agama vs berantas radikalisme kembali menjadi perdebatan hangat. Dengan gencarnya narasi radikalisme yang dilakukan oleh pemerintah, namun aksi teror masih terjadi, mungkinkah akar masalahnya bukan pada persoalan radikalisme?
“Some people today argue that religion is primarily a source of violance, conflict, and social disorder. Historically, however, religion has played the opposite role” – Francis Fukuyama, dalam buku The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution
Minggu, 8 Desember 2002, ledakan bom terjadi di restoran cepat saji McDonald`s dan show room NV Haji Kalla, Makassar. Sembilan belas tahun kemudian, ledakan bom kembali mengguncang Makassar. Pada Minggu, 28 Maret, bom meledak di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Tentu publik riuh. Berbagai kecaman bermunculan, baik dari masyarakat, akademisi, maupun politisi.
Menariknya, di setiap kasus terorisme, terdapat satu perdebatan yang selalu kembali menghangat. Di satu sisi, terdapat pihak yang menyebut terorisme tidak berkaitan dengan agama. Ini misalnya diungkapkan oleh berbagai politisi dan pejabat pemerintah, seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Di sisi lain, terdapat dorongan agar terorisme harus secara terbuka diakui memang berkaitan dengan agama. Terdapat ajaran atau dogma menyimpang yang menyebar di tengah masyarakat. Ini misalnya diungkapkan oleh Pengurus Cabang Istimewa Nadhlatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat (AS), Akhmad Sahal atau Gus Sahal.
Gus Sahal menganalogikan terorisme seperti penyakit, yang harus diakui eksistensinya agar dapat disembuhkan. Pun begitu dengan terorisme, harus berani diakui teroris dan radikalis atas nama Islam itu nyata ada, agar dapat diatasi masalahnya.
Di sini, sekiranya kita perlu sepakat dengan Gus Sahal bahwa untuk mengobati suatu penyakit, penyakit tersebut haruslah diakui terlebih dahulu. Kita perlu mencari akar masalahnya. Akan tetapi, di sana letak persoalan krusialnya. Apa akar masalah terorisme?
Baca Juga: Terorisme Sigi, Jokowi Terjebak Pseudopluralisme?
Apakah ini adalah konsekuensi dari ajaran agama tertentu? Atau terdapat penyebab yang lebih dalam dari itu, sehingga ajaran teror tercipta?
Apa Akar Masalahnya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu merenungkan dengan serius penjabaran salah satu ilmuwan politik paling berpengaruh saat ini, Francis Fukuyama dalam bukunya Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian.
Dalam bab “Nasionalisme dan Agama”, Fukuyama menghadirkan perdebatan interpretasi terkait apa yang menyebabkan fenomena terorisme kontemporer antara Sarjana Timur Tengah asal Prancis, Olivier Roy dengan cendekiawan Islam Prancis, Gilles Kepel.
Menurut Roy, fenomena Muslim yang menjadi terorisme, khususnya di Eropa tidak berkaitan dengan doktrin agama ataupun politik global. Mereka adalah Muslim Eropa generasi kedua yang terjebak dalam dua budaya, yaitu budaya orang tuanya (yang mereka tolak) dan budaya negara baru (yang sepenuhnya tidak menerima mereka) – Muslim Eropa kebanyakan imigran.
Kegamangan identitas tersebut kemudian membuat mereka berlabuh ke Islam radikal yang disebut Roy menawarkan komunitas, penerimaan, dan martabat. Ini adalah persoalan kebingungan atau pencarian identitas.
Kontras, Kepel justru meyakini terorisme dan ekstremisme tidak dapat dipisahkan dari doktrin agama, khususnya paham ultrakonservatif salafisme dari Arab Saudi. Kepel bahkan menuduh Roy tengah berusaha membebaskan Islam dari tuduhan bahwa jihad berkaitan dengan agama tertentu.
Menurut Fukuyama, perdebatan Roy dengan Kepel bukanlah pergulatan bahasa atau definisi semata, melainkan membantu untuk menangani persoalan di level praktis karena membuat kita mengetahui apa akar masalahnya. Apakah jihadis adalah persoalan identitas atau penerimaan secara sosial seperti anggapan Roy, atau justru memang fenomena religius seperti penekanan Kepel.
Baca Juga: Perpres Ekstremisme Jokowi Salah Kaprah?
Perdebatan Roy dengan Kepel jelas menunjukkan perdebatan masyarakat Indonesia saat ini. Apakah aksi terorisme berkaitan dengan agama? Atau justru masalahnya lebih dalam dari itu, yakni persoalan identitas?
Dalam buku The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution, Fukuyama mengutip pemikiran salah satu filsuf epistemologi terbesar, David Hume, untuk menjelaskan persoalan rentannya seseorang keliru dalam menentukan kausalitas (sebab-akibat). Menurut Hume, sesuatu yang berkorelasi, atau peristiwa yang terjadi secara berurutan, belum tentu merupakan kausalitas.
Dalam bab “The State of Nature”, Fukuyama menggunakan pemikiran Hume untuk meluruskan prasangka kebanyakan orang saat ini tentang agama. Seperti kutipan pernyataan Fukuyama di awal tulisan, agama kerap disebut sebagai sumber kekerasan, konflik, atau perselisihan sosial. Padahal dalam sejarahnya, agama justru memainkan peran dalam membentuk kohesi sosial.
Untuk memperjelas, kita dapat meminjam konsep state of nature (kondisi alamiah) dari filsuf Thomas Hobbes. Menurut Hobbes, pada mulanya peradaban manusia bergerak di atas seleksi alam. Seperti dalam teori Charles Darwin, mereka yang kuat yang akan bertahan.
Untuk mengatasi konflik berkepanjangan tersebut, peradaban manusia kemudian mengembangkan contract social (kontrak sosial) yang berisi seperangkat norma, aturan, dan hukum agar tercipta keteraturan.
Sekarang pertanyaannya, jika benar agama adalah sumber kekerasaan, apakah Neanderthals atau protohuman lainnya telah mengembangkan agama seperti yang kita kenal saat ini? Atau mungkin yang lebih dekat, apakah Homo Sapiens awal telah memilikinya?
Mengacu pada Jared Diamond dalam bukunya The World Until Yesterday: What Can We Learn from Traditional Societies?, agama modern yang kita kenal saat ini adalah fenomena baru. Bahkan menurut Profesor Geografi di University of California ini, agama juga mengalami evolusi atau perkembangan.
Seperti penekanan David Hume, tampaknya kita telah keliru dapat menyebutkan konflik sosial, seperti terorisme berasal atau berakar dari agama. Hanya karena kita melihat rentetan peristiwa terdapat ajaran yang menyimpang sebelumnya, belum tentu itu menunjukkan kausalitas.
Jika benar demikian, lantas, apa yang menyebabkan agama saat ini kerap menjadi ekspresi kekerasaan seperti terorisme?
Deprivasi Relatif dan Banalitas Kejahatan
Terkait pertanyaan tersebut, terdapat analisis menarik dan penting yang diberikan oleh pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.
Menurut Fahmi, terorisme – tepatnya ekstremisme (violent extremism) – tidak pernah muncul tanpa alasan. Ini bukan fenomena hanya karena terdapat doktrin agama, kemudian seseorang pergi meledakkan dirinya dengan bom. Mestilah terdapat penyebab yang menciptakan eskalasi doktrin.
Kita umum dengan pernyataan tujuan teror adalah agar semua orang merasakan kekerasan. Namun, menurut Fahmi, tujuan utamanya adalah sampainya pesan dari kekerasan itu. Sekarang pertanyaannya, pesan apa yang ingin disampaikan?
Pertanyaan ini menjadi penting karena itu membantu kita menjawab penyebab yang menciptakan eskalasi doktrin. Untuk menjawabnya, Fahmi menggunakan teori deprivasi relatif, atau yang kerap disebutnya sebagai kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Robert Longley dalam tulisannya All About Relative Deprivation and Deprivation Theory menyebut deprivasi relatif adalah kondisi ketika seseorang merasa dirampas dari sesuatu yang dianggapnya penting, seperti hak politik dan kesejahteraan, kemudian mengatur atau bergabung dengan gerakan sosial yang didedikasikan untuk mendapatkan sesuatu tersebut.
Teori ini kerap digunakan untuk menjawab faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya kekacauan sosial seperti kerusuhan, penjarahan, terorisme, dan perang saudara. Misalnya, ini digunakan dalam menjelaskan penyebab Gerakan Hak Sipil di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1960-an. Saat itu, kelompok kulit hitam turun ke jalan dan membuat protes untuk menuntut kesetaraan sosial dan hukum.
Deprivasi relatif sebenarnya terlihat dari penjelasan Olivier Roy sebelumnya. Terorisme yang dilakukan oleh Muslim Eropa sebenarnya adalah tuntutan atas pengakuan identitas.
Tidak hanya soal identitas, menurut Fahmi, deprivasi relatif juga disebabkan oleh diskriminasi, kesenjangan sosial-ekonomi, ketidakadilan, hingga pemiskinan dan pembodohan. Di sini mungkin ada yang menyanggah, bukankah terdapat orang “berada” yang menjadi teroris? Iya betul, tapi penekanannya pada perasaan atau kesadaran bahwa telah terjadi ketimpangan atau ketidakadilan.
Ini adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan, di mana terdapat harapan atas keadilan dan kesejahteraan, namun justru melihat ketimpangan dan ketidakadilan. Menurut Fahmi, deprivasi relatif kemudian melahirkan apa yang disebut filsuf Hannah Arendt sebagai banality of evil atau banalitas kejahatan.
Rieke Diah Pitaloka dalam bukunya Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat menyebutkan banalitas adalah kondisi di mana masyarakat tidak lagi berprilaku kritis atau reflektif, sehingga dengan mudah melakukan aksi kekerasan.
Penjelasan ini kemudian menjawab, mengapa terorisme tetap terjadi di tengah geliat pemerintah dalam menjalankan program deradikalisasi dan menggaungkan pencegahan radikalisme. Ini karena akar masalahnya bukan pada meluruskan ajaran atau dogma agama yang keliru, melainkan menyelesaikan pemicu eskalasi doktrin tersebut.
Masyarakat akan tetap berpikir dangkal, seperti ingin meledakkan dirinya untuk segera ke surga, apabila mereka merasa putus asa dengan pemerintah atau sistem yang tidak kunjung menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Untuk mempertegas simpulan tersebut, kita dapat melihat penjabaran Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. Menurut Huntington, kebangkitan kembali Islam pada akhir abad ke-20 telah memberikan keyakinan-keyakinan baru di kalangan umat Islam terhadap watak dan keluruhan peradaban, serta nilai-nilai yang mereka miliki dibandingkan dengan peradaban dan nilai-nilai Barat.
Baca Juga: Pembakaran Al-Qur’an Perlemah Demokrasi Liberal?
Pada tahun 1980-an dan 1990-an, Huntington juga melihat terdapat kecenderungan yang mengarah pada gerakan anti-Barat di kalangan umat Islam. Ini adalah konsekuensi dari kebangkitan Islam, reaksi menentang hegemoni Barat, serta westernisasi.
Apakah kebangkitan tersebut terjadi begitu saja? Tentu tidak. Itu adalah reaksi dalam melawan hegemoni Barat. Artinya, terdapat perasaan ketidakadilan di sana. Ini jelas menunjukkan teori deprivasi relatif.
Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan, akar masalah atau faktor pendorong terorisme adalah masih terjadinya kesenjangan sosial-ekonomi atau adanya kesadaran ketidakadilan sistem. Tentu kita tidak dapat menolak faktor seperti memang adanya ajaran yang menyimpang, namun eskalasi doktrinnya tidak akan terjadi apabila kesejahteraan dan keadilan telah dirasakan. (R53)