HomeNalar PolitikSiapa yang Ingin Hancurkan Puan?

Siapa yang Ingin Hancurkan Puan?

Secara serentak, muncul berita di berbagai media bahwa suami Puan Maharani, Hapsoro Sukmonohadi mendapatkan proyek pipa minyak bumi bersama PT Pertamina Gas (Pertagas). Dengan adanya keganjilan seperti suami Puan memang pemain lama di bisnis perminyakan dan adanya kemiripan judul berita, mungkinkah terdapat pihak yang ingin menghancurkan nama Puan? Dan siapa mereka?


PinterPolitik.com

“Belum pernah dalam sejarah, manusia dapat menyebarkan gagasannya kepada banyak orang dengan cepat, atau memperoleh informasi sedemikian beragamnya, sebelum pers lahir di dunia” – Anwar Arifin, dalam buku Pers dan Dinamika Politik: Analisis Media Komunikasi Politik Indonesia

Baru-baru ini beredar berita tentang rencana kerja sama operasi PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) dengan PT Pertamina Gas atau Pertagas. Keduanya akan terlibat dalam proyek pembangunan dan pengoperasian pipa minyak bumi koridor Balam — Bangka — Dumai dan koridor Minas — Duri — Dumai.

Pipa minyak tersebut memiliki panjang kurang lebih 352,43 kilometer dengan nilai royek sebesar US$ 300,62 juta atau sekitar Rp 4,34 triliun. Angka yang fantastis.

Nah, yang menarik adalah, ternyata 32,59 persen saham RAJA dipegang oleh Hapsoro Sukmonohadi. Pria yang akrab dipanggil Happy Hapsoro ini adalah suami dari Ketua DPR Puan Maharani. Fakta ini kemudian melahirkan spekulasi terdapat “permainan” di balik rencana kerja sama tersebut.

Yang lebih menarik adalah, hampir semua media yang memberitakan menggunakan judul “suami Puan”. Kenapa harus “suami Puan”? Mengapa tidak menyantumkan nama Happy Hapsoro?

Terdapat dua keganjilan dalam kekompakan pemberitaan ini. Pertama, seperti yang telah disebutkan, mengapa hampir semua media menggunakan judul berita “suami Puan”. Kedua, Happy Hapsoro memang merupakan pemain lama dalam bisnis minyak dan gas bumi. Dengan kata lain, sangat wajar apabila namanya terlibat dalam berbagai proyek minyak bumi.

Baca Juga: Nasib Puan Ditentukan Jokowi?

Keganjilan ini mengingatkan kita pada nasihat terkenal dari Presiden ke-32 Amerika Serikat (AS) Franklin D. Roosevelt, “In politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned that way.” Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, kita bisa bertaruh itu direncanakan demikian.

Lantas, mungkinkah terdapat pihak yang ingin menghancurkan nama Puan melalui pemberitaan tersebut? Jika benar demikian, siapa kira-kira mereka?

Proposisi Sangat Menentukan

Sebelum membahas siapa pihak-pihak yang paling mungkin ingin menghancurkan nama Puan, sebelumnya perlu dijelaskan mengapa tulisan ini meletakkan variabel “judul berita” sebagai jantung permasalahan.

Untuk kepentingan tersebut kita akan menggunakan buku Tractatus Logico-Philosophicus dari salah satu filsuf bahasa dan logika terbesar dalam sejarah, Ludwig Wittgenstein. Dalam Tractatus, Wittgenstein menjelaskan bagaimana konstruksi kalimat – tepatnya proposisi – menentukan makna dari bahasa.

Dalam poin 4.0312, misalnya, Wittgenstein menulis, “The possibility of propositions is based upon the principle of the representation of objects by signs.” Atau, “Kemungkinan (pemaknaan) proposisi didasarkan pada prinsip representasi objek dengan tanda.”

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Maksudnya, makna yang tercipta dari proposisi yang dibentuk ditentukan oleh cara dalam merepresentasikan objek atau realitas yang hendak dibahasakan.  

Nah, sekarang coba bayangkan ini. Ada dua media, X dan Y. Media X menggunakan judul “Di Tengah Pandemi PT Raja Mendapat Proyek Pipa Gas Triliunan Rupiah.” Sementara media Y menggunakan judul “Di Tengah Pandemi Suami Puan Mendapat Proyek Pipa Gas Triliunan Rupiah.”

Kedua media tersebut hendak merepresentasikan realitas yang sama, yakni rencana kerja sama PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) dengan PT Pertamina Gas atau Pertagas. Namun, konstruksi proposisi yang berbeda justru melahirkan makna yang berbeda.

Di media X akan dipahami, “Oh, PT ini dapat proyek”. Sesederhana itu. Sedangkan media X akan dipahami, “Wah, main-main ini Puan, kok suaminya dapat proyek di tengah pandemi gini?”. Sangat berbeda bukan. Itulah kekuatan perbedaan diksi atau penandaan (sign).

Baca Juga: Kebisingan Politik, Salah Jokowi atau Media?

Seperti kutipan pernyataan Anwar Arifin dalam bukunya Pers dan Dinamika Politik: Analisis Media Komunikasi Politik Indonesia di awal tulisanmelalui pers atau media, pemaknaan tersebut berusaha disebarkan secara luas dan cepat di tengah masyarakat.

Siapa Mereka?

Setelah membahas pentingnya konstruksi proposisi, sekarang akan dibahas siapa pihak yang kira-kira paling mungkin melakukan manuver tersebut.

Kembali mengacu pada Anwar Arifin bahwa pers dan kekuasaan memiliki hubungan yang berkelindan, di mana pers kadang yang ditentukan, dan terkadang yang menentukan konfigurasi politik, kita dapat menyimpulkan bahwa kekompakan judul berita tersebut berkaitan dengan intervensi kekuasaan tertentu.

Siapa mereka? Yang jelas, mereka memiliki kekuatan kapital yang besar dan memiliki pengaruh di industri media.

Daniel Susilo dalam tulisannya Media Conglomeration in Indonesia: Tools to Preserve Influences Political Interest menyebutkan berbagai konglomerasi media di Indonesia, seperti Surya Paloh, Hary Tanoesoedibjo, dan Aburizal Bakrie yang menggunakan media untuk melebarkan sayap pegaruh politiknya.

Tidak hanya soal konglomerasi media, mengacu pada Steven Feldstein dan Peter Pomerantsev dalam tulisannya Democracy Dies in Disinformation, media juga tengah mengalami posisi dilematis di tengah tuntutan pasar iklan.

Menurut mereka, media terpaksa berkompromi dan lebih memilih memproduksi beria clickbait dan polarisasi karena lebih banyak mendapat atensi. Artinya, ruang bagi berita pesanan sangat terbuka. Di tengah tuntutan kebutuhan menjaga “eksistensi”, menerima permintaan seperti menggunakan judul atau narasi tertentu tampaknya merupakan rahasia umum.

Sekelumit persoalan tersebut akan kita temukan benang merahnya jika mengacu pada persiapan Pilpres 2024 yang tampaknya sudah dimulai. Ini misalnya terlihat dari berbagai lembaga survei yang rutin memetakan persepsi publik terhadap kandidat-kandidat potensial. Pun begitu dengan safari politik dari para elite parpol.

Nah, dengan Puan yang disebut-sebut akan didorong maju oleh PDIP yang memang memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya, mudah menyimpulkan bahwa Puan ingin “dipincangi” sedari dini.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Mengutip Andri Wang dalam buku The Art of War: Menelusuri Strategi dan Taktik Perang ala Sun Zi, ada nasihat ahli perang dan strategi dari Tiongkok, Sun Tzu yang begitu menarik. Dalam bab “Taktik Menyerang”, Sun Tzu menulis, “Orang yang pandai berperang akan mampu mengalahkan musuh tanpa perang.”

Maksudnya, daripada susah-susah melawan Puan di 2024 nanti, lebih baik memotong jalurnya sedari dini. Taktik ini tampaknya juga tengah dilakukan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dan juga mungkin akan menyasar sosok-sosok potensial lainnya, seperti Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo.

Baca Juga: AHY Hanyalah Mangsa Pertama?

Nah, jika benar ini adalah usaha pemotongan jalur untuk kepentingan Pilpres 2024, mudah untuk memetakan siapa peng-order berita “suami Puan”. Cukup dipetakan mereka yang berkepentingan maju di 2024, memiliki kapital yang besar, dan pengaruh yang luas di industri media. Silahkan tebak sendiri.

Mungkinkah Dari Internal?

Di titik ini, mungkin mudah menyimpulkan pihak tersebut berasal dari mereka yang berkepentingan maju dan ingin mengganggu Puan. Akan tetapi, simpulan ini masih cukup ganjil. Pasalnya, jika mengacu pada kegagalan Puan maju di Pilpres 2014 dan 2019 karena elektabilitasnnya yang rendah, sulit membayangkan PDIP tiba-tiba nekat mendorongnya maju.

Saat ini, elektabilitas Puan masih rendah dan stagnan. Terlebih lagi, nama Puan dikaitkan dengan berbagai kasus korupsi, seperti korupsi bansos Covid-19. Jika nantinya maju, sekiranya sangat mudah mengalahkannya dengan memainkan isu-isu yang ada.

Atas keganjilan tersebut, kita tampaknya patut mempertimbangkan dengan serius dua nasihat dari Sun Tzu berikut.

Pertama, dalam bab “Situasi Medan Perang,” Sun Tzu menulis, “Maju perang bukanlah untuk mencari keuntungan pribadi atau mengejar popularitas. Bila harus terpaksa mundur dan tidak melanjutkan perang, jangan takut disalahkan dan dihukum.”

Kedua, dalam bab “Operasi Pasukan,” Sun Tzu menulis, “Jika prajurit belum bisa diyakinkan kesalahannya tapi sudah dihukum, mereka pasti tidak akan mau menerimanya. Memberi hukuman tanpa bukti kesalahan tidak boleh dilakukan.”

Nah, dengan kematangan PDIP yang mampu mempertahankan perolehan suaranya, tentu mudah menyimpulkan mereka telah memikirkan nasihat Sun Tzu yang pertama bahwa sangat tidak bijak memaksa Puan untuk maju.

Akan tetapi, bagaimana apabila tetap ada keinginan Puan atau pihak tertentu yang ingin memajukan Puan? Jika demikian yang terjadi, nasihat kedua tampaknya tengah dipraktikkan.

Sedikit berspekulasi, mungkin saja terdapat internal PDIP yang mengondisikan pemberitaan tersebut agar Puan atau pihak-pihak tersebut menyadari kecilnya peluang untuk menang, sehingga memutuskan untuk tidak maju.

Baca Juga: Di Balik Puan-Moeldoko vs JK-AHY

Well, pada akhirnya, kita mungkin dapat menyimpulkan tiga hal dalam melihat kekompakan pemberitaan “suami Puan”.

Pertama, ini dari pihak yang ingin mengganggu Puan. Kedua, ini mungkin dari internal PDIP sendiri. Ketiga, seperti penegasan Feldstein dan Pomerantsev, ini mungkin kepentingan media dalam memproduksi isu semata. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...